Aku menatap jam tanganku, masih setengah jam lagi. Sambil menunggu kereta datang, aku bermain dengan ponselku. Akhirnya kereta yang kutunggu datang juga. Aku pun naik dan mencari nomer kursiku.
“Permisi, maaf kursi saya di dekat jendela,” ucapku pada seorang wanita yang duduk di dekat jendela, padahal itu tempat dudukku.Wanita itu bergeser tanpa menatapku“Terima kasih.” Aku langsung duduk tanpa menoleh ke arahnya.Kereta pun melaju menuju arah Purwokerto. Aku masih bermain dengan ponselku. Ada beberapa chat yang belum sempat kubalas. Antara lain pesan dari sahabat, rekan kerja, para pembeli yang memesan meubel dan terakhir pesan wanita tercintaku, Umi. Beliau harus mendapat prioritas pertama sebelum membalas chat yang lainnya.Aku sibuk membalas pesan dan tanpa aba-aba seseorang di sampingku menyandarkan kepalanya. Refleks aku hendak menyingkirkan kepalanya. Namun tanganku terhenti sebelum menyentuh kepalanya.Deg. Jantungku beAmbar*Aku hanya mengamati tingkah suamiku dengan geli. Dia sedang merajuk, ya ampun. Gemesin pokoknya.“Ckckck. Ada umi, Akbar. Inayah nanti sore juga ke sini. Kamu gak usah lebay, ih. Lagian ada abi juga nantinya. Abi udah lagi perjalanan ke sini. Kamu tenang aja. Udah sana berangkat,” hibur Umi. Tapi sepertinya sang putra masih belum mau dibujuk.“Tapi Umi, Akbar gak tenang di sana. Lagian kenapa harus Akbar sih! Dosen lain kan banyak? Ada Rafi yang masih single juga.”“Lah, sejak kapan kamu jadi ngambekan kayak gini? Mana Akbar yang biasanya penuh dedikasi.”“Sejak nikah, Umi,” celetuk Rafi. Rafi pun terlihat jengah melihat aksi masnya yang ngambek gak mau mendampingi mahasiswanya ikutan lomba di Jogja.“Jogja deket Mas, lagian cuma sehari doang.”“Ck. Kamu tuh ya, kamu itu belum nikah Fi. Belum ngerasain jadi suami dan calon bapak. Makanya kamu gak tahu rasanya khawatir.&rdquo
Aku sedang menikmati segelas es dawet dengan nikmat. Sesekali mengelus perutku yang sudah memasuki usia delapan bulan.“Mau makan apa lagi?”Aku tersenyum ke arah Mas Syafiq, “ Enggak Mas, udah cukup ini.”“Beneran? Ntar dedek bayinya ileran loh?”“Ileran gak papa. Nanti kalau udah gede biar bisa bikin peta di baju cowok ganteng.”Aku dan Mas Syafiq tertawa.“Ya udah, mas mau nyambut tamu dulu ya? Kamu duduk di sini aja. Jangan capek-capek.”“Siap, Mas.”Tak lama setelah kepergian Mas Syafiq, Tuti datang.“Minggir. Minggir. Minggir. Aku mau duduk.” Tuti langsung mendudukkan diri pada kursi di sebelahku. Dia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Tampaklah perut buncitnya yang sama besar dengan ukuran perutku.“Huft, capek Mbar.”“Emangnya kamu habis ngapain?”“Ghibah.”“Ck. Ghibahin siapa
Linda*Lagi, aku harus menahan diri mendengarkan omelan ibuku. Selama dua puluh lima tahun usiaku selalu saja ibu membanding-bandingkan aku dengan orang lain seperti Ambar dan Tuti terutama dengan Ambar.Mendengar nama kedua wanita itu aku merasa sebal. Seperti hari ini, hampir satu jam aku mendengar omelan ibu yang lagi-lagi membandingkan aku dengan Ambar.“Ambar itu bisa ngasih uang tiap bulan, bisa nyekolahin adiknya, bisa beli sawah, bisa rehab rumah. Kamu? Bensin aja masih minta sama ibu.” Begitulah kira-kira perkataan ibuku. Dia sedang panas gara-gara Ambar baru saja membeli sebidang sawah. Lagi, aku yang menjadi pelampiasan kemarahannya. Kadang aku berpikir, ada masalah apa sebenarnya antara ibuku dan ibunya Ambar. Kenapa ibu selalu kebakaran jenggot kalau keluarga Ambar selangkah lebih maju daripada keluarga kami.Menjadi anak tunggal katanya suatu berkah tapi bukanlah berkah yang kurasakan tapi sakit hati setiap hari. Ibuku bukanlah sosok ibu
"Kamu mau sampai kapan di sini?” “Gak tahu, aku malas pulang.”Aku menginap di rumah Fani selama tiga hari. Tak kupedulikan pesan atau telepon dari bapak. Aku marah pada ibu dan bapak juga.Suara salam terdengar, aku hanya duduk sambil menonton TV bersama Dafi anak Fani dan Dani yang kini berusia empat tahun. Sedangkan Fani keluar hendak membukakan pintu.“Lin, bapakmu datang.”Aku mencebik tapi mau tak mau menemui bapak juga. Bapak terlihat lelah, matanya juga sembab dan ada lingkaran hitam di bawahnya.“Lin ...,” lirih bapak.Aku hanya diam dan justru terkesan cuek.“Bapak minta maaf, kamu pulang ya? Nanti bapak bakalan minta sama ibu supaya lebih memahami kamu, menyayangi kamu.”“Telat, Pak. Kenapa gak dari dulu?”Terlihat muka bapak memancarkan kesedihan luar biasa.“Kenapa Pak? Linda ngomong bener, ‘kan?”“Iya. Maaf,” lirih bapak.“Kenapa bapak selalu ngalah sama ibu? Bapak tahu gak, Linda capek dibanding-bandingkan terus. Capek Pak.
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya
*Syam*Aku mengulas senyum, tepatnya senyum miris. Melihat bagaimana Syafiq sedang memangku anak berusia dua tahun yang wajahnya sama persis dengan Syafiq. Padahal pas lahir, anak itu mirip Ambar tetapi malah kian besar kian mirip bapaknya.Ya Tuhan, lagi-lagi aku hanya bisa menatap kebahagiaan sebuah keluarga yang kuidam-idamkan.Menyesal? Jelas. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Padahal Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mencecap kebahagiaan bersama Ambar. Tapi apa yang kulakukan? Yang kulakukan adalah melepas Ambar hanya karena tergoda dengan mantan. Ah, padahal sudah banyak cerita tak mengenakkan tentang mantan. Tapi kenapa aku malah ikut-ikutan terjebak nostalgia bersama mantan?“Hai, ponakan gantengnya Om Rafi. Ikutan ngajar ya? Mbak Ambar mana Mas?” Rafi sepertinya baru selesai mengajar dan langsung duduk di dekat Syafiq.“Lagi ngurusi Amira. Amira sakit. Kasihan Ambar kalau ngurusi dua-duanya, jadi Mas bawa aja Amm
*Susilo alias Ilo* “Harus, kamu begini terus tiap tahun? Ck. Move on dong kalau gak bisa move on harusnya dulu kamu jangan gantung dia. Udah dibilangin ngeyel. Nyesel, ‘kan? Sekarang kamu mau apa ngintipin dia terus tiap tahun. Helow, lihat suaminya, lihat kerjanya, lihat rumahnya, lihat wajah mantan kamu itu, emang kelihatan seperti istri teraniaya gitu? Mana ada istri teraniaya terawat banget, suka senyum, tiap tahun hamil lagi. Orang pun bakalan paham kalau dia itu sangat sangat bahagia.” Saiful temanku masih saja ngomong.Aku tak begitu peduli dengan omongannya yang sama. Karena bisa melihatnya saja sudah membuatku bahagia. Iya, aku punya kebiasaan setiap tahun mengamati kehidupan Ambar dengan suaminya. Ini adalah tahun ketiga aku mengawasinya selama seharian penuh, di tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami beberapa tahun yang lalu.Bukan tanpa alasan aku melakukan hal memalukan yakni mengawasi istri orang. Aku hanya ingin memastikan Ambar hidup bahagia dan t
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han