“Inge, saya berharap kamu sedang tidak membuat masalah dengan Pak Lucas,” kata Bu Farah lagi. Matanya memandang tajam kepada Inge. “Kamu tahu kan siapa Pak Lucas itu?”
Inge diam. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan atasannya.
“Dia bukan sekedar wali murid biasa, tapi dia masih bos kita, karena Pak Lucas itu putra Pak Benny, pendiri sekaligus direktur sekolah kita,” jelas Bu Farah kemudian, mengatakan sesuatu yang sudah Inge tahu.
“Y-ya, Miss,” jawab Inge dengan nada tipis.
“Ya sudah, segera temui Pak Lucas.”
Inge mengundurkan diri dengan sedikit membungkukkan punggung. Kemudian menuju ke ruang tamu, yang letaknya di sebelah ruang guru.
Tubuh Inge bergetar ketika mendorong pintu. Apalagi saat menemukan lelaki itu sedang duduk di salah satu sofa. Perasaan malu, benci dan takut seketika mencuat dalam dadanya.
Perempuan itu berdiri kaku di dekat pintu yang baru dia ditutup, tangannya terkepal spontan menahan getaran yang tak kunjung reda.
Dari sudut matanya, Inge dapat melihat Lucas berdiri. Karena itu Inge refleks mundur, tangan kanannya terangkat di depan dada, meminta agar Lucas tidak perlu mendekatinya.
Inge tidak ingin bersalaman, tidak seperti kebiasaan jika mereka bertemu sebelum-sebelumnya.
Seakan paham, Lucas kemudian menghela napas panjang.
“Miss Inge, saya berutang penjelasan dan permintaan maaf kepada Anda,” ucap Lucas. Suaranya yang dalam terdengar rendah, tapi penuh penekanan. “Namun, penjelasan apa pun, rasanya tidak akan cukup menebus perbuatan saya yang memalukan.”
Inge mendongak, mendapati bahwa ternyata Lucas tengah menatapnya.
Pandangan mereka bertemu beberapa detik, sebelum akhirnya Inge membuang wajah dengan cepat.
Sekalipun memang pria itu tampak menyesal dan permintaan maafnya terdengar tulus, tanpa bisa dicegah, air mata Inge tetap keluar begitu saja.
Wanita itu berkedip beberapa kali untuk menghalau air matanya agar tidak jatuh.
“Tidak. Aku tidak boleh menangis lagi,” kukuh Inge dalam hati.
“Saya minta maaf,” ucap Lucas lagi, saat Inge tidak kunjung menatapnya. Sejujurnya, pria itu bingung dengan cara apa ia menjelaskan kesalahannya kemarin. Ia tidak menyangka beberapa gelas alkohol yang diminumnya mampu membuat pikirannya kabur, hingga salah melihat Inge sebagai ibu Naomi. “Jika ada yang Anda inginkan, saya–”
“Mohon maaf, Pak.” Tiba-tiba Inge berucap, sekuat tenaga menyembunyikan getar dalam suaranya. Rupanya, sekalipun ia telah mendengar permintaan maaf, perasaannya tidak berubah. Jadi, memang– “Lebih baik kita lupakan saja.”
Hening sejenak.
“Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya mohon izin untuk permisi,” tutur Inge selanjutnya, tidak memberikan ruang pada Lucas.
Perempuan itu membungkukkan badan sedikit pada Lucas, sebelum kemudian berbalik. Menyembunyikan air mata yang sudah kembali menggenangi matanya.
Apa yang ia inginkan? Sejujurnya, Inge sendiri bingung. Bisakah ia mendapatkan kehormatannya kembali?
Ucapan Bu Farah kembali terngiang di kepalanya. Inge tidak ingin terlibat masalah. Ia masih membutuhkan pekerjaannya yang sekarang.
“Tunggu.”
Inge yang akan melangkah pergi terhenti mendengar suara Lucas tersebut. Ia sedikit berbalik dan mendapati Lucas tengah mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna hitam dari saku celananya. Name tag berlogo sekolah yang di atasnya ada tulisan: Inge Diandrea.
“Ini ketinggalan di kamar saya,” ucap Lucas. Pria itu meletakkan benda itu di meja. “Saya betul-betul minta maaf, Miss.”
Inge menggigit bibirnya samar, lalu pelan-pelan dia beranikan diri untuk berkata, “Semoga saya tidak perlu mengantar pulang putri Bapak lagi setelah ini.”
Lucas mengangguk, seakan mengerti maksud ucapan Inge.
***
Beberapa minggu berlalu usai peristiwa itu. Inge menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan, untuk melupakan masalah-masalah hidupnya, terutama perasaan tersebut.
Untungnya, Lucas tampak menghargai permintaannya waktu itu. Sejak saat itu, Inge tidak perlu lagi mengantar Naomi. Gadis cilik itu selalu dijemput tepat waktu. Inge bahkan beberapa kali melihat Lucas sendiri yang menjemput putri kecilnya, sekalipun mereka tidak bertatap muka.
Saat itu, Inge berpikir bahwa hidupnya sudah pulih seperti sedia kala.
“Bu Inge kelihatan pucat sekali!” Tiba-tiba saja rekan kerja yang sedang bersama Inge saat ini berkomentar, saat mereka tengah mempersiapkan pentas seni sekolah. “Sedang tidak enak badan?”
Inge menggeleng. Memang sejak tadi pagi, ia merasa cukup mual dan badannya lemas, tapi karena tanggung jawab yang ia tanggung, wanita itu mengabaikannya dan tetap beraktivitas seperti biasa.
Tapi ternyata ia terlalu nekad.
“Aduh.” Inge memegang kepala. Dia merasa tiba-tiba pandangannya berputar. “Memang agak pusing—“
Belum sempurna Inge menyelesaikan kalimatnya, tubuh Inge meluruh. Samar-samar telinga perempuan itu mendengar rekannya berseru minta tolong, lalu pandangannya menjadi gelap.
Saat Inge membuka matanya, ia sudah berada di rumah sakit. Bau obat menyerbu indra penciumannya.
Kepalanya masih sangat pusing. Saat dia menoleh ke kiri, seraut wajah dengan pakaian putih menyambutnya dengan senyuman.
“Syukurlah Ibu sudah sadar,” ucap perempuan yang sepertinya adalah dokter tersebut. “Jangan bangun tiba-tiba, Bu. Tetap berbaring saja dulu.”
Inge menganguk. Wanita itu menutup matanya sejenak untuk meredakan sakit kepala yang masih mengusiknya.
“Jadi dia sakit apa, Dok?”
Sebuah suara yang membuat syaraf telinga Inge menajam. Wanita itu membuka matanya dan refleks menoleh ke kanan.
Lucas. Pria itu sedang berdiri di samping tempat tidurnya. Sorot matanya yang tajam terarah pada dokter yang tengah menangani Inge,
Mata Inge membulat sempurna.
“Kenapa dia ada di sini?” tanya Inge dalam hati. Matanya terus melirik tajam ke arah Lucas yang berada di samping kanannya.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak,” jawab sang dokter. “Justru ini adalah kabar bahagia. Istri Anda sedang mengandung. Selamat ya, Pak.”
“Temuilah Lucas, coba kalian bicara dulu dengan lebih tenang. Apa pun keputusanmu, Mama akan mendukungmu.”Inge bergerak memeluk sang mama. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi satu detik kemudian perempuan itu terisak. Ketika Mama Niken terlihat cemas, Inge justru mengeluarkan tawa kecil. Tentu saja Mama Niken mengernyit heran.“Kamu kenapa? Jangan bikin Mama bingung, Ing.” Nada suara perempuan yang melahirkan Inge itu menjadi naik.Inge justru tertawa lebih kencang.“Inge!” Mama Niken menjerit tertahan. Untung saja semua pegawainya sedang sibuk di depan, menata katering di dalam mobil, untuk segera diantar pada para pelanggan.“Aku tiba-tiba ingat , Ma. Dulu waktu Mama nganter aku sekolah naik sepeda, Mama pernah bilang kan kalau besok suamiku adalah orang yang sangat kaya, jadi aku bisa diantar kemana-mana naik mobil. Terus suamiku punya restoran di mana-mana… . Ingat kan?” Mama Niken memandang Inge dengan lurus. Senyumnya merekah. “Mama rasa kamu enggak perlu cocoklogi begitu. D
Inge yang masih memandangi pesan gantung di telepon Lucas, menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba mendengar Lucas berdehem tepat di belakang punggungnya.“Pak Lucas.” Inge salah tingkah. Dia merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan hal yang kurang sopan. Dengan sedikit gemetar dia menyodorkan telepon itu kepada si empunya.Lucas menerima, kemudian memeriksa telepon tersebut. Dua detik kemudian dia merekahkan senyum. “Apa kamu baca pesan dari Mama ini?”“Maaf, benar-benar tidak sengaja, Pak.” Inge menunduk lebih dalam.Lucas tertawa kecil. “Baguslah. Jadi aku enggak perlu repot memberitahu kamu kalau Mama menunggumu di rumah. Ayo kembalilah ke rumah kita.”“Maksudnya… .” Inge sengaja menggantung ucapannya. Dia beranikan diri untuk menatap wajah Lucas.“Ini sedikit memalukan, Ing. Ternyata selama ini Mamaku menyewa orang untuk menyelidiki kamu.” Lucas bergerak mendekat. Dia mengambil kedua tangan Inge, lalu tersenyum melihat wajah sang istri yang tampak lucu dengan mata membel
Naomi memandang wajah Inge sejenak, sebelum akhirnya mengangguk samar. Dia pun menurut saat dibawa masuk ke dalam kamar.“Mimi,” panggil Karina dari layar telepon Lucas. Tampak wajah cantiknya masih sedikit pucat. Latar belakang ranjang rumah sakit juga ikut terekam dalam panggilan video. Tampaknya Karina sedang sendirian di ruang tersebut.Inge mengajarkan Naomi untuk melambaikan tangan sekaligus mengucapkan salam pada ibu kandungnya itu. Lagi-lagi Naomi menurut, meski dengan sedikit canggung.“Mimi senang ya main sama Mama Inge?” ujar Karina.“Iya.” Naomi yang dipangku Lucas menyahut dengan menundukkan kepala .“Mimi sayang sama Mama Inge?” tanya Karina lagi.Naomi spontan memandang Inge, sehingga Inge sekuat tenaga melempar senyum. Segumpal perasaan bersalah menyergap hatinya. Dia begitu tertohok dengan pertanyaan Karina.Lucas cepat menguasai keadaan. Dia pun bersuara dengan meminta Naomi untuk menjawab ujaran sang ibu. Sementara tangan Lucas perlahan mengulur untuk menyentuh ping
Inge menunduk. Perasaannya berkecamuk.“Pak Lucas, boleh saya bicara dengan Bu Karina?” Alih-alih menjawab, Inge justru melempar pertanyaan. Lehernya bergerak sehingga kepala Inge kini tegak dan memandang Lucas yang duduk di sampingnya.“Saya ingin menjelaskan hubungan kita,” ucap Inge.Respon pertama kali Lucas adalah menghela napas. Kemudian dia mereguk susunya kembali, sebelum akhirnya menyahut, “Tentu saja boleh. Tapi tolong jangan terus merasa aku dan Karina bercerai karena kamu.”Inge mengulas senyum. “Tapi pikiran dan pandangan orang pasti akan seperti itu. Bayangkan saja, Bu Karina baru bangun setelah koma empat tahun, tiba-tiba diceraikan, lalu Pak Lucas melanjutkan hidup bersama saya sebagai suami istri. Apa kata orang nanti?”Lucas meraih tangan Inge. Dia remas sedikit sembari memberi tepukan kecil.“Apakah anggapan orang sangat berarti buat kamu?” tanya Lucas. Nadanya tegas. “Kita sudah melewati sejauh ini bukan?”Inge kembali menunduk. Tanpa sadar dia membalas remasan Luc
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a