“Istri Kedua? Maksudnya?” Inge mengernyit tidak mengerti.
“Saya masih terikat pernikahan sah dengan mamanya Naomi.”
Kerut di dahi Inge bertambah dalam. Dia hanya mendengar Lucas duda, tetapi sejujurnya dia tidak paham betul tentang penyebab status yang disandang lelaki ini. Apa mungkin karena Lucas belum sempat mengurus dokumen-dokumen, sehingga secara hukum dia dan mamanya Naomi masih resmi sebagai suami istri?
“Istri saya sakit. Dia koma saat melahirkan Naomi, sampai hari ini.”
Inge terjengit. Dia sangat terkejut. Jadi rumor yang selama ini salah?
“Kalau begitu saya lebih baik menggugurkan bayi ini. S-saya wanita baik-baik, Pak. Wanita baik tidak akan menjadi istri kedua dalam kondisi apa pun,” ucap Inge cepat.
Inge berdiri. “Saya permisi.”
“Tunggu!” Lucas mengejar Inge yang sudah melangkah cepat.
“Pergilah Pak Lucas, tinggalkan saya sendiri,” tegas Inge. Dia terus berjalan. Entah mengapa ada emosi yang tiba-tiba memenuhi relung hatinya.
Apakah dia kecewa karena ternyata Lucas bukan duda, sehingga dia tidak bisa menikah dengan pria itu? Atau sedih karena akhirnya opsi menggugurkan janin adalah pilihan satu-satunya yang tersedia? Inge melenguh, dia sendiri tidak tahu.
Lucas mengekor Inge sampai di teras rumah sakit.
“Kalau memang kamu mau pulang, biar saya antar.”
“Tidak perlu.”
Namun akhirnya Inge mengalah setelah Lucas terus mendesak. Dia memperbolehkan Lucas mengantarnya pulang. Meskipun sepanjang perjalanan mereka saling diam. Inge hanya membuka mulutnya ketika memberi petunjuk arah jalan.
Akhirnya mobil memasuki jalan perumahan, kemudian Inge menunjuk rumah berpintu banyak, yang catnya sudah mulai memudar. Mobil Lucas pun menepi di depannya. Setelah mengucapkan terima kasih dengan nada masih sedikit emosi, Inge segera turun.
Tatapan mata Lucas mengiringi langkah Inge masuk ke dalam salah satu pintu di sana. Lelaki itu terlihat menyipitkan mata, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya melajukan mobilnya kembali.
Sudah hampir tujuh bulan Inge pindah ke sini. Tepatnya sejak pertama kali Inge mengetahui Armand, mantan suaminya, ada main dengan seorang perempuan bernama Sandra, rekan kerja Armand di kantornya. Inge rela menghuni kamar yang sangat sederhana ini, sebagai anak kost, daripada hidup serumah dengan pengkhianat menjijikkan macam Armand.
Dia begitu sakit hati mengetahui fakta, ternyata Armand dan Sandra sudah berhubungan lebih dari setahun di belakangnya. Padahal di saat yang sama, Inge sedang sangat gencar mengusahakan bayi yang ingin dia persembahkan kepada Armand. Untuk itulah dia tidak ingin memberi kesempatan kedua, Inge membayar pengacara mahal agar proses cerainya berjalan cepat. Dia bahkan tidak peduli dengan harta gono gini yang dikuasai Armand sepenuhnya.
Inge melenguh, lalu merebahkan badan ke ranjang. Dia menyebut nama Tuhan berkali-kali, dan spontan tangannya mengelus perut. Andai janin ini datang lebih cepat, dia tidak akan terlalu bingung. Dia akan mengakui saja jika ini benih Armand, tanpa berniat meminta pertanggungjawaban lelaki itu.
Akan tetapi situasi sekarang sudah lain. Semua orang yang kenal dirinya sudah tahu jika dia berstatus janda. Bagaimana mungkin kalau tiba-tiba perutnya membesar dan berisi janin?
Inge memejamkan mata. ‘Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan bayi ini?’
Sedetik kemudian tangisnya pecah. Hati dalam rongga dada perempuan itu sakit sekali. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia sangat ingin punya anak sendiri. Tapi kenapa keinginannya itu terkabul di saat yang tidak tepat? Dan dengan orang yang salah?
Inge merasa sangat lelah. Sampai rasanya tidak dapat berpikir lagi. Inge memejamkan mata, membiarkan alam bawah sadarnya pelan-pelan mengambil kehadirannya dari dunia nyata.
Inge pun tertidur dengan air mata masih bergulir jatuh.
***
Tok tok tok.
Inge merajuk kaget, lalu telinganya menajam. Apakah pintunya yang diketuk, atau kamar di sebelah?
Refleks dia melihat jam di dinding. Lalu terperanjat lagi. “Astaga, Tuhan. Aku tertidur hampir dua jam?”
Saat ketukan terdengar lagi dan menjadi lebih keras, Inge memaksakan diri untuk bangun. Merapikan rambutnya tergesa, serta mengusap wajahnya.
Pintu dibuka.
“Pak Lucas?” pekik Inge tertahan.
“Obatnya sudah saya tebus,” katanya pelan seraya mengulurkan sebuah tas kecil. Mata lelaki itu terlihat mencuri pandang sekejap untuk menyapu keadaan ruangan di belakang Inge.
Inge mengucapkan terima kasih, lalu melihat isi dalam tas itu. Tiba-tiba dia mencetuskan tawa. “Tapi untuk apa? Bayi yang akan digugurkan tidak memerlukan ini semua.”
Dia mendongak, bertemu pandang dengan lelaki yang berdiri menjulang di depannya.
“Ayo kita menikah,” tutur Lucas. Manik matanya terlihat sedikit berpendar, terkesan seperti memohon.
Inge menggeleng. “Lupakan saja, Pak.”
“Kita lakukan untuk bayi itu.” Suara Lucas menjadi lebih tegas.
“Pak Lucas, mungkin Anda belum tau, saya berani mengambil keputusan untuk berpisah dari mantan suami saya sebab saya tidak mau diduakan, itu terlalu sakit. Bagaimana mungkin saya sekarang menjadi yang kedua? Itu berarti sama saja saya seperti si pelakor.”
“Kondisi kamu dengan dia jelas berbeda, Inge.”
Mata Inge membola. Agak kaget dengan kata terakhir yang baru saja diucapkan Lucas. Lelaki itu sudah berani memanggil namanya tanpa embel-embel ‘Miss’ lagi.
“Tolong biarkan saya bertanggung jawab atas kesalahan yang saya buat.” Pandangan Lucas melembut. “Tidak akan menghilangkan kesalahan itu, tapi setidaknya saya tidak melakukan kesalahan yang lain.”
Inge menggeleng. “S-saya akan menggugurkan janin ini saja.”
“Kamu yakin?” Nada berat dari bibir Lucas menancap ke hati Inge.
Dia pun menatap mata Lucas dalam-dalam. Lalu mengangguk. Beberapa saat mereka saling menatap.
Inge menelan ludah susah payah. Mulut Lucas memang terdiam, namun sorot matanya benar-benar seperti bicara, menggemakan ucapan terakhirnya.
‘Kamu yakin?’
‘Kamu yakin akan menggugurkan bayimu?’
‘Kamu yakin akan menggugurkan bayi yang pernah kamu impikan?’
Kalimat yang sejatinya hanya bergema di kepala Inge, membuat mata Inge mulai berkaca-kaca, lalu bahunya pun berguncang. Pertama pelan, pada akhirnya guncangan itu makin kencang.
Lucas bergerak ragu-ragu menyentuh Inge, ketika perempuan itu terlihat tidak menampik, Lucas pun membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Lalu dia membiarkan Inge menggerungkan tangis beberapa saat.
“Saya tidak bisa membiarkan kamu menanggungnya sendirian,” bisik Lucas.
“Temuilah Lucas, coba kalian bicara dulu dengan lebih tenang. Apa pun keputusanmu, Mama akan mendukungmu.”Inge bergerak memeluk sang mama. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi satu detik kemudian perempuan itu terisak. Ketika Mama Niken terlihat cemas, Inge justru mengeluarkan tawa kecil. Tentu saja Mama Niken mengernyit heran.“Kamu kenapa? Jangan bikin Mama bingung, Ing.” Nada suara perempuan yang melahirkan Inge itu menjadi naik.Inge justru tertawa lebih kencang.“Inge!” Mama Niken menjerit tertahan. Untung saja semua pegawainya sedang sibuk di depan, menata katering di dalam mobil, untuk segera diantar pada para pelanggan.“Aku tiba-tiba ingat , Ma. Dulu waktu Mama nganter aku sekolah naik sepeda, Mama pernah bilang kan kalau besok suamiku adalah orang yang sangat kaya, jadi aku bisa diantar kemana-mana naik mobil. Terus suamiku punya restoran di mana-mana… . Ingat kan?” Mama Niken memandang Inge dengan lurus. Senyumnya merekah. “Mama rasa kamu enggak perlu cocoklogi begitu. D
Inge yang masih memandangi pesan gantung di telepon Lucas, menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba mendengar Lucas berdehem tepat di belakang punggungnya.“Pak Lucas.” Inge salah tingkah. Dia merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan hal yang kurang sopan. Dengan sedikit gemetar dia menyodorkan telepon itu kepada si empunya.Lucas menerima, kemudian memeriksa telepon tersebut. Dua detik kemudian dia merekahkan senyum. “Apa kamu baca pesan dari Mama ini?”“Maaf, benar-benar tidak sengaja, Pak.” Inge menunduk lebih dalam.Lucas tertawa kecil. “Baguslah. Jadi aku enggak perlu repot memberitahu kamu kalau Mama menunggumu di rumah. Ayo kembalilah ke rumah kita.”“Maksudnya… .” Inge sengaja menggantung ucapannya. Dia beranikan diri untuk menatap wajah Lucas.“Ini sedikit memalukan, Ing. Ternyata selama ini Mamaku menyewa orang untuk menyelidiki kamu.” Lucas bergerak mendekat. Dia mengambil kedua tangan Inge, lalu tersenyum melihat wajah sang istri yang tampak lucu dengan mata membel
Naomi memandang wajah Inge sejenak, sebelum akhirnya mengangguk samar. Dia pun menurut saat dibawa masuk ke dalam kamar.“Mimi,” panggil Karina dari layar telepon Lucas. Tampak wajah cantiknya masih sedikit pucat. Latar belakang ranjang rumah sakit juga ikut terekam dalam panggilan video. Tampaknya Karina sedang sendirian di ruang tersebut.Inge mengajarkan Naomi untuk melambaikan tangan sekaligus mengucapkan salam pada ibu kandungnya itu. Lagi-lagi Naomi menurut, meski dengan sedikit canggung.“Mimi senang ya main sama Mama Inge?” ujar Karina.“Iya.” Naomi yang dipangku Lucas menyahut dengan menundukkan kepala .“Mimi sayang sama Mama Inge?” tanya Karina lagi.Naomi spontan memandang Inge, sehingga Inge sekuat tenaga melempar senyum. Segumpal perasaan bersalah menyergap hatinya. Dia begitu tertohok dengan pertanyaan Karina.Lucas cepat menguasai keadaan. Dia pun bersuara dengan meminta Naomi untuk menjawab ujaran sang ibu. Sementara tangan Lucas perlahan mengulur untuk menyentuh ping
Inge menunduk. Perasaannya berkecamuk.“Pak Lucas, boleh saya bicara dengan Bu Karina?” Alih-alih menjawab, Inge justru melempar pertanyaan. Lehernya bergerak sehingga kepala Inge kini tegak dan memandang Lucas yang duduk di sampingnya.“Saya ingin menjelaskan hubungan kita,” ucap Inge.Respon pertama kali Lucas adalah menghela napas. Kemudian dia mereguk susunya kembali, sebelum akhirnya menyahut, “Tentu saja boleh. Tapi tolong jangan terus merasa aku dan Karina bercerai karena kamu.”Inge mengulas senyum. “Tapi pikiran dan pandangan orang pasti akan seperti itu. Bayangkan saja, Bu Karina baru bangun setelah koma empat tahun, tiba-tiba diceraikan, lalu Pak Lucas melanjutkan hidup bersama saya sebagai suami istri. Apa kata orang nanti?”Lucas meraih tangan Inge. Dia remas sedikit sembari memberi tepukan kecil.“Apakah anggapan orang sangat berarti buat kamu?” tanya Lucas. Nadanya tegas. “Kita sudah melewati sejauh ini bukan?”Inge kembali menunduk. Tanpa sadar dia membalas remasan Luc
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a