"Ya Allah, Nduk! Ikannya hampir gosong ini lho!"
Gantari berjengit kaget saat sutil di tangannya tiba-tiba berpindah tangan. Bulik Ambar membalik ikan yang sedang digoreng Gantari dengan cekatan. Membuat Gantari mau tidak mau bergeser dua langkah agar tidak tersenggol. "Maaf, Bulik," ringis Gantari. "Dari tadi Bulik perhatikan, kamu sudah beberapa kali melamun. Kenapa, Nduk? Ada masalah ya sama Masmu?" Gantari menggeleng. Jantungnya hampir berhenti berdetak karena pertanyaan itu. "Enggak, Bulik. Tari dan Mas baik-baik saja." Wanita itu mengerjakan hal lain untuk mengalihkan perhatian. Memotong-motong dua ikat kangkung untuk dicuci. Lalu menyiapkan bumbu untuk menumis sayur segar itu. "Pernikahan memang sejatinya nggak mudah, Nduk Tari. Rumah tangga itu kan menyatukan dua kepala yang isinya berbeda. Menurutmu apa bisa langsung nyatu? Bisa langsung nyambung?" Gantari tercenung. Berpura-pura menjadi pasangan suami istri yang bahagia adalah ujian sulit yang harus dilalui Gantari sejak menjemput Bulik Ambar dan keluarganya dua jam yang lalu. Namun, aktingnya dengan Dirja tadi sejelek itukah hingga Bulik Ambar bisa langsung menebak dengan begitu akurat kalau ada yang salah pada rumah tangga mereka? "Pasti ada saja cobaannya, Nduk. Mau baru menikah atau sudah puluhan tahun menikah, tidak mungkin ada yang bebas dari masalah. Tinggal bagaimana kitanya yang menyikapi masalah itu. Kalau ada sesuatu yang membuatmu nggak nyaman, langsung bicarakan dengan Masmu. Jangan dipendam sendiri sampai menumpuk-numpuk. Nanti malah memicu masalah lain dan bikin kamu tambah stres. "Masmu itu walaupun pendiam, aslinya dewasa sekali. Sangat bisa diajak untuk berdiskusi. Adik-adik sepupunya saja nggak jarang ditelepon. Selain menasihati supaya rajin belajar dan berbakti kepada orang tua, Masmu bisa jadi teman ngobrol dan pendengar yang baik juga. Jadi nurut semua mereka itu sama Masmu." Gantari hanya tersenyum tipis menanggapi nasihat Bulik Ambar. Memangnya apa yang bisa ia katakan? Diam-diam Gantari memikirkan reaksi Bulik Ambar seandainya mengetahui kalau dirinya dan Dirja tidak pernah melakoni peran masing-masing sebagai suami dan istri sejak hari pertama menikah. Mereka bahkan tidak tinggal serumah lagi. Apalagi kalau Bulik Ambar tahu bahwa tidak lama lagi Gantari dan Dirja akan berpisah. Pasti akan geger. Sekitar dua puluh menit kemudian, masakan sederhana yang disiapkan Gantari dan Bulik Ambar untuk makan malam sudah siap di meja makan. "Mas Dirja mau lauk ikan atau cumi?" Gantari melanjutkan aktingnya yang payah seraya menyendokkan tumis kangkung ke piring suaminya. "Dua-duanya." "Tempe gorengnya mau juga?" Dirja menggeleng. "Tambah kerupuk sama sambalnya saja, Tari," ucap pria itu. Gantari mengambilkan sesuai permintaan Dirja. "Sudah, Mas?" Dirja mengangguk lagi disertai senyum tipis yang tanpa sadar terulas di bibir. Ini pertama kali Dirja dilayani istrinya di meja makan. Dua bulan di awal pernikahan sebelum Gantari pindah ke kos, istrinya itu tidak pernah menginjakkan kaki di dapur. Tidak pernah memasak. Tidak pernah bebersih rumah. Tidak pernah melakukan apa pun selain mendekam di kamar saat Dirja ada di rumah. Gantari memerankan perannya dengan sangat baik. Melakukan persis apa yang diminta Dirja agar memisahkan urusan hidup mereka masing-masing dan tidak saling mengurusi satu sama lain. "Beruntung kamu, Dir. Punya istri pintar masak," ucap Paklik Heru--suami Bulik Ambar. Mereka sudah selesai makan dan berpindah ke ruang keluarga sambil menonton TV yang menayangkan acara komedi. "Memangnya kalau istri nggak pintar masak, saya nggak beruntung, Paklik?" tanya Dirja diiringi kekehan. Gantari sedikit terkejut. Tidak menyangka suaminya yang pendiam itu bisa bercanda. "Ya bukan begitu maksud Paklik. Beruntungnya dobel kamu itu. Istrimu sangat baik budi pekertinya, baktinya kepada orang tua sudah ndak perlu diragukan lagi, parasnya juga ayu, ndak pernah neko-neko. Beruntung to?" Dirja memiringkan kepala, menatap istrinya yang sibuk mengupas buah apel. "Iya, Paklik," gumam pria itu. "Saya sangat bersyukur bisa memperistri Tari." Tari menanggapi pujian yang terdengar tidak tulus di telinganya itu dengan senyum palsu. Sebagai dukungan kepada Dirja yang masih belum bosan melanjutkan sandiwara. "Nduk Tari juga beruntung dapat Dirja lho, Pak. Alhamdulillah sudah mapan dan dewasa. Inshaallah bisa menjadi imam yang baik dan membimbing istrinya ke arah yang semakin baik juga," timpal Bulik Ambar tak henti-hentinya menyanjung keponakannya. "Bulik benar. Tari juga sangat beruntung," Gayatri ikut menanggapi. "Doakan kami terus ya, Bulik, Paklik." "Pasti, Nduk. Keluarga selalu saling mendoakan yang terbaik," jawab Paklik Heru tulus. Setelah itu, Paklik Heru pamit untuk ke kamar sebentar karena dipanggil oleh anak bungsunya. "Tapi... maaf, Nduk. Bukannya Bulik mau gimana-gimana," ucap Bulik Ambar dengan tatapan yang kurang mengenakkan. "Tapi, mbok ya, kalau bisa cincin kawinmu jangan dilepas." Gantari rasanya seperti mendapatkan hujaman peluru dari berbagai arah karena perkataan Bulik Ambar. Ia sungguhan lupa untuk yang satu itu. Cincinnya masih tersimpan rapi di lemari kamar kosnya. Padahal Dirja sudah mengingatkan ketika mengantarnya pulang ke kos tadi malam. "Itu..." Gantari menunduk. Menghindari tatapan penuh penghakiman dari suaminya. "Tari minta maaf Bulik--" "Belakangan ini berat badan Gantari agak susut, Bulik. Cincinnya jadi longgar, makanya disimpan dulu. Takutnya malah hilang kalau nggak sengaja lepas," Dirja menyela. Mengarang alasan yang paling logis untuk situasi saat itu. "Lho tadi ditanya Bulik katanya baik-baik saja. Iki piye, to?" "Tari memang baik-baik saja, Bulik." Bulik Ambar geleng-geleng kepala tak percaya. "Yo nggak mungkin ujug-ujug berat badannya susut kalau kamu baik-baik saja. Sudah ke dokter apa belum? Bulik rasa kamu lagi isi ini." "Maksudnya, Bulik?" "Hamil, Nduk." Mata Gantari membeliak. Mengibaskan tangan dengan panik. "Enggak, Bulik. Tari nggak hamil--" "Belum. Jangan bilang enggak," koreksi Bulik Ambar. Wanita itu terlihat agak kecewa saat mengamankan pisau dari tangan Gantari dan meletakkannya di meja. "Kapan kamu sama Masmu terakhir berhubungan? Coba dihitung jaraknya sama terakhir kamu menstruasi. Bisa ndak hitungnya?" cerocos Bulik Ambar makin menjadi-jadi. Mana bisa Gantari hamil kalau disentuh saja tidak pernah? Sentuhan dengan Dirja paling jauh adalah ketika pria itu mencium keningnya saat akad nikah dulu. Mereka bersentuhan lagi juga baru sore tadi, saat terpaksa bergandengan tangan di depan Bulik dan Paklik. "Kalian berdua ada rencana mau menunda punya anak atau bagaimana?" tanya Bulik Ambar lagi. "Kalau mau menunda, pakai cara alami saja, Nduk. Biar Masmu yang pakai pengaman." Gantari menggeleng lagi. "Kami--" "Iya, Bulik," Dirja kembali memotong perkataan Gantari. "Kasihan Gantari kalau harus KB. Kata dokternya, setelah lepas KB, malah akan susah hamil nanti. Bisa memengaruhi hormon sama mood-nya juga." Rasanya Gantari ingin tertawa. Pandai sekali Dirja mengarang kebohongan semacam itu. Oh, tidak juga. Gantari segera menarik tuduhannya. Mungkin saja itu bukan kebohongan. Siapa yang tahu, kan? Bisa saja Dirja betul-betul pernah menemui dokter spesialis kandungan bersama kekasihnya. "Tapi kalau bisa, nggak usah pakai menunda-nunda segala lah. Buat apa?" Bulik Ambar masih belum selesai dengan usahanya merecoki rumah tangga keponakannya. "Masmu sudah tiga puluh lho, Nduk. Pasti sudah pengen sekali menimang anak. Ya kan, Dir?" Dirja hanya mengulas senyum tanpa memberikan jawaban yang pasti. "Mumpung umurmu juga masih muda, Nduk. Nanti kalau kelamaan ditunda, keburu ndak produktif. Kasihan anaknya juga kalau lahir pas orang tuanya sudah tua." "Iya, Bulik. Kami mengerti. Doakan ya, Bulik, supaya semua rencana kami lancar terus ke depannya," sahut Dirja diplomatis. Sementara Gantari terus bungkam. Lelah dengan sandiwara panjang yang tak kunjung usai itu. Lagipula siapa yang mau hamil dengan Dirja? Itu tidak akan pernah terjadi. Menggadaikan tubuh dan perasaan kepada pria yang sudah menolak dirinya sejak awal, tidakkah itu akan terdengar sangat menyedihkan?Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa
Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah
Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s
"Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka
Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l
"Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan