Share

BAB 3. "Rumahmu di sini."

Penulis: Karma Police
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 10:23:50

"Assalamualaikum, Mas Dirja," sapa Gantari dengan mata yang masih terpaku pada tabel panjang berisi angka-angka yang terpampang di layar komputer. "Ada apa menelepon?"

"Waalaikumsalam. Keluarga Bulik Ambar mau datang. Pulanglah ke rumah," jawab Dirja yang masih tak tahu cara basa-basi.

Tangan Gantari yang menggerakkan tetikus terhenti.

Terhitung enam bulan sejak Gantari menyandang status sebagai istri Dirja Pramana. Dan ini sudah empat bulan Gantari tinggal terpisah dari pria itu.

Gantari mendapatkan pekerjaan sebagai staff keuangan di sebuah perusahaan kosmetik, masih di daerah Jakarta, tetapi wanita itu memanfaatkannya untuk mengambil jarak dari suaminya dengan pindah ke kos.

Kala itu, Dirja marah besar karena keputusan Gantari, tetapi tetap tidak menyurutkan niat sang istri untuk angkat kaki dari rumah. Dirja tak bisa menghentikan Gantari yang sudah bersikukuh pergi. Sama seperti Gantari yang tak bisa membuat Dirja menarik kembali ucapannya tentang ujung pernikahan mereka.

"Ada keperluan apa Bulik Ambar di Jakarta, Mas?"

"Ada hajatan," jawab Dirja tanpa menjelaskan detailnya. Sangat tipikal pria itu. "Jam berapa kamu pulang kerja? Saya jemput."

Gantari melirik jam berbentuk kotak yang menggantung di dinding ruang kerjanya. Masih sisa dua jam lagi sampai waktu pulang kerja.

"Kita bertemu di stasiun aja, Mas. Jam berapa Bulik dan keluarganya sampai di Jakarta?" Gantari bertanya balik. Secara halus menolak jemputan suaminya.

Dirja menjawab dengan menyebutkan waktu tiba kereta yang dinaiki Bulik Ambar dan keluarganya. Rupanya, mereka baru akan sampai di Jakarta besok siang.

"Mas Dirja ada di rumah jam berapa? Nanti aku mampir sebentar sepulang kerja."

"Saya jemput, Gantari."

"Nggak usah, Mas. Nanti aku naik ojol aja, lebih praktis." Gantari mengabaikan nada geram yang terdengar samar dalam suara suaminya.

Satu hal yang dipelajari Gantari sejak pernikahannya berubah menjadi mimpi buruk adalah bersikap abai dan sedingin yang ia mampu ketika menghadapi Dirja.

Tidak ada ruang yang ia sisakan untuk perasaan semu.

Gantari harus melindungi hatinya.

"Kalau nanti Mas Dirja belum sampai rumah saat aku datang, boleh aku langsung masuk?"

"Masuk saja. Kamu masih punya kunci rumah, kan? Atau sudah kamu buang?"

"Nggak mungkin aku buang, Mas. Nanti kalau kita sudah berpisah, aku akan kembalikan kuncinya," balas Gantari. Tidak terpancing oleh sindiran Dirja. "Ada yang mau Mas bicarakan lagi?"

"Tidak ada."

"Kalau gitu... sampai ketemu di rumah, Mas."

Dirja hanya menggumam.

Mereka saling bertukar salam, lalu sambungan telepon itu berakhir. Dirja yang memutuskannya lebih dulu.

Gantari memandangi layar ponselnya sampai redup dan meletakkannya kembali di meja kerja dalam posisi terbalik. Sebelum pikirannya mulai ke mana-mana, Gantari melanjutkan sisa pekerjaannya yang tadi tertunda karena telepon mendadak dari sang suami.

***

Sudah hampir pukul enam sore saat Gantari tiba di depan rumah Dirja. Tadi, wanita itu harus ke kos terlebih dahulu untuk mengambil kunci rumah.

Gerbang rumah Dirja tertutup rapat. Namun, terlihat lampu teras sudah menyala. Mobilnya juga sudah terparkir di carport.

Alih-alih menggunakan kunci yang sudah ia pegang untuk membuka gembok gerbang, Gantari justru menekan bel sebanyak dua kali dan menunggu sampai beberapa menit hingga pintu gerbang terbuka.

Dirja keluar dengan handuk kecil tersampir di pundak. Rambutnya basah. Pria itu pasti sedang mandi saat Gantari datang.

"Kenapa tidak langsung masuk? Katanya masih punya kunci rumah?"

Gantari berjalan masuk tanpa menanggapi pertanyaan sarkas yang dilontarkan Dirja. Ia datang ke sana bukan untuk meladeni pria itu berdebat.

Langkah Gantari sejenak terhenti di teras.

'Tidak ada yang berubah', batinnya.

Ruang kosong di sekitar kolam ikan masih gersang. Tidak ada bunga-bunga dan tanaman. Masih sama seperti ketika Gantari menginjakkan kaki di rumah itu untuk pertama kalinya.

Rencana Gantari untuk membangun taman kecil di sana tidak jadi terlaksana karena tidak ingin buang-buang tenaga. Untuk apa dia mempercantik pekarangan rumah yang bukan miliknya?

"Bulik datang sama suami dan anak-anaknya, Mas?" tanya Gantari setelah melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah yang ada di dekat pintu.

"Sama suami dan anaknya yang paling kecil saja yang diajak," jawab Dirja.

Masuk ke dalam ruang tamu, Gantari juga tak menemukan banyak perubahan selain tambahan satu bingkai foto yang terlalu mencolok di dinding bercat putih rumah itu.

Foto pernikahan Dirja dan Gantari yang dibingkai dengan frame berukuran sedang.

Satu-satunya hiasan di ruang tamu rumah Dirja selain jam berwarna hitam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding.

"Bulik Umi yang mengirimkan foto itu," cetus Dirja. Langkah kaki pria itu ikut terhenti saat pandangannya tertuju ke arah yang sama.

Ya, Gantari tahu.

Bulik Umi sendiri yang mengabari Gantari setelah foto dalam bingkai yang cantik itu diposkan ke rumah Dirja. Saat itu, Gantari sudah pindah ke kos.

Gantari hanya tidak menyangka Dirja akan memasang foto pernikahan mereka di sana. Lagi pula, untuk apa? Toh, pernikahan mereka sebentar lagi akan berakhir. Bukankah hanya akan merusak tembok dengan paku yang tertancap di sana?

"Kamarmu sudah saya bersihkan," ujar Dirja memutus lamunan singkat istrinya.

Gantari sedikit terkejut, tetapi setelah itu menggumamkan terima kasih. Kemudian Gantari dibuat terheran-heran ketika Dirja mengantarkannya sampai ke depan pintu kamar.

"Mas Dirja punya kasur lipat?" tanya Gantari.

"Untuk apa?"

"Kamar ini kan kasurnya nggak terlalu besar, Mas. Nggak cukup kalau buat tidur bertiga."

Tanpa menjawab pertanyaan Gantari tadi, Dirja beranjak pergi. Bertepatan dengan istrinya membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.

Tak berselang lama, Dirja sudah kembali muncul dan menenteng kasur lipat yang masih terlapisi plastik dengan satu tangan.

Di dalam kamar, Gantari sedang merapikan sprei yang baru dipasang Dirja sepulang kerja tadi.

"Wah, terima kasih, Mas!"

Mata Gantari berbinar saat Dirja melepas plastik pembungkus kasur lipat itu dan membentangkannya di samping kanan dipan.

"Mas nggak ada sprei yang buat single bed?"

Dirja menggeleng.

"Ya udah deh. Aku bawa dari kos aja besok," gumam Gantari sambil memandang ke sekeliling dan berpikir apa saja yang perlu disiapkan lagi sebelum menyambut kedatangan keluarga Dirja.

"Kita ambil sekarang saja, mumpung belum terlalu malam."

Gantari menoleh. Kembali merasa keheranan karena Dirja baru saja menawarkan diri untuk berkendara bolak-balik hanya untuk selembar sprei.

"Besok aja, Mas. Sprei-nya juga masih di laundry. Belum kuambil. Jam segini tempat laundry-nya udah tutup," balas Gantari beralasan.

Dirja tidak mendebat dan mengalihkan pembicaraan. "Baju-bajumu mau kamu tata kapan?"

Gantari menarik napas. Seolah perlu mempersiapkan diri saat menjawab, "Sekarang, Mas."

Dan Dirja lagi-lagi berbalik pergi tanpa kata. Gantari menyusul, tertinggal dua langkah di belakang suaminya.

Sampai di depan kamar Dirja, langkah Gantari berhenti.

"Kenapa?" tanya Dirja heran.

Gantari hanya menyunggingkan senyum tipis yang sangat terpaksa. Kembali mengayun langkah dengan debar keras di dada yang hadir tanpa bisa dicegah.

Dirja sudah membuka pintu lemari dan mendekatkan koper milik Gantari di sana.

"Kamu bisa meletakkan baju-bajumu di sini," kata pria itu lalu melangkah mundur.

Membiarkan Gantari yang ganti mengisi ruang yang ditinggalkannya.

"Terima kasih, Mas," ucap Gantari dalam suara rendah.

Saat Gantari pindah ke kos empat bulan lalu, ia sengaja meninggalkan koper kecil yang berisi beberapa setel pakaian dan menyimpannya di kamar Dirja. Untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ada keluarga yang datang. Mereka jadi tak perlu repot mengangkut barang-barang Gantari dari kos ke rumah.

Setelah selesai menyulap rumah menjadi sedikit lebih 'normal' sebagaimana dihuni oleh sepasang suami istri, Gantari pamit pulang. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat itu.

"Rumahmu di sini. Mau pulang ke mana lagi?"

Dari nada sinis dalam suaranya, Dirja jelas masih tidak terima karena istrinya minggat dari rumah.

"Aku sedang nggak ingin berdebat."

"Siapa yang mengajakmu berdebat? Saya hanya menyatakan fakta apa adanya. Rumahmu di sini," tegas Dirja.

Gantari membuang napas pelan. Berhadapan dengan Dirja secara langsung ternyata sepuluh kali lebih sulit ketimbang saat hanya melalui telepon atau bertukar pesan singkat.

"Aku sudah pesan ojol--"

"Batalkan."

"Tapi Mas--"

"Kamu pilih. Saya antar kamu ke kos atau kamu tetap di sini, uji coba tidur sekamar dengan saya malam ini?"

Gantari tidak pernah suka mendengar Dirja mengancamnya dengan nada tak terbantah seperti itu. Dan ia benci diingatkan kalau besok, mau tidak mau ia harus tidur sekamar dengan Dirja untuk kali pertama sejak mereka menjadi suami istri.

Sanggupkah ia?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 43. "Maaf, Tari. Maafkan saya...."

    Sementara itu di makam. Gantari sudah pergi cukup lama bersama Dina, tetapi Dirja masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu menatap kosong pada berplastik-plastik bunga yang kini tergenang air. Belum sempat ditaburkan.Setiap kata yang diucapkan Gantari hingga ekspresi wanita itu saat bicara kepadanya tadi masih terekam jelas di kepala.Kacau.Itu satu-satunya yang menggambarkan hubungannya dengan Gantari sekarang.Dirja sadar betul kalau tindakannya sudah sangat melukai sang istri. Tetap menikahi dan mempertahankan Gantari meski ada wanita lain yang menghuni hatinya adalah pilihan paling egois dan kejam. Tidak hanya untuk Gantari, tetapi juga untuk Asoka yang sudah kehilangan banyak hal hanya demi bisa tetap berada di sisi pria itu.Ia sudah salah melangkah karena berpikir bahwa wasiat orang tua harus diutamakan meski tidak bisa menjalankan pernikahan dengan Gantari selamanya.Itulah sebabnya ia ingin mengubah sikap dan memperlakukan sang istri dengan baik meski tetap tak bisa

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 42. "Aku bisa belajar mencintaimu."

    Gantari tidak tahu apa yang merasuki dirinya saat tiba-tiba bicara tentang hal-hal gila di depan makam kedua orang tuanya.Mungkin ia kerasukan setan gila yang mendambakan cinta dari pria yang dicintainya. Atau sebenarnya Gantari sedang mengungkapkannya isi hatinya secara jujur.Bahwa seandainya bisa, maka ia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Dirja. Sampai selamanya. Sebab, tidak mungkin ada orang normal yang bercita-cita menjadi janda. Begitu pula Gantari.Seperti yang dikatakan Bulik Umi tentang perjodohan yang telah dirancang orang tuanya dan orang tua Dirja sejak lama. Tidak seharusnya pernikahan itu mereka lakukan hanya demi memenuhi wasiat orang tua. Lalu mengakhirinya setelah merasa 'telah' membayar lunas wasiat itu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menjalani pernikahan dengan sebaik-baiknya."Saya tidak bisa meninggalkan Asoka," cetus Dirja.Suara suami Gantari itu begitu dingin, mengalahkan dinginnya air hujan yang jatuh memeluk bumi.Pria itu tampak tak tergoyah

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 41. "Lepaskan wanita itu, Mas."

    Meski tak mengatakannya secara langsung, Gantari sadar kalau seharian ini Dirja secara halus 'menyelamatkan' dirinya dari cecaran Bulik Umi.Dari sejak sarapan tadi, Dirja tiba-tiba bilang kalau Gantari agak pusing setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Yang akhirnya wanita itu dibiarkan untuk beristirahat di kamar sampai Dzuhur. Lalu setelah makan siang, Dirja mengajaknya jalan-jalan.Pria itu pamit kepada Bulik Umi dengan beralasan, "Mau sekalian beli bunga untuk dibawa ke makam sore nanti."Gantari sangat berterima kasih atas inisiatif suaminya itu. Tetapi rasanya ia juga ingin tertawa keras-keras. Pasalnya, sejak menikah, mana pernah mereka keluar bersama hanya berdua seperti ini?Sepasang suami istri itu menaiki motor bebek butut milik Paklik Nuri--suami Bulik Umi--dan menyusuri jalan tanpa tujuan.Gantari sempat berkomentar kalau mereka hanya buang-buang bensin, tetapi Dirja dengan santai menyuruhnya menikmati suasana tenang di sana, yang tak akan mereka temukan di kota sibuk s

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 40. "Masa belum hamil?"

    "Di seberang stasiun ada hotel, kita bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang. Bagaimana?"Dirja tadinya tidak serius akan ajakannya itu. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran istrinya agar tidak terlalu tegang sebelum mereka bertemu keluarga di kampung.Namun, melihat tanggapan Gantari yang saat ini tersipu-sipu sampai memalingkan wajah karena tak tahan beradu tatap dengannya, membuat Dirja goyah.Ada dorongan kuat dari dalam dirinya untuk segera menyeret sang istri ke hotel mewah yang ada di seberang sana. Lalu mereka bisa bersenang-senang sejenak tanpa gangguan. Merealisasikan apa yang sempat tertunda."Mas Dirja!"Mendengar seseorang menyerukan namanya membuat fantasi Dirja pupus seketika.Bukan Gantari, melainkan suara milik seorang pria yang sangat Dirja kenal. "Tama, kok di sini?""Ya jemput Mas Dirja sama Mbak Tari iki, to," ucap sosok bernama Tama itu dengan logat khasnya. "Budhe Umi ngerusuhi aku subuh-subuh, tak kira ono opo. Ealah tibake kon jemput kakang karo simbak balik ka

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 39. "Apa yang kamu takutkan?"

    Gantari terlalu tinggi berekspektasi.Setelah menunggu dua puluh menit, hanya ada dua mangkuk mi instan yang dilengkapi, telur, sosis dan sayur hijau yang tersaji di atas meja makan.Dirja menaikkan alis saat menyodorkan sendok dan garpu kepada sang istri. Namun, karena istrinya bergeming, pria itu meletakkan dua alat makan itu di samping mangkuk mi yang masih mengepulkan uap panas."Kelihatannya ada yang kecewa," gumam pria itu. "Kamu pasti mengira saya mau masak menu restoran bintang lima, ya? Makanya kamu antusias sekali tadi?"Gantari hanya menatap sang suami dalam diam.Jujur saja, wanita itu memang sangat menantikan makanan jenis apa yang akan suaminya buat untuknya."Tidak ada bahan yang masih cukup segar untuk dimasak," jelas Dirja membela diri setelah menyuap satu sendok penuh mi instan ke dalam mulut. Tidak mau repot menunggu sang istri yang belum menyentuh sendoknya sama sekali."Masih ada besok dan besoknya lagi kalau kamu pengen dimasakin. Sekarang itu dulu," ucap Dirja l

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 38. "Karena aku yang minta."

    "Saya tahu betul kalau tubuh kamu menginginkan saya," ucap Dirja yang membuat bulu kuduk Gantari seketika berdiri.Rasa panas dengan cepat menyebar di wajahnya yang tampak sedikit pucat karena tidak lagi terpulas oleh riasan make up.Padahal, wajar saja jika seorang wanita mendamba pada tubuh seorang pria yang adalah suaminya sendiri. Namun, tidak demikian untuk Gantari. Rasanya sangat memalukan saat Dirja menangkap basah dirinya.Gantari tak yakin apakah motif sang suami saat mengatakannya dengan senyum yang terkulum di bibir.Apakah senang karena tidak hanya pria itu yang nafsu sendirian? Atau semata untuk mengolok-oloknya karena begitu mudah terperangkap pada pesona sang pria hanya karena sebuah ciuman yang memabukkan?"Mau kabur ke mana?"Baru mengayunkan satu langkah, Gantari berhenti.Meski sulit, Gantari menguatkan diri untuk menatap mata suaminya saat menjawab, "Aku mau siapin kompres dulu buat Mas.""Kamu tidak perlu repot--""Lebam di muka Mas udah biru-biru, kalau dibiarkan

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 37. "Mau melakukan yang lebih dari ini?"

    Bab ini mengandung adegan dewasa (18+). Mohon bijak dalam membaca ya. Terima kasih***Dirja tidak melakukan apa pun selain menyentuhkan bibirnya yang dingin pada bibir ranum milik Gantari. Namun, sentuhan tipis itu sudah mampu membuat tubuh istrinya menegang.Sekejap saja Dirja sadar bahwa ciuman itu kemungkinan adalah pengalaman pertama untuk istrinya. Dari cerita orang-orang di kampung saat Dirja pulang untuk meminang Gantari menjadi istrinya, pris itu tahu kalau istrinya itu belum pernah punya pacar dan jarang terlihat dekat dengan seorang pria. Setelah beberapa detik bibir mereka hanya saling menempel, Dirja menjauhkan kepala.Wajah memerah Gantari dan tatapan malu-malunya membuat darah di tubuh sang pria bergejolak.Pria itu menelan ludah. Sedaya upaya mengusir bisikan setan yang mendesaknya untuk kembali mencium bibir merah muda nan menantang itu dengan lebih dalam.Sayang beribu sayang. Usaha Dirja berantakan saat Gantari menggigit bibir bawahnya. Wanita itu terlihat salah ti

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 36. "Saya tidak mau pulang tanpa kamu."

    Mas Dirja: Kamu kabur mana, Gantari?Mas Dirja: Jangan menguji kesabaran saya!Mas Dirja: Pulang sekarang!Mas Dirja: Saya jemput. Share loc posisi kamu.Mas Dirja: Balas, Gantari! Saya tahu kamu membaca semua pesan saya. Gantari meringkuk di atas tempat tidur berukuran queen yang terasa dingin meski tubuhnya sudah terbungkus selimut tebal. Wanita itu tampak sangat menyedihkan. Rambut panjangnya awut-awuran, wajahnya sembab, matanya bengkak dan memerah karena terlalu banyak menangisi hidupnya dikacaukan oleh Dirja.Pesan demi pesan dari suaminya yang bertubi-tubi masuk ke ponselnya sejak satu jam yang lalu itu tak ada yang wanita balas satu pun. Gantari hanya membacanya dan membiarkan Dirja ribut sendiri.Gantari beberapa kali memejamkan mata saat kepalanya terasa begitu pening dan semakin meringkuk di tengah ranjang. Namun, ia terganggu oleh ingatannya yang terus-menerus tertuju pada kejadian tempo hari.Pada rengkuh lengan kekar Dirja yang hangat. Pada dada bidang yang begitu nyama

  • Bukan Mempelai yang Kau Inginkan   BAB 35. "Bawa saya pergi."

    "Suami kamu sudah boleh pulang?"Gantari nyaris mati berdiri meski tidak ada yang salah dengan pertanyaan yang dilontarkan Tio. Terlebih lagi ketika mendengar Dirja mengumpat kecil dengan suaranya yang sarat akan amarah. Gantari berharap lantai di bawah kakinya tiba-tiba terbelah dan dirinya terisap ke dalam agar tak perlu berada di situasi sulit yang menjebaknya itu."Suami? Gue nggak salah dengar?" cetus Harris sinis. Pria itu kembali ke mode awal seperti saat pertama kali berhadapan dengan Gantari di kamar Dirja beberapa hari lalu."Anda memang tidak salah dengar. Tapi kenapa kelihatannya Anda kaget sekali?" tanya Tio. Senyum miring tercetak di wajahnya saat melirik Dirja.Pria itu jelas-jelas sengaja memperburuk situasi.Harris yang masih belum pulih dari rasa kaget itu tertawa sinis. Namun, sebelum mengatakan apa-apa, Gantari lebih dulu bersuara."Sore, Pak Tio. Kami duluan ya, Pak. Semoga bapaknya Bapak cepat sembuh juga. Sampai bertemu besok di kantor. Permisi, Pak," cerocos G

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status