Share

Part 3 - Nikah Siri

"Tidak Bi, aku tidak mau dijodohkan lagi." Bi Rusti yang mendengar tolakan Hasna mendengus kesal. 

"Iyalah kamu ini apa-apaan. Lihat gara-gara kamu dulu menjodohkannya. Sekarang dia menjadi janda." Bela mang Edi menghentikan acara makannya. Sarapan didepannya seakan tak mengundang selera lagi. 

Hasna hanya menunduk, ia tahu bibinya mungkin tertekan karena statusnya. Meskipun bukan dia saja yang berstatus janda. Tetapi entah  selalu dia yang menjadi gunjingan warga. "Nasib punya wajah cantik," kata Erna sahabatnya ketika masih menjadi SPG. Mereka berdua memang kerap kali menceritakan kisah hidupnya masing-masing.

Apalagi malam itu kedatangan Fandi yang tak disengaja membuatnya heboh. Rasanya tak adil baginya. Ia curiga pada satu nama yang memprovokasi hingga warga berkerumun malam itu. Ia berpikir itu ulah juragan Sardi, karena tidak berlangsung lama setelah kejadian itu juragan Sardi datang melamarnya dengan alasan menjaga nama baik Hasna agar tidak ada timbul fitnah lagi. Dengan iming-iming akan membelikan rumah, dan memperbesar warung kopi milik bi Rusti serta toko kelontong mang Edi, tentu saja membuat Bi Rusti menerimanya.

"Yang sudah, ya, sudahlah. Juragan Sardi ini niatnya baik. Dia ingin menjaga Hasna dan tentunya meningkatkan derajat keluarga kita," kekeh Bi Rusti seraya menyendokkan makanan kedalam mulut. Sarapan pagi itu membuat Hasna tak nyaman, selera makannya hilang. Begitu pun dengan mang Edi  ia merasa kasihan dengan keponakannya. Pernikahanya dulu atas perjodohan bibinya hanya bertahan beberapa bulan saja Hasna harus menyandung status janda. 

"Ma'afkan mamang ya, neng." Hasna tersenyum. Ia merasa menjadi beban untuk pamannya. 

"Mamang tidak salah. Justru Hasna yang berterima kasih kepada mamang dan bibi, kalian berdua pengganti orang tua Hasna. Sudah merawatku sejak kecil,” sahut Hasna lembut.

"Nah, sebagai ungkapan terima kasihmu, maka kamu harus terima lamaran juragan Sardi. Coba bayangkan hidupmu akan sangat layak. Tidak ada lagi yang berani meremehkanmu. Ia juga berjanji akan memperbesar buat warung kita A'. Dan membelikan rumah yang besar. Dan kamu neng, sudah tak perlu bekerja." Kedua mata bi Rusti berbinar menerawang jauh. Khayalannya menjadi orang kaya, memiliki uang berlimpah dan hidup nyaman tanpa bekerja.

"Inget, banyak harta belum tentu buat kita bahagia, yang terpenting hidup ini berkah. Syukuri rezeki yang kita dapat. Hidup nyaman tentram," ujar mang Edi menasehati isterinya. 

"Kalau kita banyak duit, hidup kita lebih bahagia lagi. Iya kan Hasna. Pokoknya kamu harus menikah dengan juragan Sardi. Dia sendiri loh yang meminta ke bibi."

Hasna terdiam, ia tidak ingin dijadikan isteri ke empat juragan Sardi. Usianya sudah seperti pamannya yang seharusnya menjadi ayahnya. 

Drt … drrrt …

Ponsel di atas meja bergetar, belum juga diraihnya. Hingga layarnya gelap kembali.

"Permisi sebentar sepertinya handphone neng, bunyi," ucap Hasna pamit meninggalkan paman dan bibinya. Diraihnya ponsel yang tergeletak itu, tertangkap dilayar panggilan tujuh kali dari Fandi.

[Ada apa?] Pesan singkat untuk pemuda itu.

[Aku merindukanmu, sudah beberapa hari ini kamu tak ada kabar.]" Balas Fandi cepat.

[Aku baik, oh, iya, bibi akan menjodohkanku dengan juragan Sardi. Apakah aku harus menerimanya? Juragan Sardi akan datang melamarku.]

Berbalas pesan dengan Fandy tak terasa belir bening menetes membasahi pipi mulus gadis itu.  Fandy satu-satunya lelaki yang dapat mengisi hatinya. Entah kenapa ia harus mencintai lelaki yang umurnya lebih muda darinya. 

[Jangan terima lamaran itu. Besok aku akan datang dan langsung menikahimu.]

Akan dapat ijin dari orang tua atau tidak pemuda itu sudah membulatkan tekad untuk menikahi Hasna.

***

"Semuanya saya serahkan pada Hasna. Kalau keponakan saya setuju, saya juga tidak bisa menolak. Tetapi untuk pernikahan kami butuh waktu untuk proses semuanya." Lelaki setengah baya itu menjawab dengan bijaksana. Pandangannya mengarah tajam  pada Fandy. 

"Saya ingin menikahi Hasna secara sederhana saja Paman, tidak ada pesta. Berhubung mami dan papi sedang diluar kota. Tidak banyak juga saudara disini. Bagaimana kalo tidak perlu mengundang tamu, yang terpenting pernikahan ini sah secara agama saja."

Paman Edi dan Bi Rusti saling berpandangan. Pemuda dihadapannya bukanlah orang tidak berpunya. Kenapa tak ingin mengundang tamu walaupun sedikit. Bukankah orang kaya justru akan menggelar pesta mewah?

"Maksud kamu bagaimana? Nikah siri?"

Paman Edi mengerutkan dahi meminta penjelasan sembari membenarkan posisi duduknya. Ditatapnya tajam pemuda dihadapannya itu.

"Mmm … maksud saya nanti resepsinya gampang menyusul. Karena seperti yang paman bilang butuh waktu. Untuk sementara biarkan kami sah saja dulu. Bukankah fitnah itu membuat cibiran tetangga,"  jawab Fandy terbata kini pandangannya berlalih pada Hasna. Jujur saja pernikahan seperti ini bukan keinginan Fandy, karena restu dari orang tuanya tidak ia dapatkan. Ia menikahi Hasna secara diam-diam. Tidak ingin ada yang tahu, orang tua ataupun saudara. Ia takut jika menggelar pesta maka akam banyak orang yang tahu dan sampai ke telinga kedua orang tuanya. 

Mang Edi menghela napas. Entah siapa yang menyebarkan fitnah keji itu. Seakan ada yang tak suka dengan keluarganya. Ia percaya penuturan keponakannya ini semua hanya kesalahpahaman. Kini pandangan beralir pada Hasna. Gadis itu yang sedari tadi memainkan ujung bawah pakaiannya akhirnya mengangkat wajahnya. 

"Saya mau," jawabnya singkat dan menundukan kepalanya kembali. Ia yakin Fandy adalah pemuda yang baik. 

"Tidak bisa. Pernikahan ini harus mewah." Bi Rusti menolak,” bukankah kamu anak orang kaya? setidaknya pihak dari keluargamu ada yang datang. Apa semuanya sibuk? Sesibuk itukah orang kaya atau.. apa kamu sudah punya isteri?” tanya Bi Rusti menyelidik membuat pemuda itu terdiam.

“Saya belum pernah menikah, Hasna adalah satu-satunya perempuan yang saya cintai. Menikah dengannya untuk yang pertama dan terakhir. Saya berjanji akan membahagiakannya. Masalah pesta mewah pasti nanti akan kami selenggarakan. Tapi tidak untuk saat ini.” Terang Fandi meyakinkan mereka. 

Lamaran yang secara singkat dan besok paginya pernikahan Fandi dan Hasna pun digelar. Fandi ditemani Andre sebagai saksi dan beberapa tetangga Hasna. Tidak banyak tamu yang diundang. 

"Gila lu bro, nekat banget menikah tanpa restu orang tua lu."

Andre tak menyangka sahabatnya yang dikenal penurut itu menjadi seperti ini. Pernikahan bukanlah permainan, acara sakral, semesta pun menjadi saksi janji suci yang besar pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia tapi juga diakhirat. 

"Ini adalah bukti cinta gue ke Hasna, cinta tanpa keberanian adalah hal aneh. Do'ain aja semoga gue dan Hasna bahagia selalu." Fandi tersenyum menjawab meski dalam hati menginginkan kehadiran kedua orang tuanya. 

"Pasti gue do'ain yang terbaik buat lu, tapi gak takut kualat, lu?"

Tiba-tiba saja ponsel Andre bergetar. Yulia menelpon. Keduanya terbelalak kemudian Fandi mengangguk agar Andre segera mengangkatnya. 

"Hallo, Andre, apa kamu sedang bersama Fandi? Sejak dua hari kemarin handphonnya tidak aktiv. Tante sangat khawatir." Terdengar suara Yulia terisak. Sengaja Andre mengeraskan speaker ponsel agar pemuda disampingnya mendengar. Fandi dan Andre saling berpandangan, haruskah ia berkata jujur saja?

"Bagaimana ini?" tanya Andre tanpa suara. Sementara sebentar lagi acara akad segera dimulai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status