"Mih," sapanya menampakan senyum, tapi senyum itu surut setelah matanya bersirobok dengan seseorang yang duduk bersebelahan dengan ibunya. "Ah, kenapa ada dia,” desisnya kesal.
"Ngapain lu malam-malam disini." tanya Fandi malas kemudian menjatuhkan bobotnya disofa. Gadis yang disapanya akhir-akhir ini sering berkunjung ke rumahnya. Citra namanya, orang tuanya berniat menjodohkan mereka. Meskipun cantik, Fandi tak menaruh hati padanya. Justru ia jatuh hati pada wanita sederhana, Hasna.
"Begitukah caramu menyapa calon isterimu yang cantik ini," ucap Citra sembari mengibaskan rambutnya yang terurai.
"Fandi, malam ini Citra menginap disini. Mama dan papanya sedang ke luar kota. Kasian dia sendirian di rumah." Yulia menjelaskan kedatangan Citra.
"Citra, lebih baik kamu istirahat. Sudah malam." Surya menimpali. Ia mengetahui putranya tidak begitu menyukai gadis itu.
"Iya, om, tante. Saya permisi dulu." Pamit Citra menunduk dan berlalu menuju kamar tamu.
"Fandi, jangan kasar begitu sama Citra." Yulia menghela napas, ia merasa sungkan Fandi ketus dengan gadis itu. Sementara itu Surya hanya tersenyum. Ia sendiri pun tidak menyukai gadis itu. Menurutnya kehidupannya terlalu glamor.
"Ya, ya. Sekarang ada yang lebih penting. Fandi mau ngomong sesuatu,” ucapnya ragu. Jarinya menggaruk kepala yang tidak gatal. Yulia dan Surya saling pandang dan menatap putranya.
"Apa? Katakanlah. Sepertinya serius," jawab Surya mengeryitkan dahi.
"Fandi ingin menikah." ucapnya menunduk.
"Menikah? Kesayangan mama sudah dewasa. Lihat, pih, anak lelaki kita ingin menikah." Yulia tersentak kemudian mengulum senyum. Ia berpikir Fandi akan menerima Citra.
"Papah terserah kamu saja, setidaknya kamu bisa mandiri tidak ketergantungan mamihmu lagi,” sahut Surya. Ia sebenarnya sudah jengah dengan kelakuan isterinya yang terlalu memanjakan Fandy sehingga anak lelakinya yang baru diwisuda itu tak mau mencari pekerjaan atau meneruskan bisnis orang tua. Kerjaannya hanya nongkrong bersama teman-temannya. Ia berharap setelah menikah nanti Fandy bisa belajar mandiri. Ia berharap Fandi seperti Andre sahabatnya, diusia muda sudah bisa merintis bisnisnya.
"Mamah, papah setuju?" Berbinar mata Fandy berharap restu orang tuannya.
"Akhirnya kamu mau menerima Citra, tapi sebaiknya kita atur pertunangannya dulu,” jawab Yulia antusias.
"Tidak, mih. Bukan dengan Citra," ucapnya mantap membuat Yulia terdiam.
"Lalu siapa?" tanya Yulia singkat. Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu duduk mendekat.
"Namanya Hasna, besok kalau diijinkan Fandy akan membawanya kesini." Pemuda itu meraih tangan Yulia meminta restu. "Mami, ingat waktu Fandi kecelakan malam itu?"
Surya dan Yulia mengingat malam itu dimana putranya mengalami kecelakaan tunggal. Seharian mata Yulia sembab karena putranya. Binar kedua mata Fandi menceritakan wanita yang bernama Hasna, dia yang telah menolongnya malam itu. Mengingat senyumnya yang manis dengan lesung pipinya membuat Fandi semakin berdebar-debar.
"Fandi sayang, tapi dia seorang SPG." ucap Yulia seraya menggelengkan kepala. "Tidak, mami tidak merestui kamu menikah dengan dia. Mami akan mencarikan calon isteri untukmu jika kamu tidak mau dengan Citra." Yulia enggan bermenantukan seorang SPG. Apa nanti kata teman-temannya? Terutama orang tua Citra. Yulia dan Seila berniat menjodohkan anak-anak mereka.
“Tidak mih, kali ini saja jangan ikut campur urusan Fandy. Biarkan kali ini menentukan masa depan sendiri. Fandi hanya ingin restu dari mami dan papi." Fandy mengiba, ia merasa hidupnya selalu diatur dikendalikan orang tuanya. Dari kecil dengan siapa saja ia boleh berteman, sampai kuliah mengambil jurusan pun yang memilih mamanya. Dari TK sampai SMA diantar jemput. Hingga sebutan anak mami melekat padanya. Saat mulai kuliah saja ia diijinkan membawa kendaraan sendiri.
"Dia hanya seorang SPG, Fandi. Bagaimanapun tidak cocok dengan keluarga besar kita,” kekeh Yulia melirik Surya, meminta pendapatnya.
"Bagaimana dengan keluarganya?" tanya Surya penuh selidik.
"Hasna, seorang yatim piatu dari kecil. Dia dibesarkan oleh paman dan bibinya. Mereka hanya mengelola warung miliknya didepan rumah," jawab Fandi jujur.
"Dengarkan papih, Fandi. Carilah wanita yang membuat keluarga kita jadi lebih terpandang. Membantu bisnis kita semakin meningkat. Itu yang terpenting."
Mendengar penuturan Surya membuat jiwanya separuh hilang. Walaupun ia tahu hasilnya pasti akan seperti ini. Namun bagaimanapun ia masih berharap kedua orang tuanya akan merestuinya. Fandi terus protes, agar orang tuanya mau menerima Hasna, ia benar-benar sangat mencintai wanita itu.
"Cinta bisa datang kapan saja. Jika sudah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya." Fandi tahu kedua orang tuanya dahulu menikah karena dijodohkan. Tetap saja Fandi tidak bisa menerima pernikahan berlandasan bisnis. Ia ingin menikah dengan wanita yang dicintainya.
“Mah, biarkan kali ini Fandy yang memilih masa depan sendiri. Bukankah selama ini Fandy selalu menuruti kemauan mama?" Pemuda itu merajuk selayaknya anak kecil mengiba seraya ia bersimpuh memeluk kedua kaki wanita yang melahirkannya.
“Kenapa sekarang kamu jadi pembangkang seperti ini, pasti gara-gara perempuan itu. Sudahlah mama cape. Mama mau istirahat sekarang."
Setelah melalui perdebatan panjang, Yulia tetap pada keputusannya. Ia beranjak meninggalkan tempat duduknya dan berlalu ke kamar meninggalakan Fandy yang masih terduduk lemas dilantai. Sorot mata pemuda itu menatap sendu ke arah papahnya. Berharap sang papa mau menuruti keinginannya sekali ini.
“Pah..” lirih Fandy berganti ia bersimpuh dikaki Surya memohon restu darinya. Namun handphone Surya berdering sudah pasti urusan kantor.
Papahnya begitu sibuk meskipun di hari libur tetap saja mengurus kerjaan. Semakin tinggi jabatan semakin berat beban dan tanggung jawab. Ia tak ingin seperti papahnya tak memilik banyak waktu untuk keluarga. Hampir dua puluh empat jam waktunya habis untuk bekerja demi mempertahankan stabilitas perusahaan. Sangat jarang sekali mereka berlibur sekeluarga. Namun sebagai anak ia cukup beruntung memiliki ibu yang begitu perhatian meskipun berlebihan.
Begitulah dunia bisnis tak seindah drama di film. Seorang CEO kapan pun pergi bebas, tinggal tunjuk sana sini pada para ajudannya. Tinggal tanda tangan lalu proyek selesai. Oh, tidak. Menurut penuturan papahnya. Seorang pembisnis harus kuat mental, juga tak boleh lengah sekalipun memiliki pegawai banyak. Karena sekali salah melangkah dan salah mengambil keputusan, sesama pembisnis lain yang memiliki modal besar juga dapat saling menjatuhkan. Maka itulah harus jeli, butuh ketelitian. Itulah yang dijelaskan ketika kedua kakaknya, Kania dan Kiara merengek karena Surya tidak ada waktu untuk mereka.
**
"Kenapa lu bro. Muka kusut banget kaya kain belum disetrika." Kelakar Andre melihat Fandi datang menghempaskan tubuhnya dikasur.
"Sialan lu. Gua lagi pusing. Malam ini gua nginep tidur disini." Andre mengulum senyum melihat Fandi masih saja kekanakan. Dilemparnya bantal ke muka Fandi.
"Kebiasaan lu ah. Kalau ngambek pasti kaburnya dimari."
"Kali ini gua bener-bener gak bisa mikir." Andre menoleh begitu pula Fandi lalu kemudian saling melempar bantal.
"Jangan liatin gue seperti itu. Gue masih normal." ucap Fandi bertingkah jijik. Keduanya saling tertawa.
"Lagi mikir aja emang lu punya otak. Pasti juga lu kesini mau minta tolong, udahlah gue sibuk. Besok ada meeting. Gue tidur dulu." Dilemparnya selimut ke arah Fandi yang tidur di kasur bawah.
"Dre, cinta gue tak direstui." Temannya yang diajak curhat malah membelakanginya.
"Yaudah sih, kawin lari aja,” celetuk Andre asal, ia mulai menguap dan matanya terpejam. Tak lama kemudian terdengar sudah mendengkur.
"Sialan malah tidur duluan." Desis Fandi,
"Ka-win lari,” lirih Fandi terbata mengulang perkataan Andre. Hal yang sangat mustahil baginya. Ia merasa tidak dapat hidup tanpa harta orang tuanya.
"Batalkan saja. Bilang saja sudah tidak menerima karyawan baru untuk di bagian mana pun." Meskipun ragu akan keputusannya, lelaki paruh baya itu berbicara dengan tegas. "Tapi, pak hari ini …"Belum selesai berbicara sambungan telepon sudah diputus secara sepihak. Itulah kebiasaan Surya selalu memutuskan sambungan secara sepihak. Rencana Surya gagal,terpatahkan oleh pendapat istrinya. Surya bekerja sama dengan Andre agar Fandi memulai semuanya dari nol. Meskipun anak sendiri, ia ingin Fandi bekerja dengan sungguh-sungguh. Dimulai dari jabatan yang dianggap sebagian orang rendah. Karena Fandi anak lelaki satu-satunya, lelaki paruh baya itu ingin menguji mentalnya. "Tidak! Aku tidak terima Fandi harus menjadi pelayan di kantor kita sendiri. Seharusnya dia yang jadi Bosnya." Yulia murka mengetahui rencana suaminya. "Batalkan, pih!" protesnya lagi.Tatapannya tajam mengarah ke Surya. Tidak habis pikir bagaimana mungkin suaminya merencanakan sesuatu di belakangnya. Beruntung ia sendir
Setelah menemukan yang dicari Fandi segera ke arah dapur dan mengeluarkan butiran dalam kemasan plastik itu. Perlahan ia masukan ke dalam gelas kaca."Kenapa obat itu dicampurkan pada minuman itu? Apa obat itu sebenarnya untukku?" Hasna hanya membatin melihat apa yang dilakukan Fandi dari balik gorden yang menjadi pembatas antara ruang tidur dan dapur. "Sebenarnya obat apa itu? Ada rahasia apa? Berbagai pertanyaan dalam benak Hasna. Memang kemasan obat itu kosong tak ada tulisan atau petunjuk pemakaian apapun. Hanya ada beberapa butir dalam plastik kecil itu. "Ehem..!"Sengaja Hasna mengeluarkan suaranya keras. Kemudian ia berjalan perlahan menghampiri Fandi yang berdiri terpaku. Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan obat dalam genggaman tangannya. Tampak raut wajahnya putih memucat, tangannya bergetar. "Apa ini?" Hasna bertanya seraya membungkuk mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai. "Emm.. itu.. itu." Lidah Fandi terasa kelu untuk menjelaskannya. "Ku mohon, jangan salah paham
Perdebatan yang terjadi dengan suaminya, membuat Hasna menjadi malas melakukan apapun. Apalagi melihat sarapan sudah susah payah dibuat tidak tersentuh sama sekali oleh Fandi. Niatnya akan memasak menjadi urung.Rebahan di depan televisi yang menyala tapi entah pikirannya kemana. Karena bosan juga hanya berguling di lantai, akhirnya Hasna memutuskan untuk merapikan dan membereskan rumah mungil itu. Dimulai dari kamar mandi, ia sikat bersih dan wangi. Dilanjutkan merapikan dapur yang hanya ada kompor satu tungku di atas meja.Setelah itu ruang tengah, dimana terdapat kasur lantai tempat mereka tidur, dan ruang depan yang hanya ada televisi dan kulkas. Semua ruangan ia sapu bersih dan di pel. Sampai akhirnya tertuju pada lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka karena tadi Fandi mengambil jaket sebelum pergi.
"Hush, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya dengar, loh! Tak baik juga ngomongin orang," potong bu Sri pemilik warung seraya mengacungkan jari telunjuknya menutup mulutnya sendiri. Spontan membuat ibu-ibu yang sedang bergosip terdiam sesaat dan saling melirik satu sama lain. Baru sadar jika Hasna belum dari tempat mereka berkumpul membicarakannya.Demi tidak ingin mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan tentang dirinya, kaki jenjang Hasna mengurai langkah lebar-lebar. Ia berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang asyik membicarakan tentang dirinya. Hatinya begitu kesal dengan sikap mereka, baru sebulan tinggal daerah sini sudah menjadi pembicaraan umum. Apakah kebiasan warga sini senang bergosip? Pikirnya dan berlalu. Ingin segera ia cepat sampai ke rumah.Sesampainya di rumah, terlihat Fandi masih asyik dengan ponsel dalam genggamanny
Sudah hampir sebulan Fandi juga masih belum juga bekerja. Kesehariannya hanya bermain game online. Hasna mulai gemas dengan suaminya. Bukannya keluar mencari pekerjaan melainkan hanya dirumah saja."Bang, tabungan semakin menipis. Bukannya kamu sudah janji akan mencari pekerjaan, kalau di rumah terus bagaimana bisa dapat kerja," keluh Hasna sembari tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang berserakan di lantai."Hmm.." jawab lelaki yang tengah asyik bermain game diponselnya."Bang!" panggil Hasna lagi merasa ucapannya tak didengarnya, geram sendiri melihat tingkah suaminya yang nampak acuh.Pasalnya keuangan mereka benar-benar semakin menipis dengan pengeluaran sehari-hari tanpa pemasukan. Diam-diam juga Hasna mencari pekerjaan, bertanya-tanya sekiranya a
Mendengar jawaban Yulia dan Surya membuat Fandi bingung dengan apa yang terjadi, dahinya mengeryit dalam. Jika bukan mereka atau Citra, lalu siapa yang selama ini menguntitnya hingga ia terpaksa harus pindah. Namun pada akhirnya ia hanya berpikir positif saja. Mungkinkah hanya persasann ia saja? Dering ponsel Fandi di dalam kantong celana jeansnay terdengar nyaring menyadarkan lamunan sesaat. Setelah dilihat siapa sang penelpon ternyata Hasna. Ia mematikan panggilan dari istrinya. "Mih, Pih, aku pamit dulu. Jangan khawatir aku baik-baik saja. Pasti aku akan sering main-main kesini. Jika mami kangen panggil saja, aku yang akan datang. Mami tak perlu mencariku." Setelah mengucapkan pamit Fandi mengecup tangan Surya dan Yulia dengan takzim. Yulia sedikit kecewa ingin protes baru saja mereka bertemu dan harus ditingg
Fandi menyusuri gang kecil menuju lapangan yang lebih luas dimana mobilnya terparkir. Gang kecil itu hanya bisa dilalui satu motor sehingga terpaksa semalam mobil itu diparkir lumayan jauh dari rumahnya.Sesampainya di lapangan kedua mata Fandi terbelalak, pupilnya seperti akan keluar. Kedua tangannya mengepal erat terlihat otot-otot kekarnya keluar, setelah melihat dimana mobil itu berada."Citra!" Wanita yang dipanggilnya menoleh, segera tangannya menepis pada dua pria berbadan besar tanda ia menyuruhnya segera pergi."Owh, jadi kamu yang mengikutiku. Mereka orang-orang suruhanmu?" tanya Fandi marah. Citra bergeming bingung apa yang dituduhkan Fandi padanya."Jawab, Cit! Mengakulah!" gertak Fandi mulai meninggi suaranya.
"Aku pengennya sekarang, obat lelah biar tidur kita tambah nyenyak." Fandi mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum seraya membuka pakaiannya. Hasna hanya pasrah apa yang akan dilakukan suaminya."Paling juga gagal lagi, lelaki itu hanya bisa mendekatinya saja. Tidak berani mencampurinya," batin Hasna, maka ia membiarkan tangan suaminya berkelana kemana-mana dan mencium setiap inci tubuh indah miliknya. Hasna mulai mendesah menikmati, tapi tiba-tiba Fandi terbangun dan berlalu ke dapur. Hasna hanya tersenyum melihat tingkah suaminya. Ia sudah tahu lelaki itu pasti belum berani melakukannya.Sementara Fandi di dapur membuat teh hangat untuk Hasna."Ma'afkan aku, sayang," ucapnya lirih seraya mengeluarkan satu butir pil dari plastik kecil dan mencampurinya ke dalam teh hangat yang akan ia berikan untuk sang ist
"Siapa mereka?" Hasna mencoba mengingat-ngingat dua orang itu. Sepertinya ia mengenal kedua orang itu. Namun tidak terlalu jelas, wajah mereka tertutup helm rapat, ia hanya merasa mengenalnya dari postur tubuh mereka. Salah satu dari mereka berbadan besar dan satunya lagi kurus tinggi dan keduanya memakai jaket hitam dan bercelana jeans sobek bagian lutut. Segera ditepisnya pikiran negatifnya itu. "Ah, mungkin saja orang sini, tapi kenapa berbadan besar itu sepertinya menunjuk-nunjuk Fandi dan kemudian mengikutinya? dan sudah sejak subuh motor mereka juga sudah ada diujung jalan."Hasna hanya berdo'a, semoga tidak terjadi apa-apa dengan suaminya.Setelah beberapa menit, Fandi sampai ditempat yang sudah dijanjikan oleh Andre. Cafe tempat biaaa mereka nongkrong, tidak jauh dari kantor Andre. Pemuda itu segera menuju meja dimana seorang pemuda duduk seorang