Share

Part 2 - Meminta Restu

"Mih," sapanya menampakan senyum, tapi senyum itu surut setelah matanya bersirobok dengan seseorang yang duduk bersebelahan dengan ibunya. "Ah, kenapa ada dia,” desisnya kesal.

"Ngapain lu malam-malam disini." tanya Fandi malas kemudian menjatuhkan bobotnya disofa. Gadis yang disapanya akhir-akhir ini sering berkunjung ke rumahnya. Citra namanya, orang tuanya berniat menjodohkan mereka. Meskipun cantik, Fandi tak menaruh hati padanya. Justru ia jatuh hati pada wanita sederhana, Hasna.

"Begitukah caramu menyapa calon isterimu yang cantik ini," ucap Citra sembari mengibaskan rambutnya yang terurai.

"Fandi, malam ini Citra menginap disini. Mama dan papanya sedang ke luar kota. Kasian dia sendirian di rumah." Yulia menjelaskan kedatangan Citra. 

"Citra, lebih baik kamu istirahat. Sudah malam." Surya menimpali. Ia mengetahui putranya tidak begitu menyukai gadis itu.

"Iya, om, tante. Saya permisi dulu." Pamit Citra menunduk dan berlalu menuju kamar tamu.

"Fandi, jangan kasar begitu sama Citra." Yulia menghela napas, ia merasa sungkan Fandi ketus dengan gadis itu. Sementara itu Surya hanya tersenyum. Ia sendiri pun tidak menyukai gadis itu. Menurutnya kehidupannya terlalu glamor. 

"Ya, ya. Sekarang ada yang lebih penting. Fandi mau ngomong sesuatu,” ucapnya ragu. Jarinya menggaruk kepala yang tidak gatal. Yulia dan Surya saling pandang dan menatap putranya. 

"Apa? Katakanlah. Sepertinya serius," jawab Surya mengeryitkan dahi. 

"Fandi ingin menikah." ucapnya menunduk.

"Menikah? Kesayangan mama sudah dewasa. Lihat, pih, anak lelaki kita ingin menikah." Yulia tersentak kemudian mengulum senyum. Ia berpikir Fandi akan menerima Citra.

"Papah terserah kamu saja, setidaknya kamu bisa mandiri tidak ketergantungan mamihmu lagi,” sahut Surya. Ia sebenarnya sudah jengah dengan kelakuan isterinya yang terlalu memanjakan Fandy sehingga anak lelakinya yang baru diwisuda itu tak mau mencari pekerjaan atau meneruskan bisnis orang tua. Kerjaannya hanya nongkrong bersama teman-temannya. Ia berharap setelah menikah nanti Fandy bisa belajar mandiri. Ia berharap Fandi seperti Andre sahabatnya, diusia muda sudah bisa merintis bisnisnya. 

"Mamah, papah setuju?" Berbinar mata Fandy berharap restu orang tuannya. 

"Akhirnya kamu mau menerima Citra, tapi sebaiknya kita atur pertunangannya dulu,” jawab Yulia antusias.  

"Tidak, mih. Bukan dengan Citra," ucapnya mantap membuat Yulia terdiam.

"Lalu siapa?" tanya Yulia singkat. Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu duduk mendekat.

"Namanya Hasna, besok kalau diijinkan Fandy akan membawanya kesini." Pemuda itu meraih tangan Yulia meminta restu. "Mami, ingat waktu Fandi kecelakan malam itu?" 

Surya dan Yulia mengingat malam itu dimana putranya mengalami kecelakaan tunggal. Seharian mata Yulia sembab karena putranya.  Binar kedua mata Fandi menceritakan wanita yang bernama Hasna, dia yang telah menolongnya malam itu. Mengingat senyumnya yang manis dengan lesung pipinya membuat Fandi semakin berdebar-debar. 

"Fandi sayang, tapi dia seorang SPG." ucap Yulia seraya menggelengkan kepala.  "Tidak, mami tidak merestui kamu menikah dengan dia. Mami akan mencarikan calon isteri untukmu jika kamu tidak mau dengan Citra." Yulia enggan bermenantukan seorang  SPG. Apa nanti kata teman-temannya? Terutama orang tua Citra. Yulia dan Seila berniat menjodohkan anak-anak mereka. 

“Tidak mih, kali ini saja jangan ikut campur urusan Fandy. Biarkan kali ini menentukan masa depan sendiri. Fandi hanya ingin restu dari mami dan papi." Fandy mengiba, ia merasa hidupnya selalu diatur dikendalikan orang tuanya. Dari kecil dengan siapa saja ia boleh berteman, sampai kuliah mengambil jurusan pun yang memilih mamanya. Dari TK sampai SMA diantar jemput. Hingga sebutan anak mami melekat padanya. Saat mulai kuliah saja ia diijinkan membawa kendaraan sendiri.

"Dia hanya seorang SPG, Fandi. Bagaimanapun tidak cocok dengan keluarga besar kita,” kekeh Yulia melirik Surya, meminta pendapatnya.

"Bagaimana dengan keluarganya?" tanya Surya penuh selidik.

"Hasna, seorang yatim piatu dari kecil. Dia dibesarkan oleh paman dan bibinya. Mereka hanya mengelola warung miliknya didepan rumah,"  jawab Fandi jujur. 

"Dengarkan papih, Fandi. Carilah wanita yang membuat keluarga kita jadi lebih terpandang. Membantu bisnis kita semakin meningkat. Itu yang terpenting."

Mendengar penuturan Surya membuat jiwanya separuh hilang. Walaupun ia tahu hasilnya pasti akan seperti ini. Namun bagaimanapun ia masih berharap kedua orang tuanya akan merestuinya. Fandi terus protes, agar orang tuanya mau menerima Hasna, ia benar-benar sangat mencintai wanita itu.

"Cinta bisa datang kapan saja. Jika sudah terbiasa bersama maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya." Fandi tahu kedua orang tuanya dahulu menikah karena dijodohkan. Tetap saja Fandi tidak bisa menerima pernikahan berlandasan bisnis. Ia ingin menikah dengan wanita yang dicintainya. 

“Mah, biarkan kali ini Fandy yang memilih masa depan sendiri. Bukankah selama ini Fandy selalu menuruti kemauan mama?" Pemuda itu merajuk selayaknya anak kecil mengiba seraya ia bersimpuh memeluk kedua kaki wanita yang melahirkannya. 

“Kenapa sekarang kamu jadi pembangkang seperti ini, pasti gara-gara perempuan itu. Sudahlah mama cape. Mama mau istirahat sekarang."

Setelah melalui perdebatan panjang, Yulia tetap pada keputusannya. Ia beranjak meninggalkan tempat duduknya dan berlalu ke kamar meninggalakan Fandy yang masih terduduk lemas dilantai. Sorot mata pemuda itu menatap sendu ke arah papahnya. Berharap sang papa mau menuruti keinginannya sekali ini.

“Pah..” lirih Fandy berganti ia bersimpuh dikaki Surya memohon restu darinya. Namun handphone Surya berdering  sudah pasti urusan kantor. 

Papahnya begitu sibuk meskipun di hari libur tetap saja mengurus kerjaan. Semakin tinggi jabatan semakin berat beban dan tanggung jawab. Ia tak ingin seperti papahnya tak memilik banyak waktu untuk keluarga. Hampir dua puluh empat jam waktunya habis untuk bekerja demi mempertahankan stabilitas perusahaan. Sangat jarang sekali mereka berlibur sekeluarga. Namun sebagai anak ia cukup beruntung memiliki ibu yang begitu perhatian meskipun berlebihan.

Begitulah dunia bisnis tak seindah drama di film. Seorang CEO kapan pun pergi bebas, tinggal tunjuk sana sini pada para ajudannya. Tinggal tanda tangan lalu proyek selesai. Oh, tidak. Menurut penuturan papahnya. Seorang pembisnis harus kuat mental, juga tak boleh lengah sekalipun memiliki pegawai banyak. Karena sekali salah melangkah dan salah mengambil keputusan, sesama pembisnis lain yang memiliki modal besar juga dapat saling menjatuhkan. Maka itulah harus jeli, butuh ketelitian. Itulah yang dijelaskan ketika kedua kakaknya, Kania dan Kiara merengek karena Surya tidak ada waktu untuk mereka. 

**

"Kenapa lu bro. Muka kusut banget kaya kain belum disetrika." Kelakar Andre melihat Fandi datang menghempaskan tubuhnya dikasur. 

"Sialan lu. Gua lagi pusing. Malam ini gua nginep tidur disini." Andre mengulum senyum melihat Fandi masih saja kekanakan. Dilemparnya bantal ke muka Fandi. 

"Kebiasaan lu ah. Kalau ngambek pasti kaburnya dimari."

"Kali ini gua bener-bener gak bisa mikir." Andre menoleh begitu pula Fandi lalu kemudian saling melempar bantal.

"Jangan liatin gue seperti itu. Gue masih normal." ucap Fandi bertingkah jijik. Keduanya saling tertawa.

"Lagi mikir aja emang lu punya otak. Pasti juga lu kesini mau minta tolong, udahlah gue sibuk. Besok ada meeting. Gue tidur dulu." Dilemparnya selimut ke arah Fandi yang tidur di kasur bawah. 

"Dre, cinta gue tak direstui."  Temannya yang diajak curhat malah membelakanginya. 

"Yaudah sih, kawin lari aja,” celetuk Andre asal, ia mulai menguap dan matanya terpejam. Tak lama kemudian terdengar sudah mendengkur.

"Sialan malah tidur duluan." Desis Fandi, 

"Ka-win lari,” lirih  Fandi terbata mengulang perkataan Andre. Hal yang sangat mustahil baginya. Ia merasa tidak dapat hidup tanpa harta orang tuanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status