Share

Part 4 - Kembali ke Jakarta

"Bagaimana ini?" tanya Andre tanpa suara. Sementara sebentar lagi acara akad segera dimulai. 

"Nak Fandi, ayo penghulunya sudah datang." Panggilan mang Edi membuyarkan keduanya yang sedari tadi terdiam bimbang.

"Halo, Andre!" Suara Yulia dari seberang telepon masih terdengar. 

"Atur saja, jangan sampe ketahuan." Bisik Fandi nyaris tak terdengar dan berlalu meninggalkan Andre. 

"I-iya, tante, aduh sinyalnya susah, halo hallo,” sahut Andre seraya mematikan ponsel sepihak dan berlalu menyusul Fandi dirinya akan menjadi saksi pernikahan sahabatnya itu.

Dirumahnya Yulia amat kesal, Fandi dan Andre sulit dihubungi.

"Penghulu? pernikahan siapa?" batin Yulia bertanya-tanya curiga, sekilas ia yakin mendengar nama anaknya dipanggil. "Ah, mungkin saja mereka sedang ada pesta pernikahan teman dan tempatnta sangat pelosok sehingga tidak ada sinyal,” lirih Yulia menepis kecurigaa, setidaknya dirinya sudah sedikit tenang ada Andre bersama putranya. 

"SAH!! jawab saksi serentak. Kemudian dilanjutkan doa untuk mereka berdua. Acara pernikahan yang sangat sederhana hanya dihadiri beberapa orang saja sebagai saksi. Hasna dengan polesan make up tipis natural tampak cantik. Keduanya kini telah menjadi sepasang suami isteri, sudah sah di mata agama. Fandi terlihat amat bahagia meski ada rasa sesak menyelimuti. Wanita ayu itu adalah cinta pertama yang berhasil memporakporandakan hatinya. Entah mengapa cintanya begitu dalam sejak pertama bertemu. Malam itu Fandi yang tengah berpesta merayakan kelulusannya bersama-temannya. 

"Ayo Fand, jangan cemen begitu." Seru Alex sambil menyodorkan minuman keras.

"Mana berani dia minum, bro. Anak mami. Hahaha." Gelak tawa Jeri meremehkan.

"Betul, kalau saja tidak kita paksa mana mungkin akan mau ke sini. Ayolah bro pokoknya malam ini kita senang-senang,” tmpal Rudi disambung gelak tawa teman-tamannya mengangkat gelas berisi minuman yang sudah membuat mereka setengah sadar dan meneguknya bersamaan. Fandi yang sempat ragu, karena cemohan dan pojokan dari mereka akhirnya tergiur ikut menikmati pesta malam itu.

"Fandi, dimana kamu. Cepat pulang!" Bentak Yulia diseberang telepon. Fandi yang sudah setengah mabok mengakhiri pestanya. Menyetir dalam keadaan mabok membuat mobilnya limbung menabrak pohon besar dekat swalayan. Seorang wanita yang baru saja keluar swalayan berlari melihat kecelakan tunggal itu dan mencari bantuan. Dia adalah Hasna seorang  pelayan swalayan toserba itu. Beberapa warga menolong dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Neng, saya pulang dulu yah."

"Saya juga, saya pulang."

Semuanya berpamitan pulang, tidak dengan Hasna. Ia merasa bertanggung jawab, sementara keluarga pemuda itu belum datang ia menunggu Fandi hingga pemuda itu siuman. Berawal dari kecelakaan tak disengaja itu tumbuh benih-benih cinta di hati. Senyuman Hasna yang manis mampu meluluhkan hati Fandi.

"Ehem, senyum-senyum ada apa?" Fandi menoleh, mengingat awal pertemuan mereka membuatnya tersenyum sendiri.

"Bahagia rasanya akhirnya kita sah menjadi suami isteri," Jawab Fandi seraya menarik Hasna kedalam pelukannya. Dadanya yang bidang membuat Hasna terasa nyaman. 

"Bagaimana rencana kamu selanjutnya, tidak mungkin kita numpang bersama mamang terus." 

"Ya, besok kita akan mencari kontrakan." Fandi sendiri bingung mereka akan tinggal dimana, sedangkan ia sendiri belum memiliki pekerjaan. Semua tabungannya sudah ia berikan untuk mahar Hasna. Itu syarat bi Rusti menyetujui pernikahannya. Ia meminta mahar yang besar dan biaya untuk menggelar acara mereka yang sangat sederhana. 

"Bang, ma'af sebagian mahar darimu harus diserahkan ke bi Rusti katanya ia sedang sangat butuh. Tapi cukuplah untuk keperluan hidup kita, dan perhiasan ini bisa kita jual selagi kamu menambah-nambah selagi kita belum mendapat pekerjaan." Mereka berniat memulai semuanya dari nol. Ada rasa sesak bergelanyut dalam hati pemuda itu. Kini ia menyesal tidak mengindahkan ucapan papinya. Semenjak ia masih menjadi mahasiswa Surya selalu meminta Fandi untuk belajar mengelola perusahaan. Namun dengan pembelaan maminya ia hanya bersenang-senang saja, berfoya-foya. Ia pikir harta orang tuanya banyak tidak habis tujuh turunan, dan memiliki banyak karyawan kenapa harus susah bekerja? Sekarang ia mengerti pentingnya mandiri, bagi seorang lelaki pekerjaan adalah harga dirinya. 

Siang itu mereka sampai di Jakarta dengan bantuan Andre sebelumnya untuk mencari sebuah rumah kontrakan.

"Sayang, aku akan pulang ke rumah dulu." 

Wanita yang sedang beberes menoleh menghentikan aktifitasnya dengan senyum mengembang terlukis dibibir mungilnya.

"Kalau begitu aku siap-siap dulu." Sudah tidak sabar wanita itu bertemu dengan orang tua Fandi. Setidaknya mereka akan meminta restu secara langsung, karena pernikahan kemarin tidak ada orang tua maupun saudaranya yang hadir.

"Tidak, maksud aku tidak untuk sekarang. Oh iya, aku ingin meminta sesuatu darimu. Bisa?" 

"Ada apa, apa ada yang kamu tutupi?" Binar mata Hasna meredup, ia merasa ada sesuatu pada diri suaminya itu.

"Tolong, hapus foto pernikahan kita  yang kamu posting di sosmed. Tolong jaga pernikahan kita di jakarta sini, rahasiakan dari siapapun."

Hasna mengeryitkan dahi, "kenapa? Sekarang jujur saja padaku!"

Dengan berat hati Fandi menceritakan semuanya, ia tak ingin ada lagi yang ditutupi dari wanita yang sekarang sudah sah menjadi isterinya. Fandi yakin hubungan yang baik berawal dari kejujuran. Iamenunduk merutuki diri sendiri, kenapa tidak bilang dari awal. Ia benar-benar takut Hasna akan meninggalkannya. 

"Yasudah, lebih baik kamu pulang sekarang. Orang tuamu pasti khawatir kamu tidak pulang beberapa hari." Hasna menyangka pernikahannya  tanpa restu dari pihak suami. Bagaimana jika pernikahannya gagal seperti yang dulu? Ia tak ingin menyandang status sebagai janda lagi. Baru saja ia merasa di atas awan kini terasa terlempar begitu saja. 

"Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri? Aku hanya sebentar. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku." Kini ia merasa lega, setidaknya Hasna sudah mengetahui beban yang berhari-hari lalu mengganjalnya. 

Hasna terdiam dan mengangguk. Fandi mengecup keningnya sebelum pergi. "Hati-hati aku pergi dulu," ucap Fandi yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh Hasna.

Selang beberapa lama Andre datang menurutnya ia akan membantu Hasna membereskan semua yang masih tersisa.

"Tidak usah, sedikit lagi selesai. Aku bisa mengerjakannya sendiri. Terima kasih, tapi ma'af lebih baik kamu pulang, tidak baik seorang wanita sudah menikah  bersama lelaki lain dalam satu rumah. Takut ada fitnah." Hasna menjelaskan dengan hati-hati, ia tak enak hati pada Andre yang sudah berniat baik. 

"Iya, tidak apa-apa saya mengerti. Fandi yang menelponku untuk membantumu." Andre juga tidak habis pikir kenapa sahabatnya begitu mempercayakan segala sesuatu padanya, termasuk menjaga isterinya. Tidak takutkaj jika ia tikung? Andre tersenyum menggelengakan kepala memikirkan itu. 

"Aku permisi dulu, Hasna. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya. Fandi sahabatku begitu juga kamu." Andre pamit meninggalkan Hasna yang berdiri didepan pintu.

Sudah hampir larut malam Fandi belum juga pulang membuat Hasna cemas. Ponselnya juga sulit dihubungi. Ingin menyusulnya tapi kemana? Ia juga tidak tahu rumah mertuanya. Sementara itu di seberang rumahnya sebuah mobil jeep hitam berhenti, sepasang matanya terus mengawasi rumah petak mereka dan menyeringai sinis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status