Hari itu selepas pulang kuliah, Gama tidak sengaja menabrak pengendara motor di pinggir jalan. Kondisi motor ringsek parah dibagian belakang. Sedangkan pengendara terlempar beberapa meter kedepan. Gama bergegas keluar dari mobil dan menghampiri korban. Dari jauh sudah terlihat seorang pria yang sepertinya seusia dengannya. Pria itu melepaskan helm dengan susah payah lalu menoleh ke arah Gama. Wajahnya terlihat jelas, mata sipit berwarna coklat. Gama mendadak panik dan ketakutan saat melihat darah segar mengalir dari kepala pria itu membasahi dahi. Dan tiba-tiba pria itu pingsan. Gama takut kecelakaan ini membuatnya masuk penjara karena kebut-kebutan dijalan. Melihat belum ada siapapun yang melintas, dia memutuskan segera meninggalkan tempat kejadian. Membiarkan pria itu tergeletak begitu saja dipinggir jalan. Bertahun-tahun Gama menutupi rahasia ini sendiri. Orang tuanya juga tidak tahu. Gama menganggap semua telah selesai karena tidak ada siapapun yang mencarinya untuk membahas k
"Kakek mengundang kita makan malam, katanya Helena tadi pagi pulang bersama calon suaminya dan bersedia merawat papanya." Kata Ridwan menyampaikan pesan tersebut kepada anak-anaknya. "Calon suami? Siapa?" Ujar Kak Rei sambil menyuapi Mecca roti. "Ayah juga tidak tahu, kakek tidak menjelaskan lebih detail. Tapi nanti malam kita akan mengetahuinya, karena keluarga calon suaminya juga akan datang." Jawab Ridwan. Kak Luz yang baru datang tiba-tiba menyahut. "Aku rasa pria yang menjadi calon suami Helena tidak waras. Karena mau dengan wanita problematik seperti itu." "Aku juga memiliki firasat buruk akan hal itu." Tambah Kak Rei menanggapi perkataan istrinya. "Apapun itu semoga keluarga kita tidak ikut terkena getahnya." Balas Ridwan penuh harap. "Kalian tenang saja, apapun yang terjadi dengan Helena, bukan tanggung jawab kita." Aruna yang sejak tadi diam baru membuka suara dan menyakinkan keluarganya. "Helena memang licik, tapi mau selidik apapun dia, pasti memiliki celah untuk dij
Tatapan dari pria mata coklat itu membuat jantungku terus berdetak kencang. Tidak tahu kenapa, yang jelas aku rasa dia mengenalku. Wajah yang awalnya datar, perlahan menampakkan senyum indah. "Lupa denganku?" ujarnya, dan Aruna mengangguk pelan. Tangan pria itu mengisyaratkan Aruna untuk duduk di seberangnya. "Benar kata papa, kamu masih tetap sama. Dilain waktu, datanglah ke rumah. Mama pasti senang melihatmu." "Maaf, kamu siapa? Apa kita sebelumnya pernah bertemu dan mengenal dekat? Aku benar-benar tidak mengingatmu." Aruna memberanikan diri bertanya, dia sungguh penasaran dengan siapa kini bicara. Pria itu hanya tersenyum, namun enggan untuk menjawab. Pandangannya beralih pada asistennya, Max. Melihat tatapan atasannya, Max segera mengambil alih bicara. "Maaf, Nona Aruna. Dia adalah Tuan Muda William. Andrew Jeff William, putra tunggal Tuan William. Mungkin anda lupa, jika dulu kalian pernah bertemu di Los Angles saat anda baru lulus SMP. Kalian dulu cukup dekat, namun karena
Suasana cafe terbilang sepi saat Aruna datang dan memesan secangkir coklat panas dan lemon tea. Dia turut menginginkan ruangan privat. Hampir 10 menit menunggu, Helena datang dengan penampilan serba tertutup. Wajahnya tampak sayu seperti orang kurang istirahat. Bibir yang biasanya dipoles merah merona kini tampak pucat. Aruna sedikit miris melihatnya, baru beberapa hari keluar dari rumahnya, penampilan Helena bisa berubah drastis."Apa yang ingin kamu katakan sampai mendesak ku bertemu?" Tanya Helena, tidak ada panggilan 'kak' yang tersematkan di nama Aruna."Kakek memintamu pulang untuk menemui papamu... " "Tidak mau. Aku tidak akan pulang ke tempat neraka itu." Helena menolak dengan cepat. Aruna mendesah pelan, dia harus sabar menghadapi Helena. "Papamu sakit, Helena. Tidakkah ada sedikit rasa rindu padanya?" "Bukan urusanku lagi. Sejak mama pergi dari rumah, tidak ada lagi yang menyayangiku dirumah itu. Termasuk papa!" Jawab Helena sembari memalingkan wajah."Bisa hidup sampai
"Om Dean, apa kabar?" Aruna mendatangi kamar adik bungsu ibunya. Tubuh yang dulunya berisi kini kurus hingga bagian tangan terlihat bentuk tulangnya. "Ru, maaf ya Helena selalu merepotkan kamu." Meski membelakangi Aruna, ternyata Om Dean masih mengenali suara keponakannya. Aruna segera mendekatinya. Posisi Om Dean duduk di kursi roda menghadap jendela. "Om harus sehat, maaf Aruna sudah tidak bisa menjaga Helena lagi." Om Dean menoleh. Wajah tampan pria itu sudah benar-benar tidak dikenali lagi, kusam, keriput. Lebih terlihat muda ayahnya dibanding Om Dean meski usia ayahnya jauh lebih tua. "Om rindu ibumu, Ru. Mungkin sudah saatnya kami bertemu." katanya membuat Aruna berjongkok menggenggam tangan Om Dean. "Semua rindu ibuku, Om. Tapi Helena butuh, Om Dean." Jujur saja Aruna sedih melihat keadaan omnya seperti ini. Jika bukan karena kakek dan neneknya yang sangat peduli, mungkin hidup Om Dean sudah terlantar dijalanan. "Biarkan dia hidup sesukanya. Om sudah tidak sanggup menang
Helena pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dia naik ojek online dan wajahnya ditutupi masker serta kacamata hitam."Ini bener rumahnya, neng?" tanya tukang ojek itu memastikan. "Iya Pak, ini uangnya." Helena menjawab sambil membayar. Dia melihat sekeliling, tidak ada siapapun. Merasa aman, segera dia membuka gerbang namun sepertinya terkunci dari dalam. "Tumben jam segini udah di kunci?" Ujarnya dengan kesal. "Pak Naryo, Pak Naryoooo, buka gerbangnya." Teriak Helena sambil memukul gerbang. "Cepetan pak, saya mau masuk. Pak Naryo lagi apa sih kok lama banget?" Ujarnya dengan kesal. Tidak lama, terdengar suara gebang dibuka. Helena merasa lega dan bersiap masuk. Namun tangan seseorang bergegas menghalanginya. "Kak Aruna, kenapa gerbang ditutup lagi?" Helena melihat Pak Naryo, satpam rumah, tidak keluar sendiri. Melainkan ada Aruna dan Kak Luz. Juga membawa 2 buah koper ukuran besar yang Helena kenali sebagai miliknya. "Kenapa koper ku dikeluarkan?" tanya Helena ke