Beranda / Rumah Tangga / Bukan Pembantu Gratisan / Di Paksa Balik Ke Rumah Mertua

Share

Di Paksa Balik Ke Rumah Mertua

Penulis: Henny_Hutabarat
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-23 17:20:43

Bu Sarti menggenggam tanganku untuk menguatkan, lalu dia berjalan menuju pintu dan membukanya.

“Silakan masuk, Bu Anik,” ucap wanita yang telah banyak berjasa padaku.

Bu Anik pun memasuki ruang tamu diikuti oleh Kak Mila.

“Ada apa datang ke sini, Bu?" Dengan sedikit rasa takut, aku memberanikan diri untuk bertanya terlebih dahulu.

“Ini rumah Bu Sarti, tidak seharusnya kau bertanya, Buluk!” bentaknya.

“Eh, Yati, baru sebentar saja di sini sudah seperti tuan rumah gayamu, ya,” sambung kak Mila.

“Hati-hati, Bu Sarti, mending anak ini diusir saja daripada bikin beban di rumah ini.” Sepertinya tidak puas mungkin rasanya, kalau kedua orang itu tidak menyakiti perasaanku.

Astagfirullah, apalagi mau mereka. Tidak bisakah aku lepas dari mereka dan hidup dengan tenang? batinku menggerutu.

“Sudah, jangan ribut di sini!” sentak Bu Sarti menghentikan ejekan mereka terhadapku.

"Ayo, duduk dulu, Bu Anik, ada apa gerangan datang ke rumah saya malam-malam begini?” tanya Bu Sarti setelah keduanya duduk.

“Begini, Bu ... saya dengar dari orang klinik kalau wanita itu telah hamil, jadi saya harap dia balik lagi ke rumah saya. Karena dia mengandung anak Arjuna berarti itu cucu saya,” katanya tanpa beban sambil menunjuk ke arahku.

What? Mereka menyuruhku balik lagi ke rumah? Ini pasti akal-akalan saja. Mungkin mereka merasakan capeknya mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apalagi Bu Anik yang harus menjaga kedua cucunya saat menantu kesayangannya itu bekerja.

Katanya orang kaya, tetapi kenapa tidak mau pakai jasa ART. Lagi pula tidak ada yang mau bekerja di rumah Bu Anik. Pekerjaan menggunung, tetapi bayaran rendah. Belum lagi mulutnya yang super pedas.

Aku pernah mendapat cerita bahwa dulu sebelum aku menikah sama Mas Arjuna beliau sering bergonta-ganti ART karena semua pekerjaan dilakukan tapi dengan gaji yang sedikit. Belum lagi sering dituduh mencuri agar mereka bisa beralasan gajinya dipotong. Sungguh malang sekali nasibku jika harus kembali lagi ke rumah mertua kejam ini.

“Tidak, Bu, tidak akan saya kembali ke sana. Saya akan pulang kampung dalam waktu dekat ini.” Aku berdiri dan menghampiri mereka.

“Eh, Yati ... apa maksudmu? Kau balik ke kampung jadi nanti cucuku jadi orang kampung sepertimu? Kamu itu jangan jadi istri durhaka. Dituntut bisa masuk penjara, kamu!” ancamnya.

“Tidak apa-apa jadi orang kampung, Bu, yang penting berakhlak mulia dan tahu cara memanusiakan manusia,” sindirku pedas.

“Begini, ya, Yati. Kamu masih berstatus istri

Arjuna. Apalagi sekarang mengandung darah dagingnya. Sebaiknya kau pulang saja, jangan bikin malu. Malah menumpang di rumah orang,” ucap Kak Mila.

Aku benar-benar dibuat jengkel dengan ulah mereka yang terus saja memaksaku untuk ikut pulang ke rumahnya. Aku yakin, pasti mereka hanya membutuhkan tenagaku saja.

"Kalian mau memperbudak aku lagi, ‘kan? Kenapa begitu pengennya aku balik ke rumah itu? Kenapa, Kak Mila? Repot, ya, mengurus anak? Dan Ibu kenapa? Nggak ada yang masak? Rumah kotor?” ucapku dengan tegas.

“Halah, tidak usah banyak cerita, kau, Yati, ayo, mana bajumu segera bereskan, dan ikut balik dengan kami,” teriaknya sambil berjalan ke arahku.

Kami semua kaget oleh teriakan Bu Anik. Aku berusaha mencari akal menghindari kedua orang ini.

Seketika Nadya menyuruhku masuk kamar dan aku berlari menuju kamar.

"Kunci kamarnya, Kak!" teriak Nadya.

“Eh, wanita sialan mau ke mana kamu, hah?!” ucap Kak Mila ingin mengejar, tetapi dihadang oleh Nadya.

"Nadya jangan ikut-ikutan, kamu, ya!” Terdengar makian dari Mila di depan pintu. Sementara aku terduduk lemas di pinggir kasur.

“Sudah ... sudah ... jangan bikin keributan di rumah saya, silakan keluar, saya dan keluarga mau istirahat!" perintah Bu Sarti.

"Bu Sarti, saya harap kamu jangan ikut campur dengan masalah keluarga kami,” ucap Bu Anik.

"Tapi ini rumah kami, Bu. Tolong jangan bikin keributan di sini," ucap Nadya

"Bu Sarti, Kamu itu sudah hajjah tapi kelakuanmu tidak mencerminkan gelar hajjahmu, seharusnya kau tidak membiarkan seorang istri durhaka kepada suaminya, apalagi aku mertuanya, berarti orang tuanya juga," seru Bu Anik dengan sedikit menekan kata orang tuanya. Saking kerasnya, suara itu sampai terdengar ke kamar.

"Percuma jilbab ibu panjang-panjang, sering ikut pengajian, tapi hati ibu busuk.” Kali ini Kak Mila yang berbicara. Aku terus menyimak pembicaraan mereka.

Kudengar suara entakkan kaki menuju pintu keluar. Lalu, setelah itu terdengar pintu dibuka dengan paksa. Tak lama berselang, Nadya setengah berteriak meminta kedua tamu tak diundang itu untuk meninggalkan huniannya.

"Jika Ibu dan Kak Mila tidak keluar, saya akan teriak memanggil warga biar semua tahu kalau kalian bikin ribut di sini!" seru Nadya penuh emosi.

Mungkin kalau aku berada di sana bersama mereka, bisa kulihat wajah merah penuh amarah Nadya, karena kedua orang itu telah berani menghina ibunya.

Lalu, tak lama kemudian suara langkah tergesa menuju pintu disertai dengan umpatan dari Bu Anik dan Kak Mila menghiasi indra pendengaranku.

Namun, aku bersyukur, kedua orang itu berhasil keluar dari rumah yang penuh kedamaian ini.

****

Setelah kepergian wanita yang menjadi mertua dan iparku itu pergi, tak dapat kutahan lagi laju air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata ini.

Sambil menyembunyikan wajah dengan tangan, aku menumpahkan sesak di dada.

Setelah beberapa saat menumpahkan kekesalan dan kesedihan, otakku terus menyugesti hati agar diriku tetap kuat dan tidak boleh menangisi hal ini. Sudah cukup semua ini. Kalau tidak memandang ini rumah Bu Sarti, sudah kuporak-porandakan mereka berdua dari tadi juga.

Aku Harus secepatnya pulang ke kampung agar tidak jadi bulan-bulanan Bu Anik dan Kak Mila. Bu Sarti menyetujui dan berniat mengantarkanku pulang kampung. Kami berencana berangkat minggu ini berarti dua hari lagi aku akan pulang. Rencana awal aku akan pulang sendiri, akhirnya batal, karena wanita baik itu tak membiarkanku untuk meninggalkan rumah ini sendirian. Namun, berhubung besok beliau ada kepentingan yang tak bisa ditinggal, jadi mau tidak mau aku harus mengikuti waktu santainya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pembantu Gratisan   Ending

    Sepanjang perjalanan ke kantor, Nadya tidak hentinya mengulum senyum, rencana yang telah dia buat sepertinya berhasil, dia sengaja mengcopy sepenggal bait puisi milik sang pujangga yang ternama, lalu di akhir puisi Nadya sengaja memberi inisial nama I M, agar Atun mengira itu Ibrahim, dan sengaja juga dia menyuruh Atun ke kamarnya untuk mengambil flashdisk agar Atun melihat puisi tersebut seolah-olah tanpa sengaja, semua sudah Nadya atur sedemikian rupa. Sudah berulang kali Nadya menangkap basah Atun sedang menatap dalam pada Ibrahim, awalnya dia merasakan ada yang aneh pada diri Atun, perasaan Nadya tidak enak jika melihat gelagat Atun, sampai pada akhirnya Nadya melihat sendiri Atun memandang Ibrahim cukup lama, sengaja dia tidak menegur karena belum memiliki bukti yang cukup kuat. Pernah suatu malam, Atun sengaja membuatkan Ibrahim teh dan hendak mengantarkan ke ruangan kerja Ibrahim, tapi karena kemunculan Yati secara tiba-tiba, Atun berkilah jika ingin membuatkan Yati teh, deng

  • Bukan Pembantu Gratisan   Rahasia Nadya

    Pak Long berjalan pilu meninggalkan ruang keluarga, begitu juga dengan Ibrahim masuk ke dalam kamarnya setelah Pak Long pergi. Tinggallah Yati dan Atun di ruangan keluarga ini, Yati masih menatap tidak percaya dengan segala ucapan Atun yang menurutnya begitu pedas. "Yati, maafkan aku, aku juga punya perasaan, aku juga punya hati, semua diluar kendaliku, maafkan aku, tidak bermaksud membuat kamu kecewa dengan semua ucapanku," Atun memeluk Yati, berharap sahabatnya itu mengerti. "Minta maaflah sama Pak Long, Atun. Ucapanmu sungguh membuatnya sangat terluka, kamu boleh menolak, tapi tidak menghina seperti itu, ingat Atun, sebelum dihargai orang, belajarlah menghargai orang lain.""Baik Yati, aku akan minta maaf, lagian pria tua itu sungguh tidak tau diri, kalau suka sama orang ya lihat dulu siapa orangnya, kalau Juli, Rima atau Leni sih wajar, sederajat mereka." "Apa maksudmu, Atun?" Yati semakin tidak mengerti dengan sikap sahabatnya ini, semakin tinggi hati saja. "Aku kan teman se

  • Bukan Pembantu Gratisan   Perkataan Setajam Silet

    Saat Atun lagi bersantai dan memainkan ponselnya di atas kasur, sebuah pesan masuk melalui benda pipih yang sedang Atun mainkan, dengan tidak sabaran wanita itu melihat isi pesan yang masuk. "Atun sayang, coba kirimkan foto Yati, dan besok jam tiga sore kamu saya tunggu di cafe kemarin, kamu ceritakan jadwal dan kegiatan Yati, biar saya bisa atur rencana untuk membunuhnya, setelah itu, besok saya ingin lagi kita melakukan seperti tadi, siapkan stamina." Antara senang dan benci Atun menerima pesan dari Nazil, senang karena ada yang ingin membantunya melenyapkan Yati, dan benci karena pria itu ingin kembali mencicipi tubuhnya. Bukankah untuk mencapai sesuatu, harus ada perjuangan dan pengorbanan. Atun kembali tersenyum, karena dia merasa ini bagian dari tugas, biar saja pria bejat itu mencicipi tubuhnya sesuka hatinya, yang penting tujuannya tercapai, setelah berhasil menjadi istri Ibrahim, cukup mudah bagi Atun melenyapkan Nazil, karena telah mempunyai uang yang banyak, Atun memili

  • Bukan Pembantu Gratisan   Sebuah Rencana

    "Sebelumnya kenalan dulu, nama saya Nazil." "Kalau saya, Rahman." Kedua pria asing itu memperkenalkan diri pada Atun, begitu juga dengan Atun, walaupun merasa sedikit jijik, Atun menyambut uluran tangan kedua pria itu. "Sepertinya anda punya masalah," ucap Nazil, sorot matanya masih tajam memandang Atun, kadang pandangan itu berhenti di bagian aset Atun di bagian depan, rasa tidak nyaman menghampiri, tapi karena saat ini dia butuh partner untuk membantunya melenyapkan Yati, dia berusaha setenang mungkin. "Jika kalian berhasil melenyapkan wanita ini, imbalan begitu besar, dia istri dari pengusaha sukses, aku ingin kalian melenyapkan nyawa wanita itu." "Perkara yang mudah bagi kami untuk melenyapkan nyawa orang, tapi, semua itu tidak gratis dan butuh strategi yang matang, agar kita semua bisa lolos dari hukum." ucap Nazil, sepertinya pria berkulit tambun itu yang lebih dominan dari pada Rahman."Saya sudah bilang, akan ada imbalan yang gede, 50 juta ringgit? 100 juta ringgit? Semua

  • Bukan Pembantu Gratisan   Niat Jahat

    "Hari yang cerah, sedap betul jika berenang," ucap Atun sambil berjalan ke arah Yati dan Nadya."Yati, mari kita berenang, masih ingat tidak saat di kampung dulu, waktu kita masih sekolah dasar, berenang di empang milik Pak Salman, orang tua kita pasti marah saat itu," ucap Atun lagi mengenal masa kecil mereka. Nadya masih merasa kesal dengan sikap Atun yang suka seenaknya sendiri, sekarang malah santai, seolah tidak merasa bersalah. QAtun ini sedikit mengerti watak Yati, jika dia melakukan hal yang semena-mena, dia pasti mengingatkan kembali kisah mereka saat masih di kampung dulu, Yati orangnya tidak enakan, jadi, pasti mengurungkan niatnya untuk menegur Atun, sedangkan Nadya sudah sedikit muak melihat kelakuan Atun. Nadya merasa ada hal yang aneh pada diri Atun, tapi dia tidak tahu, tapi yang Pasti beberapa waktu terakhir ini, Nadya sudah merasakan kejanggalan pada sahabat kakaknya tersebut. "Kak Atun, tadi kamu kenapa membentak Leni? Padahal kamu yang salah, jangan seperti it

  • Bukan Pembantu Gratisan   Sifat Buruk

    "Tuan!""Tuan!"Atun berusaha mengejar Ibrahim sambil berusaha memanggilnya, tapi karena Ibrahim memakai headset tidak mendengar panggilan Atun. Atun berusaha berlari beriringan dengan Ibrahim, dengan begini saja dia sudah merasa bahagia, karena merasa seperti pasangan suami istri yang sedang berlari bersama. "Dik Atun, Abang datang," ucap Pa Long, Atun menoleh, sudah ada Pak Long yang berlari beriringan juga dengannya."Pak Long, ngapain kesini!" Atun memperlambat langkah kakinya. "Abang hendak menemani Dik Atun olahraga biar kita sama-sama sehat." Dasar lelaki tua yang genit, sok-sokan menyebut dirinya Abang. "Pak Long, tadi Tuan Ibrahim berpesan kalau Pak Long harus mencuci mobil kerjanya." "Oh, tenang Dik, semua mobil sudah bersih termasuk mobil Nyonya Yati, jadi, kita bisa lari bersama mencoba merajut kasih." Mata Pak Long berkedip sebelah ke arah Atun, kumisnya yang tebal membentuk sebuah lengkungan. Semakin sebal dan merasa jijik saja Atun melihat Pak Long ini. "Ya udah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status