Janda Tanpa Malam Pertama

Janda Tanpa Malam Pertama

last updateLast Updated : 2025-09-26
By:  NongnannaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Bagi Gavya, pernikahan hanyalah awal dari kesepian. Ia ditinggalkan sebelum sempat disentuh, dipeluk, bahkan dicintai. Saat kabar kematian suaminya datang, ia resmi menyandang status janda meski tak pernah benar-benar merasakan rumah tangga. Saat dunia menghakiminya, Gavya memilih diam. Hingga pertemuan sederhana dengan pria bernama Zeen membuatnya percaya bahwa luka bisa tetap ada, tapi hati punya cara sendiri untuk pulih. Namun, apakah hatinya siap menerima cinta yang datang tanpa pernah ia minta?

View More

Chapter 1

01. Pengantin Tanpa Malam Pertama

Semuanya bermula di ruang keluarga yang sore itu terasa tegang. Gavya duduk di sofa, sementara Ayahnya Pak Wisnu berdiri menatapnya tajam. Wajah Pak Wisnu tampak keras, seolah sudah siap dengan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.

“Gavya, Ayah sudah putuskan. Kamu akan menikah dengan anak rekan bisnis Ayah, namanya Arkana,” kata Pak Wisnu, suaranya tegas dan dingin.

“Apa? Kenapa harus aku, Yah? Aku nggak kenal dia, dan aku nggak mau dijodohkan!” sahut Gavya cepat, suaranya meninggi.

“Ayah nggak mau tahu! Ini demi perusahaan kita. Kamu pikir Ayah senang memaksa kamu? Tapi kalau nggak begini, perusahaan kita bisa bangkrut!” bentak sang Ayah.

Gavya menahan napas, merasa dadanya sesak. “Tapi aku juga punya hidup sendiri, Yah! Kenapa semua harus selalu demi perusahaan?” suaranya bergetar, hampir menangis.

Mina selaku Ibunda Gavya yang sejak tadi hanya diam, akhirnya ikut bicara, “Pak, Gavya itu anak perempuan. Jangan paksa dia. Dia juga punya hak untuk memilih.”

Mendengar itu, Pak Wisnu malah semakin marah. “Kamu diam! Semua ini terjadi juga karena kamu nggak pernah bisa kasih aku anak laki-laki untuk nerusin bisnis keluarga!” suaranya meledak, matanya melirik tajam ke arah istrinya.

Ibu Gavya terpaku, wajahnya memucat. “Kamu pikir aku nggak pernah berusaha? Gavya juga anak kita, kenapa kamu selalu anggap dia nggak cukup?” suaranya bergetar, hampir menangis juga.

“Yang aku butuh anak laki-laki, bukan anak perempuan yang cuma bisa bikin masalah!” bentak Pak Wisnu Gavya lagi.

Suasana semakin panas. Gavya hanya bisa memandang kedua orang tuanya yang kini saling berteriak. Hatinya terasa hancur mendengar perkataan ayahnya sendiri.

“Ayah,” suara Gavya pelan, gemetar, “Aku ini juga anak Ayah. Kenapa Ayah ngomong kayak gitu?”

Pak Wisnu tampaknya tidak peduli, matanya tetap keras. “Pokoknya kamu harus menikah dengan Arkana. Titik!” katanya tegas.

Tangis Gavya akhirnya pecah. Ia berlari kecil mendekati Bu Mina dan memeluk erat tubuhnya yang juga sudah bergetar menahan tangis.

“Bu,” bisik Gavya di sela isaknya.

Ibu Gavya membalas pelukannya erat, menepuk punggung Gavya pelan. “Sabar ya, Nak. Ibu di sini.” bisiknya sambil berusaha tegar, meskipun air mata juga menetes di pipinya.

Di ruang keluarga yang kini hanya dipenuhi isak tangis, Gavya merasa betapa kecil dirinya di hadapan ambisi ayahnya sendiri. Ia sadar, meskipun anak tunggal, ia tetap tidak punya kuasa atas hidupnya sendiri.

Sejak hari itu, jalan hidup Gavya bukan lagi pilihannya. Pernikahan itu pun disiapkan, meski hatinya penuh luka dan keraguan.

***

Hari pertunangan telah tiba, kedua pihak keluarga berkumpul. Setelah sesi make up selesai, Gavya duduk di kursi rias, merapikan sedikit rambut dan kebayanya. Jantungnya berdegup cepat, bukan hanya karena gugup, tapi juga karena cemas bertemu Arkana yang selama ini hanya ia lihat sekilas.

Belum sempat Gavya berdiri, pintu ruang rias terbuka. Arkana masuk, masih mengenakan setelan batik mewah yang senada dengan kebaya Gavya. Tatapannya dingin dan tak ada senyum sama sekali. Tanpa berkata apa pun, Arkana memutar kunci pintu dari dalam.

Klik.

Suara kunci itu membuat Gavya terlonjak pelan.

“Mas, ada apa?” tanya Gavya gugup, berdiri setengah, tangannya masih menahan ujung kebayanya.

Arkana melangkah cepat, meraih tangan Gavya dan menariknya cukup keras hingga Gavya hampir kehilangan keseimbangan.

Gavya kaget, matanya membesar. “Apa yang kamu lakukan?” bisik Gavya, suaranya bergetar.

Arkana mendekat, menahan bahunya erat. Sorot matanya tajam, nadanya dingin. “Dengar baik-baik, Gavya,” bisiknya pelan tapi penuh tekanan. “Nanti di luar sana, kamu harus pura-pura tersenyum. Kamu harus bersikap sopan, manis dan kelihatan bahagia. Ngerti?”

Gavya menelan ludah, tubuhnya kaku. “Kenapa kamu ngomong kayak gini?” suaranya nyaris tak terdengar.

“Aku nggak peduli kamu suka atau nggak. Kalau kamu bikin malu aku, atau keluarga kita, kamu bakal nyesel. Paham?” ucap Arkana, nadanya semakin dingin.

Tangan Arkana menggenggam bahu Gavya sedikit lebih kuat, hingga Gavya nyaris meringis kesakitan. Gavya menunduk, matanya berkaca-kaca. “Iya, aku ngerti.”

Dari luar, beberapa orang keluarga yang menunggu melihat pintu terkunci cukup lama. Mereka saling senyum kecil, saling berbisik pelan.

“Sepertinya calon pengantin kita sedang mesra-mesraan dulu, ya,” canda salah satu tante Gavya. Padahal mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

Pintu ruang rias terbuka. Arkana keluar lebih dulu, wajahnya tetap dingin, hampir tanpa ekspresi. Gavya menyusul di belakangnya, menahan degup jantung yang semakin kencang. Tangannya masih gemetar sisa dari ancaman Arkana beberapa menit lalu.

Suasana di luar ruangan penuh dengan keluarga mereka yang sudah menunggu. Musik lembut terdengar pelan, meja tertata rapi dengan bunga dan lilin kecil. Semua mata langsung tertuju pada pasangan yang baru saja keluar.

Acara dibuka dengan kata sambutan singkat dari Pak Wijaya selaku Ayahanda Arkana, yang tampak ramah dan tulus. Dilanjutkan dengan Pak Wisnu Ayahanda Gavya yang meski suaranya terdengar bergetar sedikit, tetap berusaha terlihat tegar di hadapan tamu.

Akhirnya tibalah pada inti acara, prosesi tukar cincin. Gavya berdiri, berhadapan langsung dengan Arkana. Dari dekat, tatapan Arkana masih sama dingin dan penuh jarak.

Arkana menerima kotak cincin yang diserahkan oleh ibunya. Ia membuka kotak itu tanpa menoleh sedikit pun pada Gavya. Saat tangannya meraih tangan Gavya, genggamannya kasar. Jari-jarinya mencengkeram pergelangan tangan Gavya terlalu keras hingga Gavya nyaris meringis.

Ketika Arkana mulai memasukkan cincin ke jari manis Gavya, gerakannya cepat dan tergesa, bahkan sedikit mendorong hingga kulit Gavya terasa sakit. Suara “aw!” kecil nyaris lolos dari bibir Gavya, tapi ia buru-buru menahannya dan memaksa senyum tetap di wajahnya.

Setelahnya, giliran Gavya yang memasangkan cincin di jari Arkana. Tangannya masih gemetar, tapi ia tetap berusaha melakukannya perlahan. Arkana tak membantu sama sekali hanya mengulurkan tangannya dengan kaku dan menunduk, seolah ingin cepat selesai.

Cincin akhirnya terpasang, tepuk tangan tamu pun terdengar, menambah sunyi hati Gavya yang terasa semakin berat. Di antara tepuk tangan itu, Gavya hanya bisa menunduk, memaksa bibirnya tetap melengkung. Dadanya terasa sesak, telinganya masih terngiang ancaman Arkana.

Gavya sempat menoleh sedikit, berharap melihat sekilas kehangatan di mata calon suaminya. Tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong atau bahkan tak ada tatapan sama sekali. Arkana sudah lebih dulu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

***

Beberapa bulan berlalu sejak pertunangan itu, tapi hubungan Gavya dan Arkana tetap seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu skenario. Tak ada pesan singkat, tak ada telepon, apalagi pertemuan. Hanya diam yang terasa semakin menyesakkan.

Sampai akhirnya, pada suatu siang, orang tua mereka memaksa mereka untuk pergi bersama mencari baju pengantin dan perlengkapan pernikahan lain. Mereka bertemu di butik pernikahan yang cukup mewah.

“Hai,” sapa Gavya pelan, berusaha mencairkan suasana.

Arkana hanya mengangguk sedikit, “Ya.” Suaranya pendek, dingin.

Mereka masuk ke butik, dan seorang pegawai langsung menyambut, membawakan beberapa katalog model kebaya dan jas pengantin. Gavya mencoba tersenyum, meski hatinya perih melihat calon suaminya bahkan tak menoleh sekalipun.

Sesekali pegawai butik menanyakan pendapat Arkana, “Bagaimana, Mas? Warnanya cocok nggak?”

Arkana hanya menjawab singkat, “Terserah.” Atau, “Bagus.” Tanpa menatap Gavya.

Wanita itu akhirnya hanya memilih sendiri. Ia menempelkan beberapa kain di bahunya sambil mengintip reaksi Arkana yang tak pernah muncul.

Tak lama, ponsel Arkana bergetar. Ia melihat layar ponselnya, raut wajahnya berubah sedikit. Arkana berdiri, menyingkir beberapa langkah, dan mengangkat telepon itu dengan suara rendah yang tak bisa Gavya dengar jelas.

Sayangnya, dari cara Arkana berbicara, Gavya bisa merasakan nada suaranya berbeda, terdengar lebih lembut dibandingkan ketika bicara padanya. Sesuatu di dada Gavya terasa sesak, campuran curiga dan sakit hati.

Beberapa menit kemudian, Arkana kembali. “Aku pergi dulu. Ada urusan,” katanya singkat, tanpa penjelasan lebih.

“Sekarang?” tanya Gavya, nyaris seperti bisikan. “Tapi, kita kan belum selesai.”

Arkana hanya menoleh sekilas, matanya dingin. “Lanjutin sendiri aja. Kamu lebih ngerti soal baju perempuan daripada aku.” Tanpa menunggu jawaban, Arkana pun benar-benar pergi.

***

Hari pernikahan akhirnya tiba. Gavya berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya putih gading yang indah. Wajahnya cantik dengan riasan tipis, tapi sorot matanya sayu.

Acara akad dimulai di sebuah aula Hotel megah. Gavya duduk di samping Arkana, yang wajahnya tetap datar, menatap ke depan seperti sedang menghadapi tugas membosankan. Detak jantung Gavya semakin cepat saat penghulu mempersilakan mereka bersiap.

Beberapa menit sebelum ijab kabul dimulai, Arkana mendekat sedikit, menoleh pada Gavya. Sambil berbisik kasar, ia berkata, “Kamu tahu, kan? Aku ngelakuin ini cuma buat keluarga. Jangan pernah bermimpi aku bakal jadi suami baik buatmu.”

Gavya tertegun, menahan napas. Matanya langsung memanas. “Kenapa kamu harus ngomong kayak gitu sekarang?” bisiknya, hampir tak terdengar.

Arkana menoleh lagi, sorot matanya dingin menusuk. “Karena perempuan kayak kamu itu nggak pantas dapat lebih. Jangan sok polos. Kamu pikir aku nggak tahu kamu juga pasti udah ‘bekas’ sebelum ini?”

Perkataan itu seperti cambuk yang menyayat hati Gavya. Bibirnya bergetar, air mata hampir jatuh.

Penghulu akhirnya memulai prosesi ijab kabul. Suara Arkana terdengar lantang saat mengucap akad, suaranya tetap dingin dan tanpa ragu seolah ia hanya membaca kalimat hafalan, bukan janji suci yang mengikat dua hati.

Tepuk tangan tamu pun terdengar. Semua orang tampak bahagia. Hanya Gavya yang menunduk, menahan tangis yang hampir tumpah. Ia memaksakan senyum, seperti yang selalu ia lakukan sejak pertunangan.

Setelah resepsi berakhir, mereka pun kembali ke kamar pengantin yang sudah dihias dengan kelopak bunga dan lilin romantis. Gavya berdiri kaku di dekat tempat tidur, merasa canggung, lelah dan takut.

Arkana melepas jasnya dengan gerakan cepat, lalu duduk di tepi ranjang. Wajahnya tetap keras dan dingin, sama sekali tidak menunjukkan kelembutan seorang suami pada malam pertama.

Suasana kamar sunyi. Hanya terdengar detak jam dan napas Gavya yang tak beraturan. Ia mencoba bicara pelan, “Mas, mungkin kita bisa—”

Pria yang kini telah menjadi suami sah Gavya itupun memotong cepat, suaranya rendah tapi tajam, “Berhenti bersandiwara, Gavya.”

Gavya terdiam, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku nggak butuh sikap sok manis mu itu,” lanjut Arkana, menoleh dengan tatapan penuh curiga dan jijik. “Perempuan kayak kamu, mana mungkin masih suci? Kamu pasti juga udah pernah tidur sama cowok lain sebelum ini, kan?”

Gavya terpaku, dadanya nyaris sesak. “Mas, kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku nggak pernah—”

“Tutup mulutmu!” bentak Arkana. Ia berdiri, meraih ponselnya, lalu berjalan ke arah pintu.

“Aku nggak sudi menyentuhmu! Aku punya urusan yang lebih penting daripada menghabiskan malam denganmu.” Tanpa memberi kesempatan Gavya menjelaskan apa pun, Arkana membuka pintu kamar dan pergi, membiarkan pintu terbanting pelan di belakangnya.

Malam pengantin yang seharusnya sakral berubah jadi malam yang paling menyakitkan bagi Gavya. Ia hanya bisa terduduk di sisi ranjang, tangan gemetar, air mata jatuh membasahi kebaya putihnya.

Di luar, suasana hotel sudah sepi. Semua orang mengira pengantin baru itu sedang berbahagia. Padahal, satu-satunya yang menemani Gavya malam itu hanyalah sunyi dan rasa hancur di hatinya yang baru saja dirobek suaminya sendiri.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status