Share

2 - Ingatan Sesaat

“Aku beneran sedih karena engga bisa kasi ASI ke anak kita, Mas.” Kataku sembari mengelus pipi gembulnya, bayi cantik kami harus minum dari dot.

“Sayang, suatu hari nanti. Dia pasti akan paham kenapa Bundanya tidak bisa melakukannya, andaikan baby bisa bicara dia akan bilang, Bunda masih ada di sini saja aku sudah bahagia.” Senyumku langsung melebar, merasa bahagia karena mempunyai suami seperti Mas Alvis.

Saat semua orang menjauhiku, mengataiku, bahkan membenciku. Dia tetap merangkul, malah membawaku pergi. Aku mana mungkin meninggalkan suami tersayangku ini, selama proses pemulihan, tidak pernah sedetikpun Mas Alvis meninggalkanku.

“Pekerjaan Mas di sini engga papa kalau ditinggal? Bukannya Mas bilang sebelum kecelakaan aku ingin ke kantor Mas. Apa tidak menim-“

“Nabhila.”

Aku langsung diam, mengangguk pertanda paham. Setiap kali aku bertanya perihal pekerjaan ataukah ke makamnya Nadhila, Mas Alvis pasti akan kesal katanya tidak perlu memikirkan semua itu. Aku hanya perlu memulihkan diri, fokus membesarkan anak kami dan menjadi istrinya seperti hari-hari biasanya.

“Maaf. Mas hanya tidak suka kamu mengungkitnya terus.” Kuulurkan tanganku untuk menepuk bahunya agar dia tidak merasa bersalah.

“Mas mau menerimaku saja sudah lebih dari cukup untukku. Saat semua orang menuduhku sebagai tersangka, Mas masih berada di sisiku memegang tanganku seolah aku bukanlah pelakunya. Aku mana mungkin meninggalkan Mas setelah tahu semua itu.” Rasanya lega saat melihatnya tersenyum, baguslah. Aku merasa ikut senang apalagi perjalanan kami kali ini pasti memakan waktu sangat lama.

Aku tidak tahu kami akan ke mana atau akan tinggal di mana, terpenting aku ikut suamiku saja. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin mengunjungi makam Nadhila dulu sebelum keluar kota tapi pasti Mas Alvis tidak suka dan semakin kesal karena mengungkitnya terus menerus. Apa wajahnya sama denganku? Atau kami hanya sekedar kembar tapi wajah tidak sama? Aku mau menanyakan perihal Nadhila padanya, tapi Mas Alvis tidak suka.

“Semasa pacaran dulu, kamu suka banget makan makanan manis.” Aku menatapnya, senyumannya lebar sekali. apa sebesar itu cinta Mas Alvis padaku?

“Oh ya? Aku merasa kecewa karena tidak mengingat apapun tapi beruntungnya aku karena Mas mengingatnya dengan baik. Terimakasih karena mencintaiku sedalam ini, Mas.” Tanganku yang tidak memegang baby terulur memegang tangannya, dia membalasnya dengan tawa kecil. Betapa membahagiakannya keluarga kecil kami ini.

“Setiap kali pulang kampus, kamu akan kesal sama Mas karena tidak membelikanmu martabak manis. Kamu akan terus kesal sampai Mas datang dengan sekotak martabak manis. Saat itu kamu lucu, masa sogokannya hal sekecil itu?” dengan sigap tanganku memukul tangannya. Dasar menyebalkan.

“Ini rasanya tidak adil. Mas pasti akan sering mengejekku dengan kejelekanku sedangkan aku tidak punya ingatan apapun untuk membalasnya. Mas suka makanan apa? Manis atau asin? Hmm suka pedes? Teh atau kopi?” tanyaku penasaran sambil menunggunya menjawab pertanyaanku.

Bukan menjawab pertanyaanku, Mas Alvis malah tertawa membuatku menatapnya kesal.

“Nadhila, Mba lupa beliin kamu martabak.”

“Mba kan begitu, terpenting sudah beli martabak manis setelahnya lupa semuanya termasuk pesanan aku.”

Dua suara mendadak memenuhi kepalaku, suara siapa itu? Apa aku dan Nadhila?

“Sayang? Kamu kenapa? Sudah ku bilang jangan paksaan ingatanmu.” Air yang Mas Alvis sodorkan kuminum dengan cepat, sejak kapan mobil ini menepi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status