Share

3 - Hidup Dan Aku

“Sudah membaik?” kuanggukkan kepalaku. “Ada apa? Kamu ingat apa?” kenapa Mas Alvis terlihat ketakutan sekali?

“Sepertinya apa yang Mas katakan tadi memang benar, aku suka makanan manis. Dalam ingatanku saja Nadhila kesal karena aku tidak membelikan martabak kesukaannya, aku malah membeli martabak manis dan melupakan pesanannya.” Kali ini aku melihatnya, Mas Alvis lega. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang entah ke mana.

Mobil kembali Mas Alvis lajukan, aku menatapnya dengan senyuman juga. Tentu saja Mas Alvis khawatir aku kenapa-napa, hampir kehilangan istrinya adalah hal mengerikan yang untuknya. Jadi melihatku pusing saja cukup membuatnya ketakutan. Baby masih tertidur lelap di pangkuanku, aku menatapnya penuh kasih sayang.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi Mas Alvis pasti tidak suka.

“Mas Alvis sukanya kopi?”

“Engga masalah sih suka apa saja, dia di suguhkan air putih di pagi hari saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.”

Kepalaku pening kembali tapi sengaja tidak ku perlihatkan. Jadi itu suara Nadhila? Aku harap di dunia sana dia baik-baik saja. Jadinya kami bisa bertemu dengan nyaman nanti.

“Naa, kamu engga ke resto?”

“Buat apaan? Ngapelin Austin? Si paling percaya diri itu? Maleslah.”

Austin? Siapa Austin? Apa aku dia adalah laki-laki yang Nadhila dekati? Lalu kenapa ingatan ini ada padaku?

“Kamu selalu khawatir soal Nadhila.” Perhatianku teralihkan. “Saking khawatirnya, kamu sering pantau dia.”

Ya, pasti ini milik Nadhila yang sering aku pantau kehidupannya. Ternyata sikap Nadhila sangat berbanding terbalik dengan sikapku.

Mba benar-benar berharap kamu diterima di sisi Allah, Nadhila.

“Mas.” Panggilku dengan suara pelan, takutnya baby malah bangun.

“Ada apa? Kamu lapar? Sebelum pergi tadi, Dokter menyarankan kamu jangan terla-“

“Mas tahu siapa Austin?”

Ciiitt.

“Nabhila!”

Baby yang ada di pangkuanku menangis, aku bahkan bisa merasakan bagaimana cepatnya jantungku berdetak. Apa yang salah? aku hanya menanyakan siapa Austin? Kenapa Mas Alvis harus memberhentikan mobil secara mendadak bahkan berteriak padaku? Andaikan aku tidak sigap memeluk putri kami, mungkin dia akan jatuh.

“Maaf, Mas tidak bermaksud membuat kamu kaget. Mas mau kamu melupakan semuanya, untuk apa mengingat keluarga yang sudah membuangmu? Untuk apa memaksakan ingatanmu? Bukannya bagus Allah menghilangkan ingatanmu sebagai kesempatan untuk memulai dari awal? Mas mau kamu menggunakan kesempatan itu dengan baik, bukan mengorek masa lalu kamu terus.” Tangannya terulur memegang tanganku, pasti Mas Alvis bisa merasakan bagaimana dinginnya tanganku saat ini.

“Sayang, dengarkan Mas. Mereka tidak mengakuimu sebagai anak lagi, mereka menganggap kamu ikut mati bersama adik ipar. Di hari kamu siuman kemarin, Mas ke rumah mencoba membujuk Mama agar mau menerimaku sekaligus memberitahukan kamu sudah sadar, tapi kamu tahu apa yang Mas lihat? Barang-barang kamu yang tersisa di rumah itu semuanya di buang, malah ada yang di bakar.”

Kupandang Mas Alvis dengan tatapan terkejut.

“Jadi, berhenti memikirkan mereka. Kamu punya Mas, ada Kanza kita juga. Kanza butuh kamu untuk membesarkannya, dan Mas butuh kamu sebagai pendukung Mas. Jadi berhenti membahas mereka. Bisa kan Sayang?” daripada debat panjang, aku mengangguk.

Mas Alvis mendekat, memelukku.

“Mas engga mau kehilangan kamu lagi, Mas maunya kamu pikiran Mas saja dan anak kita, jangan pikirkan keluargamu lagi apalagi mencoba mengingat mereka.” Mas Alvis melepaskan pelukannya dan kembali melajukan mobil yang sempat terhenti.

Baby kami masih terdengar sisa-sisa tangisannya, aku menunduk menatapnya. Tidak tahu kenapa, ada momen yang membuatku takut padanya. Dia terlihat mengerikan setiap kali aku membahas keluarga, sepertinya Mas Alvis benar-benar tidak suka aku membahas keluarga, mungkin karena sakit hati. Karena mereka membuangku, istri tercintanya.

Tapi yang membuatku bingung adalah yang kutanyakan siapa Austin, lalu kenapa Mas Alvis malah membahas keluarga?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status