“Sudah membaik?” kuanggukkan kepalaku. “Ada apa? Kamu ingat apa?” kenapa Mas Alvis terlihat ketakutan sekali?
“Sepertinya apa yang Mas katakan tadi memang benar, aku suka makanan manis. Dalam ingatanku saja Nadhila kesal karena aku tidak membelikan martabak kesukaannya, aku malah membeli martabak manis dan melupakan pesanannya.” Kali ini aku melihatnya, Mas Alvis lega. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang entah ke mana.
Mobil kembali Mas Alvis lajukan, aku menatapnya dengan senyuman juga. Tentu saja Mas Alvis khawatir aku kenapa-napa, hampir kehilangan istrinya adalah hal mengerikan yang untuknya. Jadi melihatku pusing saja cukup membuatnya ketakutan. Baby masih tertidur lelap di pangkuanku, aku menatapnya penuh kasih sayang.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi Mas Alvis pasti tidak suka.
“Mas Alvis sukanya kopi?”
“Engga masalah sih suka apa saja, dia di suguhkan air putih di pagi hari saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.”
Kepalaku pening kembali tapi sengaja tidak ku perlihatkan. Jadi itu suara Nadhila? Aku harap di dunia sana dia baik-baik saja. Jadinya kami bisa bertemu dengan nyaman nanti.
“Naa, kamu engga ke resto?”
“Buat apaan? Ngapelin Austin? Si paling percaya diri itu? Maleslah.”
Austin? Siapa Austin? Apa aku dia adalah laki-laki yang Nadhila dekati? Lalu kenapa ingatan ini ada padaku?
“Kamu selalu khawatir soal Nadhila.” Perhatianku teralihkan. “Saking khawatirnya, kamu sering pantau dia.”
Ya, pasti ini milik Nadhila yang sering aku pantau kehidupannya. Ternyata sikap Nadhila sangat berbanding terbalik dengan sikapku.
Mba benar-benar berharap kamu diterima di sisi Allah, Nadhila.
“Mas.” Panggilku dengan suara pelan, takutnya baby malah bangun.
“Ada apa? Kamu lapar? Sebelum pergi tadi, Dokter menyarankan kamu jangan terla-“
“Mas tahu siapa Austin?”
Ciiitt.
“Nabhila!”
Baby yang ada di pangkuanku menangis, aku bahkan bisa merasakan bagaimana cepatnya jantungku berdetak. Apa yang salah? aku hanya menanyakan siapa Austin? Kenapa Mas Alvis harus memberhentikan mobil secara mendadak bahkan berteriak padaku? Andaikan aku tidak sigap memeluk putri kami, mungkin dia akan jatuh.
“Maaf, Mas tidak bermaksud membuat kamu kaget. Mas mau kamu melupakan semuanya, untuk apa mengingat keluarga yang sudah membuangmu? Untuk apa memaksakan ingatanmu? Bukannya bagus Allah menghilangkan ingatanmu sebagai kesempatan untuk memulai dari awal? Mas mau kamu menggunakan kesempatan itu dengan baik, bukan mengorek masa lalu kamu terus.” Tangannya terulur memegang tanganku, pasti Mas Alvis bisa merasakan bagaimana dinginnya tanganku saat ini.
“Sayang, dengarkan Mas. Mereka tidak mengakuimu sebagai anak lagi, mereka menganggap kamu ikut mati bersama adik ipar. Di hari kamu siuman kemarin, Mas ke rumah mencoba membujuk Mama agar mau menerimaku sekaligus memberitahukan kamu sudah sadar, tapi kamu tahu apa yang Mas lihat? Barang-barang kamu yang tersisa di rumah itu semuanya di buang, malah ada yang di bakar.”
Kupandang Mas Alvis dengan tatapan terkejut.
“Jadi, berhenti memikirkan mereka. Kamu punya Mas, ada Kanza kita juga. Kanza butuh kamu untuk membesarkannya, dan Mas butuh kamu sebagai pendukung Mas. Jadi berhenti membahas mereka. Bisa kan Sayang?” daripada debat panjang, aku mengangguk.
Mas Alvis mendekat, memelukku.
“Mas engga mau kehilangan kamu lagi, Mas maunya kamu pikiran Mas saja dan anak kita, jangan pikirkan keluargamu lagi apalagi mencoba mengingat mereka.” Mas Alvis melepaskan pelukannya dan kembali melajukan mobil yang sempat terhenti.
Baby kami masih terdengar sisa-sisa tangisannya, aku menunduk menatapnya. Tidak tahu kenapa, ada momen yang membuatku takut padanya. Dia terlihat mengerikan setiap kali aku membahas keluarga, sepertinya Mas Alvis benar-benar tidak suka aku membahas keluarga, mungkin karena sakit hati. Karena mereka membuangku, istri tercintanya.
Tapi yang membuatku bingung adalah yang kutanyakan siapa Austin, lalu kenapa Mas Alvis malah membahas keluarga?
Yogyakarta.Daerah yang Mas Alvis pilih ternyata ini, katanya tempat ini selalu ingin aku kunjungi malah maunya tinggal di sini. Dan sekarang Mas Alvis berhasil mewujudkannya, entah jadi apa aku seandainya tidak menikah dengan suami tersayangku itu.“Fotonya mau di gantung di mana Sayang?”Mas Alvis datang membawa figura besar bergambar foto kami, foto pernikahan yang diadakan sehari setelah aku bangun dari koma. Katanya, agar aku memiliki kenangan indah tentang pernikahan maka kami perlu menikah kembali jadinya aku iyakan. Meskipun latarnya adalah ranjang rumah sakit tapi sudah lebih dari cukup untuk dijadikan kenangan indah.“Di kamar saja, tepat di atas ranjang. Takutnya kalau di luar malah menghalangi hiasan yang lain, supaya aku selalu happy tiap masuk kamar.” Jawabku dengan suara amat pelan takutnya Kanza bangun padahal baru tidur 3 menit lalu.“Mas gantung di sana, kalau Kanza-nya sudah nyaman kamu ke kamar untuk istirahat.”“Iya Mas.” Entah sudah berapa kali Mas Alvin mengatak
“Anak Bunda, padahal baru tidur tapi bangun lagi. Lapar ya? Sebentar Sayang, Bunda buatin dulu.” Dengan sigap aku membuatkan susu untuk Kanza, padahal aku sangat berharap bisa memberinya ASI tapi sepertinya takdir berkata lain. Tidak papalah, setidaknya Kanza tetap sehat dan hidup bahagia bersamaku dan Mas Alvis.“Sayang, Mas keluar sebentar mungkin pulangnya agak sorean.”Di belakang sana Mas Alvis sudah siap dengan setelan jasnya. “Sudah mau kerja?” kagetku, aku kira dia mulainya besok.“Harusnya kemarin tapi tertunda, hanya sebentar. Mas usahakan pulang sebelum magrib, bisa kan?”“Bisa, hati-hati di jalan.” Karena aku sibuk mengurus Kanza, jadinya Mas Alvis yang mendekat memelukku singkat sebelum berangkat kerja.Ku lirik jam dinding, jam 3 sore? Dan pulangnya sebelum magrib? Memangnya bisa kerja secepat itu? Tapi sudahlah, pasti Mas Alvis akan cerita pas pulang nanti. Mending aku fokus ke baby kecilku, mengganti pakaiannya barulah mengajaknya jalan-jalan keliling kompleks sekalian
Dengan senang ku ulurkan tanganku padanya, “Namaku Nabhila Pramuditia. Tinggalnya di nomor 13 blok A. Kayaknya aku perginya jauh deh, malah sampai di blok sini. Di depan biasanya ada jajanan begitu? Wah aku bisa ikutan beli dong.” Jabat tangan kami terlepas, senyumku bahkan tidak memudar sama sekali. menyenangkan sekali punya teman baru.Kami bercerita banyak, ternyata Mba Laila sudah punya dua anak Cuman rajin olahraga saja makanya masih keliatan sehat, kalau diperhatikan memang sudah agak tua. Umurnya saja sudah 38 tahun, tapi wajahnya masih mulus, rambutnya coklat lurus habis di warnain kayaknya.“Dulu pas selesai lahiran, stretchmark Mba hilangnya makan waktu berapa lama?” tanyaku santai padahal dalam hati penasaran sekali.“Mungkin setahun sehabis lahiran? Pas anakku umur 1 tahun, itupun harus bolak balik ke spa atau ke dokter supaya perutnya bisa mulus lagi. Tapi tergantung cara kita menangani sih, ada yang berhasil di 6 bulan? 8 bulan kayaknya.”Masa sih?“Kenapa? Kamu pasti ke
Mengantar suami kerja sampai teras rumah adalah hal menyenangkan bagi ibu rumah tangga sepertiku.“Jangan kemana-mana, kalaupun mau ke suatu tempat langsung telepon Mas saja.” Itu katanya sebelum pergi.Padahal aku mau keliling Jogja, setidaknya hapal jalanan sini. Sudah seminggu di sini tapi belum tahu menahu soal daerahnya, ini di desa mana atau kacamatan. Atau jogja ini sebenarnya adalah kacamatan? Aduh, aku mendadak pening memikirkannya padahalkan ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan apalagi Mas Alvis tidak mau memperkerjakan pembantu permanen. Hanya bekerja di jam 5 pagi sampai 8.“Apa kita jalan-jalan saja tanpa memberitahu Ayah?” gumamku sambil menatap Kanza di gendonganku.“Tapi mau ke mana?” karena lelah berdiri, aku memutuskan masuk ke dalam untuk bermain dengan Kanza. Aku sudah mandi tadi pagi dan Mas Alvis yang menjaga Kanza katanya tidak baik memperkerjakan pembantu nanti malah terjadi hal yang tidak-tidak. Sarapan pun sudah, kami sarapan bersama tadi.“Kanza, Bund
“Kembaran dari Nadhila yaitu Nabhila juga meninggalkan duka mendalam untuk semua orang, pemilik N’Beauty dan N’Fashion ini bahkan langsung meninggal di tempat karena duduk di kursi pengemudi. Saat ini suami dan anaknya menghilang tanpa kabar, perwakilan keluarga Meeaz mengatakan mereka berdua memilih menenangkan diri dan menjauh dari keramaian.” Suara TV yang menggema di kamar mewah itu terus terdengar, membuat perempuan paruh baya di ranjang hanya bisa terpaku menatap gambar-gambar kedua putrinya.“Kami dari HSQnews mengucapkan turut berduka atas kecelakaan yang menimpa dua putri keluarga Meeaz. Terimakasih.”“Alvis dan Kanza belum ada kabarnya?” tanyanya dengan suara parau pada pelayan.“Sebelum menghilang 2 bulan lalu, Tuan Alvis meminta kami untuk tidak mencarinya lagi. Tuan ingin memulai kehidupan baru tanpa bayang-bayang kematian Nona Nabhila. Ingin membesarkan Nona Kanza tanpa ada yang membicarakan kematian mengerikan itu. Jadinya kami dan tim keamanan memutuskan untuk mengikut
“Jangan bilang Anda mau mencarinya dengan status dan wajah baru? Saya tahu keluarga Anda terkenal dengan keahliannya mencari orang, tapi Anda yakin mau mencari orang yang sudah terkubur?” Feira tertawa sebentar, membuka gambar-gambar hasil otopsi Nadhila.“Apa yang membuat Anda begitu yakin, mayat itu bukan Nona kami?”Tunangan dari Nadhila itu mengeluarkan ponselnya memperlihatkan foto hasil pemotretan milik Nadhila setahun lalu saat mereka jalan-jalan ke Bali. Austin memperbesar bagian lengan atasnya, terdapat bekas luka memanjang hingga pundak atas.“Anda tahu alasan Nadhi tidak pernah menyepakati brand pakaian yang terbuka kan? Atau pemotretan yang harus memperlihatkan lengan kanannya? Karena luka ini.”Feira dengan cepat memeriksa gambar hasil otopsi sebelah kanan, tidak ada. Bagian lengan kanannya hanya terbakar sedikit tapi warna kulitnya masih terlihat jelas. Sama sekali tidak ada tanda bekas luka di sana.“Saya dengan hati-hati bertanya pada pihak kepolisian, mereka tidak men
“Mas tidak ada niatan bawa aku dan Kanza jalan-jalan? Aku bosen di rumah terus, Kanza pasti bosan juga. Aku sempat baca di internet di kawasan sini banyak wisata yang bisa kita kunjungi di akhir pekan. Daripada libur kerja begini di rumah terus.” Bujukku pada Mas Alvis, suamiku sibuk membaca koran di teras ruang tamu di temani Kanza yang sibuk bermain sejak tadi.“Kamu mau ke mana Sayang?”Aku dengan wajah bahagiaku duduk di samping kirinya, menatapnya dengan senyuman paling lebar membuatnya ikut tersenyum juga.“Aku mau ke kebun binatang? Kan bisa kenalin Kanza juga hewan-hewan begitu. Kanza cantik kita kan umurnya mendekati 4 bulan, Mas. Jadi endak masalah kalau di bawa ke sana, atau ke pantai? Aku mau kenalin Kanza pantai juga. Apalagi ya?” tangan Mas Alvis terulur mengusap rambutku, aku merasa nyaman setiap kali dia memperlihatkan betapa sayangnya dia pada kami yaitu aku dan Kanza.Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan pada Mas Alvis perihal berita yang aku liat kemarin pagi tapi a
Kupandang Mas Alvis beberapa kali, aku ingin membahas tentang siapa itu Austin atau setidaknya ada kejelasan mengapa teleponnya mendadak di matikan. Apa aku tidak pantas tahu apa-apa? Kan itu keluargaku, yaps! Aku menduga Austin adalah keluargaku. Atau bisa saja, dia adalah pacarnya adikku yang telah meninggal itu? “Nabhila, bukankah Mas berulang kali mengatakan untuk tidak melamun? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu lagi? Mas siap mendengarnya.” Kupandang Mas Alvis lama, orangnya sibuk menatap ke depan. Tidak! Jangan dulu. Aku tidak boleh buru-buru membahasnya apalagi telepon tadi hanya beberapa detik. Kalau Mas Alvis marah terus membatalkan jalan-jalan kami? Aku sendirikan yang kena. Kugenggam tangannya sambil tersenyum senang, “Aku lagi bahagia tahu, Mas. Baru saja kemarin sedih karena tidak bisa jalan-jalan eh hari ini dibawa Mas Alvis keluar. Apa ya? hatiku senang banget, makasih suamiku makin sayang deh.” Bisa prediksi bagaimana senangnya dia? Sangat senang sekali b