Home / Romansa / Bukan Pemeran Utama / 3 - Hidup Dan Aku

Share

3 - Hidup Dan Aku

Author: Mentari NA
last update Last Updated: 2022-12-30 12:11:27

“Sudah membaik?” kuanggukkan kepalaku. “Ada apa? Kamu ingat apa?” kenapa Mas Alvis terlihat ketakutan sekali?

“Sepertinya apa yang Mas katakan tadi memang benar, aku suka makanan manis. Dalam ingatanku saja Nadhila kesal karena aku tidak membelikan martabak kesukaannya, aku malah membeli martabak manis dan melupakan pesanannya.” Kali ini aku melihatnya, Mas Alvis lega. Seolah beban yang ada di pundaknya menghilang entah ke mana.

Mobil kembali Mas Alvis lajukan, aku menatapnya dengan senyuman juga. Tentu saja Mas Alvis khawatir aku kenapa-napa, hampir kehilangan istrinya adalah hal mengerikan yang untuknya. Jadi melihatku pusing saja cukup membuatnya ketakutan. Baby masih tertidur lelap di pangkuanku, aku menatapnya penuh kasih sayang.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan tapi Mas Alvis pasti tidak suka.

“Mas Alvis sukanya kopi?”

“Engga masalah sih suka apa saja, dia di suguhkan air putih di pagi hari saja sudah membuatnya senang bukan kepalang.”

Kepalaku pening kembali tapi sengaja tidak ku perlihatkan. Jadi itu suara Nadhila? Aku harap di dunia sana dia baik-baik saja. Jadinya kami bisa bertemu dengan nyaman nanti.

“Naa, kamu engga ke resto?”

“Buat apaan? Ngapelin Austin? Si paling percaya diri itu? Maleslah.”

Austin? Siapa Austin? Apa aku dia adalah laki-laki yang Nadhila dekati? Lalu kenapa ingatan ini ada padaku?

“Kamu selalu khawatir soal Nadhila.” Perhatianku teralihkan. “Saking khawatirnya, kamu sering pantau dia.”

Ya, pasti ini milik Nadhila yang sering aku pantau kehidupannya. Ternyata sikap Nadhila sangat berbanding terbalik dengan sikapku.

Mba benar-benar berharap kamu diterima di sisi Allah, Nadhila.

“Mas.” Panggilku dengan suara pelan, takutnya baby malah bangun.

“Ada apa? Kamu lapar? Sebelum pergi tadi, Dokter menyarankan kamu jangan terla-“

“Mas tahu siapa Austin?”

Ciiitt.

“Nabhila!”

Baby yang ada di pangkuanku menangis, aku bahkan bisa merasakan bagaimana cepatnya jantungku berdetak. Apa yang salah? aku hanya menanyakan siapa Austin? Kenapa Mas Alvis harus memberhentikan mobil secara mendadak bahkan berteriak padaku? Andaikan aku tidak sigap memeluk putri kami, mungkin dia akan jatuh.

“Maaf, Mas tidak bermaksud membuat kamu kaget. Mas mau kamu melupakan semuanya, untuk apa mengingat keluarga yang sudah membuangmu? Untuk apa memaksakan ingatanmu? Bukannya bagus Allah menghilangkan ingatanmu sebagai kesempatan untuk memulai dari awal? Mas mau kamu menggunakan kesempatan itu dengan baik, bukan mengorek masa lalu kamu terus.” Tangannya terulur memegang tanganku, pasti Mas Alvis bisa merasakan bagaimana dinginnya tanganku saat ini.

“Sayang, dengarkan Mas. Mereka tidak mengakuimu sebagai anak lagi, mereka menganggap kamu ikut mati bersama adik ipar. Di hari kamu siuman kemarin, Mas ke rumah mencoba membujuk Mama agar mau menerimaku sekaligus memberitahukan kamu sudah sadar, tapi kamu tahu apa yang Mas lihat? Barang-barang kamu yang tersisa di rumah itu semuanya di buang, malah ada yang di bakar.”

Kupandang Mas Alvis dengan tatapan terkejut.

“Jadi, berhenti memikirkan mereka. Kamu punya Mas, ada Kanza kita juga. Kanza butuh kamu untuk membesarkannya, dan Mas butuh kamu sebagai pendukung Mas. Jadi berhenti membahas mereka. Bisa kan Sayang?” daripada debat panjang, aku mengangguk.

Mas Alvis mendekat, memelukku.

“Mas engga mau kehilangan kamu lagi, Mas maunya kamu pikiran Mas saja dan anak kita, jangan pikirkan keluargamu lagi apalagi mencoba mengingat mereka.” Mas Alvis melepaskan pelukannya dan kembali melajukan mobil yang sempat terhenti.

Baby kami masih terdengar sisa-sisa tangisannya, aku menunduk menatapnya. Tidak tahu kenapa, ada momen yang membuatku takut padanya. Dia terlihat mengerikan setiap kali aku membahas keluarga, sepertinya Mas Alvis benar-benar tidak suka aku membahas keluarga, mungkin karena sakit hati. Karena mereka membuangku, istri tercintanya.

Tapi yang membuatku bingung adalah yang kutanyakan siapa Austin, lalu kenapa Mas Alvis malah membahas keluarga?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pemeran Utama   44 - Kini Waktu Berlalu

    Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya

  • Bukan Pemeran Utama   44 - Kini Waktu Berlalu

    Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya

  • Bukan Pemeran Utama   43 - Kembali Ke Semula

    “Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem

  • Bukan Pemeran Utama   42 - Hampanya Kota Bandung

    Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa

  • Bukan Pemeran Utama   41 - Modeling

    Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M

  • Bukan Pemeran Utama   40 - Berkas Sisa Operasi

    “Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber

  • Bukan Pemeran Utama   39 - Mengapa Aku Asing?

    Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit

  • Bukan Pemeran Utama   38 - Sangat Berbeda, Tuan

    Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.

  • Bukan Pemeran Utama   37 - Arisan Dan Keluarga Meeaz

    Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status