"Kita akan tinggal dimana?" tanya Jingga kemudian.Jingga tahu pertanyaannya mungkin tidak sopan atau sangat tidak tahu malu, karena saat ini kalau dia memutuskan untuk tidak mengikuti kemauan Fargo, itu artinya hidupnya hanya bergantung kepada Langit."Pastinya kamu sudah tahu kita harus tinggal dimana. Untuk saat ini, ya hanya panti lah tujuanku pulang," jawab Langit sambil tersenyum.Langit paham kalau Jingga pastinya merasa keberatan tinggal disana. Namun, apa yang bisa dilakukan? Bahkan mereka saat ini hanya memiliki uang yang sudah sempat mereka tarik beberapa hari lalu sebelum kartu di blokir.Bahkan mungkin uang yang dimilikinya tidak akan cukup untuk menyewa sebuah kontrakan. Dan juga sayang uangnya, sementara mereka belum tahu apa yang harus dihadapi ke depannya."Sempit-sempitan disana?" tanya Jingga lagi.Langit menggelengkan kepalanya. "Gak, kamu tenang saja. Rumah itu besar dan sekarang hanya ada beberapa anak saja. Karena ibu sedang mengurus penutupan izin panti dan rum
Langit menghela nafas berat saat melihat orang itu adalah salah satu pengawal Abizar."Siapa yang kau panggil?" tanya Jingga keheranan. Apalagi dengan jelas si sopir menyebut 'tuan' dan melihat ke arah Langit."Tuan Langit," jawab sopir tersebut.Langit menghela nafas berat, apalagi saat Jingga menatapnya dengan penuh tanda tanya."Kau siapa?" tanya Jingga lagi karena Langit masih belum bergeming."Orang suruhan Tuan Abizar. Nama saya Jodi," jawabnya memberitahukan namanya.Jingga semakin bingung. Dia bahkan tidak tahu dengan orang yang disebutkan oleh Jodi tersebut. Namun, apa hubungannya dengan Langit."Langit, siapa mereka?" tanya Jingga yang merasa khawatir kalau mereka adalah orang-orang Fargo yang akan mencelakai mereka.Langit menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, ayo naik. Tenang aja aman, aku kenal dia."Langit menarik tangan Jingga dan juga Biru mendekat ke mobil tersebut. Sopir yang bernama Jodi itu membantu memasukkan barang mereka ke mobil."Tolong antarkan kami ke panti sa
"Bagaimana?" tanya Abizar kemudian menatap Langit dan Jingga secara bergantian.Sementara Araka hanya diam, menyimak setiap pembicaraan dari papanya dan kakak yang baru dikenalnya."Sebaiknya pulang saja ke rumah dulu, disana kalian bisa menenangkan pikiran. Dan aku yakin Biru pasti akan senang di rumah sana," saran Araka."Jangan langsung mikir bisnis, Pa. Mereka butuh ketenangan dulu. Apa yang terjadi itu pasti membuat mereka syok. Terutama Kak Jingga," lanjut Araka.Langit melihat ke arah sang istri. Dia setuju dengan apa yang dikatakan Araka di akhir kalimatnya, kalau Jingga yang paling syok. Pastinya Jingga tidak akan terbiasa dengan kehidupannya yang susah kalau dia memaksa Jingga tinggal di panti. Namun, masih ada keraguan di hatinya mengenai hubungannya dan Abizar. Bagaimana kalau salah?Hal yang paling Langit takutkan saat ini adalah, kalau semua itu salah. Abizar salah mengakui orang, karena bisa jadi bukan Langit orang yang dia cari. Siapa tahu tertukar.Berbeda dengan Lan
“Santai,” bisik Jingga tersenyum sinis ke arah Langit.“Selamat datang, pasti kalian sangat lelah sekali,” sambut wanita yang bernama Hani itu. dia adalah istrinya Abizar.Bu Hani menyambut kedatangan Langit tampaknya dengan sangat antusias, senyum terus terkembang di bibirnya. Sehingga membuat Langit lama-lama melupakan kecanggungannya. Dia merasa di terima di dalam keluarga ini.“Ma, ini Langit yang papa ceritakan kemarin. Dan ini Jingga istrinya, yang ini Biru anak mereka,” ujar Abizar memperkenalkan Langit kepada istrinya.Bu Hani mengangguk, memeluk satu persatu anak dan menantunya itu. “Mama sudah masak, kalian pasti capek. Sebelum istirahat kita makan dulu.”Sambutan hangat dari bu Hani membuat Langit merasa menemukan keluarga baru, namun Langit tidak tahu apakah itu sambutan tulus atau hanya sebuah keterpaksaan. Yang pasti saat ini, mereka bisa menenangkan diri dan menghindari mata-mata Fargo.“Terima kasih,” ucap Langit sungkan.“Panggil saja ‘mama’ sama seperti Ara. Kalian s
Uhuk!Abizar terbatuk saat Langit kembali bertanya tentang siapa ibu kandungnya. Padahal sejak awal, Abizar sudah menjelaskan kalau ibu kandungnya sudah memiliki keluarga.“Aku yakin alasan yang sebenarnya bukan karena beliau sudah berkeluarga, kan? Karena bapak pun sama, sudah memiliki keluarga. Pasti ada alasan lain?” tanya Langit mendesak Abizar.Abizar terdiam, mengingat masa lalu sama saja dengan membuka luka lama. Banyak kenangan yang tidak ingin diingatnya.“Namaku Langit Lubasya Gauri. Sedangkan nama bapak dan anak bapak yang lainnya tidak ada yang terdiri dari tiga suku kata. Dan mengapa namaku tiga suku kata? Apa artinya Lubasya?” tanya Langit lagi yang seperti sedang mendesak Abizar untuk memberitahukannya sesuatu.Langit seolah-olah sedang mengeluarkan pertanyaan yang sudah begitu lama bersemayam di dalam kepalanya. Dan sekarang dia merasa waktu yang tepat untuk bertanya.“Jadi, siapa beliau?” tanya Langit mengejar Abizar untuk segera memberitahukan siapa ibu kandungnya. D
“Hei! Bangun! Mengapa kau tidur disini?”Suara itu sungguh berisik dan membuat Langit membuka matanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat cahaya matahari sudah mulai bersinar, dan Jingga berdiri di depannya dengan berkacak pinggang.“Mengapa aku disini?” tanya Langit memegang kepalanya yang rasanya terasa sangat sakit.“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Orang-orang semuanya gak ada yang berani bangunin kamu karena papa kamu juga gak tega bangunin kamu, malah di selimutin,” jawab Jingga kesal.Dan Langit melihat tubuhnya memang di selimuti oleh selimut tebal. Mungkin dia terlalu lelap, sehingga mereka tidak tega banguninnya.“Disuruh diamin jangkrik, malah tidur disini,” lanjut Jingga mencebik.Ternyata semalam, saking sakit hatinya Langit sampai tertidur di kursi samping itu. Saat membayangkan betapa malang takdir yang menimpanya. Dia memiliki kedua orang tua yang super hebat, namun tidak membuat hidupnya beruntung. Dia terlahir sebagai anak haram mereka dan tanpa ikatan pernikaha
“Apalagi saat kamu tahu orang-orang yang membuangmu hidup dalam ketenangan tanpa rasa ebrsalah. Kalau kamu tahu rasanya, kamu tidak akan berkata seperti tadi,” lanjut Langit sambil tersenyum kecut.“Hahaha.”Alih-alih membela diri, Jingga malah tertawa tergelak-gelak mendengar apa yang dikatakan oleh Langit. Membuat sang suami mengernyitkan keningnya. Mungkin Langit berpikir kalau saat ini Jingga sudah gila.“Mengapa kamu tertawa?” tanya Langit heran.“Menurutmu lebih baik yang mana, dibuang atau diabaikan?” tanya Jingga yang menjawab pertanyaan Langit dengan sebuah pertanyaan. Dan pertanyaan yang diajukan Jingga juga tidaklah mudah untuk menemukan jawabannya. Sebab, pertanyaan itu juga sepertinya juga berasal dari hatinya yang terdalam.Akhirnya keduanya kembali terdiam dengan pikiran masing-masing.“Keduanya sama-sama menyakitkan. Tapi tidak bisa dipilih,” jawab Langit akhirnya.“Kalau menurutku, lebih baik dibuang daripada diabaikan. Kau ada, tapi tidak pernah dianggap ada. Apapun
“Mama kesal, Ara!” teriak Bu Hani kesal.“Ma, sudahlah. Itu juga gak seberapa,” jawab Ara dengan santai.“Tapi, kan dia itu belum tentu benar anak papa kamu! Bahkan hasil dari rumah sakit saja belum keluar. Mengapa sudah berikan modal saja! Bagaimana kalau dia bukan anak papa? Mau diberikan percuma gitu?” tanya bu Hani lagi.Keduanya terdiam beberapa saat. “Bagi Ara itu tidak masalah. Toh semuanya juga tidak menghabiskan semua harta papa. Dan juga mengurus yang sekarang juga Ara sudah cukup. Ada orang yang bisa dianggap kakak itu sangat menyenangkan.”Jawaban dari Ara membuat Langit hanya bisa menghela nafas. Sepertinya sifat yang Ara miliki dari papanya, karena dia tidak terlalu memperdulikan harta. Sebab, mereka juga sudah kaya dan tidak kurang satu apapun.“Kamu bodoh, Ara! Kalau kamu memberikan orang seperti itu dengan kebaikan, mereka akan merebut semuanya dari kamu!” bentak bu Hani.“Aku percaya sama Langit, dia tidak mungkin melakukan itu. dia bukan orang serakah,” jawab Ara.“