"Dia mengajak Chika bermain di pinggir kolam renang. Saat Chika tak sengaja terpeleset, Fira hanya diam mengamati. Sama sekali tidak ada niatan untuk menolong," jelasnya."Siapa tahu dia memang nggak bisa berenang. Jangan terlalu melebih-lebihkan, Mar. Fira itu istrimu. Dia memang dari keluarga sederhana, tapi jangan menghakimi dia seperti itu.""Dia punya mulut, kan? Dia bisa teriak, kan, untuk meminta pertolongan pada orang lain? Kalau saja aku tidak datang, entah apa yang akan terjadi pada Chika." Ammar tampak kesal."Dari mana kamu tahu dia nggak meminta pertolongan? Memang kamu lihat sendiri kalau dia diam saja?" Aku masih berusaha membela Fira. Kalau kupikir, ini hanya kesalahpahaman saja."Ya. Aku melihatnya sendiri dengan kedua mataku dari kamera CCTV. Aku sedang di ruang kerja pada saat itu. Dan terlihat jelas Fira tidak berniat menolong Chika sedikit pun."Aku terdiam. Keningku berkerut dalam. Masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Sepertinya ini semua hanya kesalah
Kubuka pintu kamar Ibu perlahan. Benar kata Mama. Alvin sudah tidur."May? Ini Alvin udah bobok." Ibu berucap lirih saat melihatku. Aku melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang beliau."Alvin jangan dipindah, ya. Biarin aja tidur di sini sama Ibu."Baru saja aku ingin membawa bocah itu pergi, Ibu sudah bicara lebih dulu."Nanti kalau dia ganggu tidur Ibu gimana?""Nggak papa. Lagian Ibu juga sudah bisa jalan. Ibu sudah sembuh."Akhirnya karena Ibu ngotot, aku batal memindahkan Alvin. Aku kembali lagi ke kamar sendiri untuk segera tidur."Gimana? Udah bobok?" tanya Rafael begitu aku masuk kamar."Udah." Aku naik ke ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh sebatas pinggang."Minta jatah nggak?" tanyaku pada suami menggemaskan."Pengertian banget. Tapi aku lagi capek. Besok aja, ya. Sekarang kita tidur. Sini aku peluk." Rafael menarik tubuhku agar lebih mendekat padanya. Ah, rasanya hangat mepet-mepet begini. Sama suami sendiri pula.***"Bunda berangkat, ya, Nak. Baik-baik sa
Sial sekali! Mulai hari ini, aku akan sering-sering bertemu Ammar. Bahkan mengerjakan proyek bersama dengan dia."Proyek kita ini bertempat di luar kota. Nanti malam kita berangkat. Kira-kira kita berada di sana sekitar satu minggu. Jadi persiapkan diri dengan baik." Klien-ku menjelaskan.Satu minggu?Ah, kurasa aku bisa gila berada jauh dari Rafael selama itu."Apa ini bisa diwakilkan, Pak? Sama asisten saya mungkin?" Aku menawar."Ya nggak bisa lah, Bu Mayang. Harus Ibu sendiri yang menggarapnya."Aku mendengkus.Saat jam istirahat makan siang, aku menghubungi Rafael."Hei! Kenapa mukanya lemes begitu?" Dia menyapa dengan wajah riang di sana."Mood aku lagi buruk banget, Mas. Masa nanti malam aku berangkat ke luar kota? Udah gitu selama satu minggu pula menetapnya. Dan yang bikin aku kesel, aku bersama Ammar juga."Wajah riang dari wajahnya seketika terurai. Lihatlah! Dia pasti cemburu."Sama Ammar? Memangnya nggak bisa nyuruh orang lain aja yang pergi?""Ya nggak bisa, Mas. Harus a
Kami tiba di lokasi pada jam delapan malam. Ah, badanku rasanya remuk. Perjalanan jauh membuat bokongku rasanya tepos seketika.Kamarku dan Ammar ternyata bersebelahan. Sebelum masuk, dia masih sempat melirikku. Aku melengos. Buru-buru masuk ke dalam kamar dan menguncinya.Kuempaskan tubuh ke ranjang. Rasanya nyaman sekali. Badan yang lelah dipadukan dengan ranjang yang empuk. Sungguh sempurna.Aku menoleh ke samping. Ponselku mencuat keluar dari dalam tas. Aku meraihnya. Nomor Rafael adalah yang pertama aku hubungi. Siapa lagi kalau bukan dia?Tidak membutuhkan waktu lama, wajahnya sudah muncul di layar sekarang. Aku sangat merindukannya. Padahal baru saja sampai. Masih ada sekitar enam hari lagi yang harus kami lalui tanpa satu sama lain.Jantungku bahkan berdebar kencang sata melihat wajahnya."Udah nyampek?" tanyanya. Aku merubah posisi menjadi telungkup."Udah. Aku kangen," keluhku."Baru juga nyampek." Dia terlihat baru saja mandi. Tangan kirinya mengeringkan rambut menggunakan
"Kenapa? Ada yang hilang?" Laki-laki di sebelahku bertanya lagi."Ponselku nggak ada. Kamu lihat nggak?" Aku menatapnya panik."Ponsel? Memangnya kamu taruh di mana tadi?"Aku mengingat-ingat kembali. Tadi sebelum keluar dari kamar, aku mengantonginya. Lalu saat makan malam, ponsel itu kuletakkan di sisi piring sebab sempat ada pesan dari Rafael. Apa mungkin tertinggal di tempat kami makan tadi?"Tadi aku taruh di meja pas makan. Apa mungkin tertinggal di sana?" Aku berasumsi."Mana mungkin? Ponsel itu benda penting, May. Kalaupun tertinggal di meja pasti kelihatan jelas.""Nggak ada salahnya dilihat kembali. Aku akan ke sana."Aku berlari. Terdengar derap langkah cepat di belakangku. Ammar sepertinya mengikuti.Aku memeriksa meja tadi. Sampai di kolongnya pun aku cari. Meja sekitarnya pun tak luput dari pemeriksaanku. Orang-orang yang ada di sana sampai heran melihatku. Tapi hasilnya nihil. Ponselku tidak ada di manapun."Sebentar. Coba aku panggil dulu." Ammar mengeluarkan ponselnya
"Kenapa, Bu Mayang? Sepertinya sejak tadi Bu Mayang gelisah?" Pak Brata bertanya.Aku tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya merasa seperti ada yang mengikuti. Tapi tidak ada siapa-siapa.""Bu Mayang ini, kan, cantik. Jadi wajar kalau ada yang mengikuti." Laki-laki berperut buncit itu terkekeh. Aku tersenyum masam."Apa kamu punya musuh belakangan ini?" Ammar yang berjalan di sebelahku bertanya lirih. "Ada satu orang yang aku curigai. Tapi sepertinya nggak mungkin dia sampai mengejarku ke sini.""Siapa?""Namanya Talita. Dia mantan pacar suamiku. Dia pernah hampir membunuhku, tapi gagal dan berakhir di penjara. Sepertinya dia dendam," jelasku."Hati-hati. Tetap waspada. Jangan jauh-jauh dariku."Aku menoleh. Menatap Ammar dengan bibir mencebik. Ucapannya sudah seperti satria baja hitam saja."Kenapa? Memangnya ada yang salah? Aku hanya ingin melindungimu. Itu saja."Aku kembali menatap ke depan. "Iya. Tapi ucapanmu itu seperti superhero yang nggak bisa terluka. Songong!"Di
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah