Mataku mengerjap. Kurasakan tepukan pelan di pipi. Tangan ini, aku hafal betul tangan siapa yang tengah menepuk pelan pipiku ini.
Senyum itu menyapaku setelah mata terbuka sempurna. Wajahnya yang sempat terlihat bersih, sekarang kusam lagi karena kembali berkutat di bengkel.
Senyum itu perlahan berubah masam. "Mentang-mentang lagi dapet, bangunnya siang banget. Suamimu mau makan apa?"
Kini aku yang tersenyum. Bangkit dan memeluk tubuhnya. Dia mengusap rambutku. Ini adalah hal yang sangat aku suka. Sentuhannya selalu menenangkan.
"Maaf, Mas. Aku ngantuk banget. Semalam Alvin ngajak begadang. Aku baru bisa tidur jam dua belas."
Dia mengurai pelukan. Disibaknya rambutku ke belakang telinga. "Anak kamu ngajak begadang, tapi dia udah bangun duluan dari tadi."
"Masa? Terus sekarang dia di mana?" Aku beringsut turun dari ranjang. Alvin memang kubiasakan tidur di kam
"Masa setiap hari aku yang kasih ciuman? Kamunya enggak." Dia manyun."Halah! Bilang aja minta dicium. Pakai acara ngomong nggak adil segala. Sini!"Rafael nyengir. Dia mendekat. Aku melakukan hal yang sama padanya. Mencium kening, kedua pipi, dan bibir. Singkat saja. Nanti kalau kelamaan bahaya. Bisa-bisa malah kebablasan. Ah, skip!"Love you," ucapnya sebelum benar-benar turun. Hatiku masih saja berdebar tiap kali mendengarnya mengungkapkan rasa itu."Love you too," balasku. Dia masih sempat mengacak rambutku juga."Ah, Mas ngeselin! Rambutku berantakan lagi, kan, jadinya," keluhku."Siapa suruh dandan cantik banget." Dia menyelinap keluar. Aku menggeleng pelan. Sikapnya memang sudah lebih dewasa, ditambah lagi dengan brewokan dan rambutnya yang nyaris gondrong. Tapi kadang sikap kekanakannya masih juga muncul.**S
"Ih! Mas mah gitu! Aku, kan, lagi makan siang ini."Dia tergelak. Matanya yang menyipit membuatnya terlihat makin tampan. Ah, rasanya ingin kukantongi senyum itu, lalu kubawa ke manapun aku pergi.Rafael tampak berjalan. Sepertinya dia berpindah tempat."Jangan ke toilet!" sentakku."Enggak, Sayang. Ini aku di belakang bengkel. Ya kali aku tega kayak gitu sama kamu." Dia duduk di lantai sepertinya. Punggungnya bersandar santai di tembok.Rafael mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Rokok.Memang, semenjak berteman dengan para pemuda itu, Rafael mencoba merokok untuk mengimbangi mereka. Ya, katanya biar tidak diejek cupu.Kalau begini, Rafael jadi lebih mirip lelaki badboy. Rambut diikat karena sudah gondrong, brewok di pipinya yang sayang untuk dicukur. Sekarang ditambah lagi dengan rokok yang selalu dihisapnya. Benar-benar seperti pr
"Bu Mayang kerja di mana?" tanya salah seorang karyawan Rafael.Aku menoleh padanya. "Saya memimpin sebuah perusahaan."Usai menjawab, aku kembali melihat orang tadi. Nihil! Dia sudah pergi. Aku menghela napas sejenak untuk menghilangkan pikiran buruk."Keren lah Bu Mayang pokoknya," celetuk bocah itu lagi. Aku hanya tersenyum tipis. Entahlah, rasanya pikiranku masih saja tertuju pada sosok tadi."Kenapa? Kayaknya gelisah dari tadi." Tiba-tiba saja Rafael sudah berada di sampingku."Nggak papa, Mas. Cuma tadi Fira bilang ada orang yang sering ngawasin toko. Udah gitu tadi aku lihat orang dengan ciri-ciri yang sama ada di depan rumah kita. Barusan lagi aku lihat dia ada di sana." Rafael mengikuti arah telunjukku."Emang ciri-cirinya gimana?""Pakai hoodie sama celana jeans. Entah itu kebetulan atau gimana, aku juga nggak ngerti. Cuma aku c
"Aku nggak dandan, Mas. Ini cuma ganti baju doang sama nyisir rambut, kok."Dia mendekat. Mengambil alih sisir dari tanganku. Selalu seperti ini, manis."Jangan diikat rambutnya. Digerai begini aja. Yuk berangkat! Ntar keburu malam." Dia meletakkan sisir ke atas meja rias. Lalu menggandeng tanganku keluar.Rafael mengenakan jaket warna hitam dan celana warna senada. Rambutnya yang gondrong dikuncir di belakang. Benar-benar seperti anak jalanan dia."Pakai motor aja, ya, biar lebih seru," tawarnya."Oke." Aku menyahut semangat.**Jangan pikir kami akan dinner di restoran mahal atau di cafe mewah. No! Kami jarang sekali makan di tempat seperti itu. Kami lebih memilih makan bakso di pinggir jalan, atau mungkin nasi goreng. Rafael bilang, dia masih saja insecure tiap kali masuk tempat mewah. Padahal penghasilannya sudah semakin meningkat sek
Ibu mertua sudah dipindah ke ruang rawat. Benar kata Rafael. Badan beliau kurus. Bagaimana tidak? Tubuhnya yang renta kini digerogoti bermacam-macam penyakit."Mas, kamu makan dulu. Biar Ibu aku yang jaga." Aku menyentuh bahunya. Sejak tadi Rafael terus menggenggam tangan Ibunya yang masih terpejam."Nanti saja. Aku masih mau nungguin Ibu. Kamu saja makan dulu." Dia balas mengusap lenganku.Aku berjalan ke sofa dekat tembok. Aku sengaja memesan ruangan VVIP agar Ibu lebih nyaman. Pun dengan kami yang tengah menunggu beliau.Kutekan tombol di remote untuk menyalakan televisi. Hanya saja volume kusetel dalam angka terendah agar tidak mengganggu istirahat Ibu."Disuruh makan, kok, malah nonton tivi?" Rafael menghampiriku. Dia duduk bersandar di sofa. Sebelah tangannya menelusup di belakang leherku."Habisnya kamu nggak mau." Aku merengut."Y
Aku berlari ke arahnya, sedikit menoleh padaku, orang itu lalu melarikan diri. Ah, sial! Lagi-lagi aku kalah cepat. Itu membuktikan bahwa dia memang sengaja mengawasi. Terlihat jelas saat berusaha kudekati, dia selalu pergi."Mayang?"Aku berbalik. Menghela napas sejenak saat melihat Fatih sudah berdiri di hadapan. Lama-lama dia sudah mirip setan, di mana-mana ada. Untung ganteng."Kamu mau pulang? Suamimu mana?" Dia celingukan mencari keberadaan Rafael, mungkin."Dia masih nungguin Ibu. Aku duluan, ya."Baru saja hendak masuk mobil, mataku melirik bagian ban. Mobilku kempes. Astaga! Kenapa harus kempes sekarang?Aku berjalan mengitari mobil. Ke empat bannya kempes semua. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan orang misterius tadi?"Kenapa, May?"Aku mendengkus. Sebelah tanganku berada di kepala, sebelah lagi di
Tenang, Mayang. Tenang!Aku kembali berusaha mengatur ritme napas. Aku tidak boleh terlalu panik.Perlahan napasku sudah mulai normal. Pun dengan detak jantungku. Hanya saja rasa takut masih merajai.Seperti deja vu, saat hendak merebahkan badan di samping Alvin, bel rumah kembali berbunyi.Rasa takut perlahan menjalar ke seluruh persendian lagi. Merambat sampai ke dada hingga menciptakan rasa panas dan dingin dalam waktu bersamaan.Aku meringkuk di sebelah Alvin. Kutarik selimut hingga menutupi tubuh.Keringatku kembali membasahi wajah. Rasa takutku kali ini bahkan lebih parah daripada tadi. Aku harap malam ini segera berganti pagi. Aku bisa mati ketakutan jika seperti ini terus.Telingaku sayup-sayup mendengar suara langkah kaki orang. Langkah itu mendekat ke arah sini. Siapa sebenarnya yang sedang bermain-main dengan keluarga kami?
"Bunda, nacinya tumpah."Aku mengangkat wajah. Sejenak melihat Alvin yang tengah lahap makan sendiri. Kuusap kepalanya sekilas. Lalu mencubit pipinya dengan gemas.Bukannya lantas menyendok makanan, pikiranku kembali melayang. Sebuah sentuhan lembut perlahan kurasakan pada tangan yang tengah memegang sendok."Kamu kenapa?" Rafael bertanya pelan. Untuk beberapa saat, aku justru memandangi wajahnya yang kini brewok. Semakin tampan saja dia. Dulu seperti orang Korea, sekarang entah bagaimana bisa jadi seperti aktor India. Ah, sepertinya aku sudah gila."Hei, ditanya, kok, malah bengong? Kamu kenapa?"Tangan kiri kuletakkan di atas tangannya yang berada di tangan kananku. Tangan kami jadi bertumpuk-tumpuk. "Aku nggak papa, kok, Mas. Aku cuma ngga nafsu makan aja."Dia menyelipkan rambutku di belakang telinga. Lalu sejenak mengusap pipi. Rasa hangatnya menjalar sa