Aku mendekatkan wajah pada Mama yang duduk di sebelah. "Mama undang Ammar?"
Mama menatap ke arah pintu. Tampak terkejut, lalu menggeleng. "Enggak, May. Mama nggak ngundang dia. Buat apa coba? Saudara bukan, apa bukan, ngapain diundang?"
Aku kembali duduk tegak. Kulihat Rafael yang sedari tadi duduk anteng di sebelahku sudah tidak ada. Rupanya dia menghampiri Ammar di depan sana. Perasaanku sudah tak karuan. Takut jika terjadi keributan di antara mereka.
Susah payah, aku mencoba berdiri. Di saat yang bersamaan, Papa lebih dulu menyusul mereka. Aku menghela napas lega. Setidaknya jika ada Papa, mereka tidak akan macam-macam.
Akhirnya mereka bertiga masuk ke dalam bersamaan. Dapat kulihat Papa sudah tampak akrab dengan Ammar. Mungkinkah mereka saling kenal? Tapi kurasa mereka baru bertemu sekali ini.
Ceramah telah usai. Acara dilanjutkan dengan pembagian santunan. Setelahn
Astaga! Kenapa di mana-mana ada orang itu? Maksudku bukan Chika, tapi Ammar. Kenapa dia seperti mengikutiku? Apa memang benar seperti itu? Tapi untuk apa? Chika yang baru saja turun dari mobil berlari dan langsung memeluk pinggangku. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sekilas kulirik Rafael di sampingku. Dia tampak tak suka melihat Ammar datang. "Chika lagi jalan-jalan, ya?" tanyaku pada bocah itu. "Iya, Tante. Papa yang ajak," jawabnya polos. Apa benar ini sebuah kebetulan? Atau memang ada maksud lain dari Ammar? Laki-laki itu mendekat. Dia melempar senyum manis. "Kebetulan banget ketemu di sini. Sepertinya kita memang selalu bertemu. Pertanda apa kira-kira?" Aku memalingkan wajah. Merasa risih mendengar ucapan Ammar yang mulai aneh akhir-akhir ini. Rafael terlihat makin kesal. Dia berjalan lebih dulu menuju taman. Dia duduk di salah satu bangku yang ada di sana.
Malam, aku dan Rafael memilih untuk makan di luar. Aku terlalu lelah untuk memasak. Rafael pun tak mempermasalahkannya. Justru menurutnya, jika kami sering keluar berdua, cinta akan semakin lekat.Aku melingkarkan tangan di pinggang kekarnya. Merasakan otot-ototnya yang kencang, membuat hatiku berdesir. Rasanya aku jatuh cinta berkali-kali pada pemuda ini. Aku jadi menyesal, kenapa tidak dari dulu saja mengenalnya?"Lo mau makan apa, Tan?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang."Apa ajalah. Gue nggak terlalu lapar juga, kok. Soalnya di toko gue nyomotin kue mulu," sahutku sambil terkekeh."Pantesan badan lu agak lebaran.""Masa? Gendut, dong, gue?" Aku mendadak panik sendiri."Ya enggak. Mana ada badan segitu gendut. Yang ada jadi tambah seksi," jawabnya sambil nyengir. Terlihat jelas di kaca spionnya.Aku mencebik. Lalu menunjuk warung na
Rafael bangkit dari duduknya. Dia mencengkeram kerah baju Ammar dengan kencang. "Bedebah! Iblis lo!"Aku menarik ujung kemeja Rafael. Dia bisa terkena masalah jika seperti ini. Ammar orang yang licik. Dia bisa berbuat apa saja dengan mudah. Bahkan dia tega membuat nyawa Rafael hampir melayang dulu."Udah, Raf. Jangan kayak gini." Aku mengajaknya duduk kembali. Ammar tampak kesal. Wajahnya terlihat memerah. Dia terlihat sangat berbeda jika seperti ini."Kalau kamu berani menyentuhku lagi, aku pastikan kamu mendekam di penjara," ancam Ammar."Stop, Mar! Cukup! Apa salah keluargaku padamu? Apa salah kami?" Nada bicaraku meninggi.Ammar berjalan dengan tangan terselip dalam saku celana menuju jendela. Dia menatap keluar sana dengan sorot tajam. Sorot yang sepertinya menyimpan sebuah kebencian dan dendam."Papamu sudah membunuh Papaku, May. Apa aku salah jika seka
"Tadi siapa yang nelpon?" tanyaku ketika kami sudah keluar dari tempat periksa."Oh, tadi si Fira. Dia nanya, ada pesanan mendadak diambil apa enggak."Aku mengangguk paham. Aku akan menanyakannya pada Fira nanti. Feeling-ku mengatakan ada yang disembunyikan Rafael dariku."Turunin aku di cafe depan, ya. Ada janji ketemu klien," ucapku sambil menepuk bahunya."Iya."Motor membelok saat cafe sudah terlihat. Aku turun perlahan. Rafael ikut turun. Dia membantuku melepas helm. Dia juga merapikan rambutku yang sepertinya berantakan."Aku langsung ke toko, ya. Kamu hati-hati," ucapnya.Aku mengangguk. Rafael mengusap pipiku sejenak, lalu kembali nangkring di atas motornya. Sebelum benar-benar berjalan, dia mengecek ponsel lagi. Dia lebih sering menatap benda itu sekarang. Membuatku semakin curiga. Jangan-jangan setelah sukses, dia punya selingk
"Pak Rafael terkena radang usus buntu. Sebenarnya saya sudah memperingatkan agar dia menjalani operasi, tapi selalu saja menolak. Beruntung keadaannya belum begitu parah." Penjelasan dokter masih terngiang di telingaku. Kenapa dia tega menyembunyikan penyakitnya dariku? Apa aku tidak berarti baginya? Rafael baru saja menjalani operasi. Sekarang dia masih belum sadar. "Ayo bangun, Raf! Gue punya banyak pertanyaan sama lo. Seenaknya aja lo nyembunyiin penyakit lo dari gue. Emang lo anggap gue apaan?" Aku menggerutu sendiri. Di saat kesal padanya seperti ini, panggilan lo gue selalu saja terlontar. Aku sangat kecewa padanya. Bagaimana jika kami tidak bertindak cepat tadi? Apa yang akan terjadi dengan pemuda bodoh ini? Apa jangan-jangan, telepon yang selama ini dia terima diam-diam adalah telepon dari dokter? Ah, bodohnya aku sebagai istri. Seharusnya aku tahu apa saja yang
Apa yang mau dia lakukan lagi di sana? Hatiku mendadak cemas. Tiap kali melihat wajah laki-laki itu, pikiran buruk pasti datang.Sepertinya aku harus ke toko sekarang untuk mengeceknya secara langsung.Kusambar tas kecil di atas meja. Lalu berjalan cepat menyusuri koridor. Sesekali kujawab sapaan karyawan yang kebetulan lewat.**Mobil kuhentikan di pelataran toko. Dengan perut yang sudah buncit, ruang gerakku menjadi terbatas. Tapi untuk menyetir sendiri aku masih bisa. Rasanya tak leluasa memakai sopir.Pandanganku terarah ke toko. Di sana sudah tidak ada laki-laki. Hanya ada beberapa pembeli perempuan bersama anak kecil."Loh, Bu Mayang, kok, udah sampai di sini? Bukannya tadi video call-an masih di kantor, ya?" Fira bertanya bingung."Laki-laki tadi mana?"Kening Fira mengernyit. "Laki-laki yang mana, Bu?"
Cahaya bulan memantul di permukaan air. Tampak indah dan sangat menenangkan. Sesekali kuusap lengan sendiri karena merasa dingin. Mataku mengedar menatap sekeliling. Sudah jam delapan tapi Rafael belum pulang juga. Dia pasti lembur lagi.Aku mendengkus pelan. Lalu mengelus perut yang buncit. "Ayahmu semakin hari semakin sibuk, Nak. Bunda jadi sering kesepian.""Ecie ... ada yang sepi tanpa Ayah El nih!"Aku sontak menoleh. "Kamu, kok, udah ada di sini?"Kapan dia datang? Tadi perasaan belum ada siapa-siapa.Rafael menarik kursi mendekat padaku. Seperti kemarin, wajah dan tangannya tampak kotor."Ngapain duduk di sini sendirian?" tanyanya. Sepasang matanya menatapku lekat. Entah kenapa, aku masih saja berdebar jika ditatapnya seperti ini."Habisnya di rumah sepi," keluhku."Papa sama Mama ke mana?"
"Ayo, Bu! Sedikit lagi. Ibu pasti bisa." Dokter memberiku arahan.Aku mengejan lagi sekuat tenaga. Hingga akhirnya, suara tangis bayi menggema memenuhi ruang bersalin ini."Alhamdulillah." Mama dan dokter yang membantu persalinanku mengucap hamdalah bersamaan. Tak terasa, air mataku luruh begitu saja. Aku berhasil, Raf. Aku berhasil melahirkan anak kita dengan selamat.Bayiku dibawa untuk selanjutnya ditimbang dan diukur panjang badan. Sejak tadi aku sudah tidak sabar ingin menanyakan keadaan Rafael pada Mama."Ma, Rafael gimana? Dia baik-baik aja, kan?"Wajah Mama tampak sendu. "Mama belum tahu, May. Papa belum kasih kabar."Mataku memanas. Ingin rasanya aku berlari dan menghampiri Rafael sekarang. Tapi apa dayaku? Tubuhku masih lemah. Bahkan dokter masih akan melakukan proses penjahitan.**"Ini bayinya, Bu Mayang.