Senja pergi, kini malam menghampiri. Sabda baru saja masuk apartemen setelah mengajak Senja jalan-jalan sebentar, makan malam lantas mengantarnya ke kosan. Pria itu langsung mandi dan istirahat di kamar.Ketika sendirian kini merasakan kesunyian. Keberadaan Senja di apartemen dalam beberapa hari ini rupanya sudah menjadi candu, ketika tiada kini terasakan hampanya.Sabda baru saja memejam, dikejutkan dengan panggilan di ponselnya. Nama sang mama tampak di layar bening itu. "Ya, Ma," jawab Sabda pelan."Kamu apa masih ada di kantor?""Sudah pulang ini, Ma.""Pulang ke apartemen?""Ya, aku lagi ada di apartemen.""Kamu sekarang jarang pulang ke rumah. Ini kami lagi kumpul. Kamu pulang, gih. Mama tunggu." Panggilan langsung terputus. Sabda menghela napas pelan. Mamanya suka begini, memutuskan panggilan sepihak tanpa mau mendengar penolakan. Berarti mengharapkan Sabda harus pulang.Sabda terdiam sejenak lalu berdiri dengan malas. Diambilnya jaket dari balik pintu, tanpa mengganti celana s
Ketika Sabda masuk ruangan, Arga sedang duduk di kursi depan meja kerja Sabda. "Hai, sudah lama nunggu?" Sapa Sabda sambil duduk di kursinya. "Lima belas menitan." Sabda memperhatikan wajah Arga yang agak pucat. "Kamu sakit?""Hanya flu biasa.""Oh, ada hal penting yang membuatmu datang ke sini?"Arga diam sejenak sambil memandang sepupunya. Ada kecewa yang membuncah dalam dada. Beberapa hari yang lalu Citra cerita padanya mengenai pertemuannya dengan Sabda dan Senja di sebuah kafe. Dia juga sempat melihat mobil Sabda berhenti di depan kantor Senja."Kamu ada hubungan apa-apa dengan Senja?" Arga bertanya dengan nada datar.Sabda mengangguk. Membuat Arga tersulut emosi yang berusaha ia redam karena tidak ingin ada keributan yang akan jadi pusat perhatian di perusahaan. Mereka saling menatap tajam."Kamu memanfaatkan keadaan hubungan kami. Kau tahu kalau aku mencintainya!" Nada Arga mulai meninggi."Aku tidak memanfaatkan. Aku sudah cerita apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.""Tapi
Sabda menggenggam erat tangan Senja ketika mereka melangkah memasuki sebuah kafe. Pria itu mengajak istrinya terus lurus jalan ke belakang. Mengambil tempat duduk di kebun rindang yang disulap layaknya sebuah taman. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. Garden Cafe. Sebuah coffee shop yang mengusung tema lingkungan. Berbagai tanaman hias menghuni tiap sudut ruangan, menjadi hiasan interior kafe. Pemandangan itu menjadi daya tarik tersendiri buat Senja. Ini konsep kafe yang berbeda dari kafe yang pernah ia kunjungi. Memang kafe ini tempatnya jauh dari pusat kota.Bangku paling pojok menjadi pilihan Sabda. Di samping tersisih dari lalu lalang pengunjung lain, dari tempat itu juga bisa bebas memandang dan menikmati suasana malam di kafe yang sangat asri jika siang hari. Lampu-lampu hias menyala, menjadikan suasana temaram dan romantis."Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Sabda pada Senja yang asyik memandang beberapa anak kecil yang bermain di play ground yang tersedia di sana. Juga a
Pak Prabu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat Bu Airin mendekat. "Kita makan malam dulu, Pa." Pria itu keluar kamar bersama istrinya. Di atas meja sudah tersedia opor ayam, perkedel kentang, dan sayur sawi."Mana Bumi?""Dia lagi ada acara sama teman-temannya," jawab Bu Airin sambil mengambilkan nasi untuk suaminya."Kenapa Papa pulangnya malam banget hari ini?""Papa ada janji ketemuan sama orang tadi." "Relasi?""Hmm," jawab Pak Prabu sambil menyuap nasi. Bu Airin memandang dengan tatapan menyelidik. Beliau tak puas dan curiga dengan jawaban suaminya."Beneran relasi? Ketemuan malam-malam begini?""Dulu Mama sering juga nemeni Papa ketemuan sama mereka waktu malam kan? Jangan bilang kalau Mama curiga, kalau mau macam-macam sudah sejak papa masih muda dulu, Ma. Mau punya bini tiga pun Papa sanggup."Bu Airin langsung melotot tajam pada suaminya, yang dipelototi tetap santai menyuap nasi. "Emang dulu Papa ada niatan mau nikah lagi?" Pak Prabu tertawa. "Gimana mau nikah
Wanita itu menarik napas dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dadanya. Senja belum pernah bertemu dengan saudaranya Sabda. Makanya dia tidak tahu karakter orangnya seperti apa."Ayo!" Sabda meraih jemari istrinya."Mas Chandra dan istrinya itu orangnya bagaimana?""Bagaimanapun mereka, aku akan tetap mengenalkanmu. Mumpung mereka ada di apartemen."Senja akhirnya mengangguk. Dia segera turun dari mobil dan Sabda menggandengnya berjalan ke arah lift. Keluarga suaminya akan menjadi keluarganya juga. Walaupun mungkin tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda. Terlebih dengan latar belakang seperti kisahnya.Kembali ditariknya napas dalam-dalam ketika sudah berdiri di depan pintu apartemen.Sabda membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah kakak iparnya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sambil mengelus perut besarnya. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab wanita berambut sebahu sambil membenahi duduknya. Tata terkejut saat melihat Senja
"Menuduh tanpa bukti jatuhnya fitnah, Mbak. Begitu pentingkah ini dibahas?" Sabda bersuara."Tentu saja. Ini simbol harga diri seorang gadis."Sabda lekas berdiri dan pergi dari sana. Tidak ada gunanya bicara dengan seorang terpelajar lulusan National University of Singapore, tapi tak punya attitude. Dia seperti tidak mengenali kakak iparnya, selama ini wanita itu sangat baik dan realistis. Entah kenapa malam ini memojokkan Senja hanya karena dia mantan pacar sepupu mereka.Ketika sampai di kamar, Sabda melihat Senja sudah tertidur dengan posisi membelakanginya. Dibenahi selimut Senja tanpa mengganggunya. Di matikannya lampu kamar, lantas menyentuh lampu tidur touch sensor di atas kepala ranjang.Di pandangi langit-langit kamar dalam cahaya yang temaram. Apa yang dikatakan kakaknya tadi menjadi pikirannya sekarang. Persiapan lamaran yang telah matang. Gila, bagaimana hal itu bisa terjadi sementara dirinya tidak pernah diajak membahasnya. Apa dipikir dia masih segila itu pada Bela?Dul
Sabda menoleh ketika kaca pintu mobilnya diketuk oleh seseorang. Diturunkannya kaca dan mereka bicara sebentar. Mobil Sabda mengikuti laki-laki tadi bersama seorang rekannya yang jadi agen properti masuk ke kawasan perumahan dan berhenti tepat di sebuah bangunan yang siap huni. Mereka turun dan masuk dalam rumah. Tipe rumah 70 adalah pilihannya, yang merupakan tipe rumah termasuk paling luas untuk ukuran hunian kelas menengah. "Saya akan menyelesaikan transaksi hari Selasa, karena hari Senin saya masih ada meeting." Sabda bicara pada pria bertubuh kerempeng, seorang agen properti.Mereka akhirnya sepakat ketemuan hari Selasa di kantor pemasaran Graha Persada.💦 💦 💦Pukul satu siang Sabda dan Senja sampai di rumah Bu Hanum. Mereka hanya berhenti dua kali untuk sarapan dan istirahat sejenak di rest area. Rumah sangat ramai, beberapa kerabat dan tetangga sibuk rewang di sana. Aroma masakan yang sudah matang menguar dan tercium hingga di ruang depan.Bu Hanum sangat senang melihat S
Senja menahan tawa ketika melihat Sabda kedinginan hingga giginya gemertak. Bibirnya bergetar dan pucat. Padahal ia sudah memakai jaketnya. Senja mengambil selimut dan menangkupkan ke tubuh suaminya. "Dinginnya luar bisa, hampir beku tadi. Kamu bisa tahan, ya?""Aku sudah biasa mandi sebelum subuh, Mas. Dibiasakan gini sama ibu sejak aku masih kecil dulu."Padahal Sabda juga hidup dengan AC setiap hari, hanya saja dia mandi pakai air hangat. Nah ini tadi mandi di bak mandi dengan air yang tertampung di sana sejak semalam. Hingga dinginnya minta ampun."Kamu bisa tahan, ya?""Karena sudah biasa. Sebentar aku buatin teh panas." Senja keluar kamar. Bu Hanum sedang menyiapkan bahan untuk membuat sarapan. Wanita itu tersenyum melihat Senja dengan rambut basahnya sebelum subuh. Dengan cekatan Senja membuat teh panas dan memasak mie instan kuah rasa soto ayam. "Nak Sabda berangkat jam berapa?" tanya Bu Hanum sambil mengeluarkan sayur kangkung dan ayam dari dalam kulkas."Habis Salat Subuh,