Share

Part 4 Sesal

last update Last Updated: 2022-07-11 20:01:58

Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami.

Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.

Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.

Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Mengambil segelas air minum dan menenggaknya habis tanpa sisa.

Hening. Malam yang sepi. Dari kamar Senja juga tak terdengar apa-apa. Sabda lupa kalau kamar utama itu kedap suara. Dulu abangnya yang menempati apartemen ini saat masih pengantin baru. Sekarang mereka telah membeli rumah sendiri.

Cukup lama Sabda termenung di ruang makan. Kemudian kembali masuk kamar dan tidur lelap seperti orang pingsan. Bangun-bangun sudah jam enam pagi. Pria itu melompat dari ranjang masuk kamar mandi untuk berwudhu karena ingat belum Salat Subuh.

Selesai Salat Sabda keluar kamar. Sepi. Namun di atas meja makan sudah ada ayam rica-rica yang di panaskan dan dua potong roti bolu. Pasti Senja yang sudah menyiapkan. Tapi ke mana gadis itu?

Sabda mengambil secarik kertas yang ada di atas meja.

[Maaf Mas, aku pulang lebih dulu naik taksi. Aku harus kerja hari ini. Maaf, aku sudah ngrepotin. Senja.]

Diletakkannya kertas begitu saja. Apakah Senja termasuk istri durhaka? Karena pergi meninggalkan suami tanpa membangunkannya? Sabda menggeleng, menepis angan di otak yang mulai ngelantur.

Perutnya terasa lapar. Namun di apartemennya tidak ada bahan makanan yang bisa di masak. Ada mie instan saja, tapi dia paling malas yang namanya memasak. Biasanya dia hanya sedia roti dan beberapa minuman kaleng. Karena apartemen itu hanya persinggahan untuk tidur saja, makanya tak ada bahan makanan di sana.

Apakah dia harus sarapan kue bolu berlaukkan rica-rica ayam? Mungkin bisa di coba. Meski rasanya lain, tapi Sabda tetap mengunyah hingga makanan di meja tandas. Pria itu berdiri dan harus segera mandi. Dia bisa telat ke kantor kalau tidak bertindak cepat. Kemarin dia sudah mengambil cuti dadakan, hari ini dia harus masuk kerja.

💦 💦 💦

"Ja, gimana sukses nggak malam pertamamu?" tanya Nina sambil mengejar langkah Senja memasuki kantor mereka.

"Hish, ngomong apaan, sih."

Nina terkekeh geli. Tawa yang membuat beberapa staf di sana memandang heran. Untungnya di antara semua rekan hanya Nina saja yang tahu Senja akan tunangan dengan Arga. Seandainya Senja termasuk mulut ember, mungkin hari ini dia tidak punya muka berhadapan dengan rekan kantor. Walaupun pertunangan tetap terjadi meski dengan orang lain. Bahkan tidak hanya tunangan, tapi pernikahan.

"Maaf, aku bercanda," ralat Nina.

"Jangan bercanda seperti ini. Nanti malah di curigai rekan-rekan." Senja berkata lirih. Nina menoleh, melihat wajah temannya yang tersemat luka.

"Iya, sorry. Kamu nggak usah sedih lagi, life must go on. Semangat dong!"

Senja menanggapi ucapan sahabatnya dengan senyuman. Lantas keduanya terpisah dan duduk di tempat masing-masing. Mereka bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan konstruksi.

"Senja, selesaikan proposal yang Mbak minta sebelum kamu ambil cuti kemarin. Siang nanti mau di tanda tangani Pak Bos." Mbak Yuni, yang menjadi atasannya menghampiri sambil membawa map kosong dan meletakkan di meja Senja.

"Iya, Mbak. Akan kuselesaikan. Tinggal membenahi, kok."

"Oke. Mbak tunggu, ya."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Dengan cekatan dia menyalakan komputer di depannya. Membuka file dan mulai melanjutkan konsep proposal yang telah di ketik hampir separuh.

Konsentrasinya buyar ketika ponsel di saku tasnya kembali bergetar. Di ambilnya benda pipih itu. Ada pesan masuk dari Sabda.

[Makasih sarapan spesialnya. Baru kali ini aku makan bolu berlaukkan ayam rica-rica.] Ada emot senyum berjajar di akhir pesan dari Sabda. Senja juga ikut tersenyum. Kemudian mengetik balasan.

[Maaf, Mas. Nggak ada yang bisa ku masak. Jadi itu saja yang ada.] Send.

Senja kembali menatap layar komputer dan melanjutkan ketikan. Jarak beberapa menit ponsel kembali bergetar, Sabda membalas lagi pesannya. [Thanks, enak kok.] Emot melet.

Di kirimnya emot tanda senyum dan tangan bertangkup sebagai balasan. Setelah itu ponsel sepi. Senja kembali pada pekerjaan.

Senja mengenal Sabda dari Arga. Mereka pernah ketemuan dan makan bersama beberapa kali. Tapi sebenarnya Senja tak begitu akrab dengan Sabda. Hanya sekedar kenal. Pria itu juga tidak banyak bicara setiap tanpa sengaja bertemu. Bahkan dia juga tidak tahu banyak tentang pria berpostur tinggi tegap dengan bahu kokoh. Usia Arga dan Sabda hanya terpaut beberapa bulan saja.

Pria itu tahu nomer ponsel Senja ketika dia harus mengabari saat Arga kecelakaan setahun yang lalu.

Bunyi pesan masuk membuat Senja kembali meraih benda pipih itu. Di pikirnya pesan dari Sabda, rupanya bukan. Itu pesan dari Arga.

[Aku akan menjemputmu sepulang kerja nanti.]

Senja langsung membalas. [Untuk apa? Hubungan kita telah selesai.]

[Please, ada yang ingin kujelaskan padamu. Please, Senja.]

[Aku nggak bisa. Hubungan kita sudah usai, Mas.]

[Tolong, ada yang ingin kujelaskan. Pertunangan itu bukan mauku. Please, kamu harus tau kalau aku nggak pernah berniat mengkhianatimu.]

Apa maksudnya? Tak berniat mengkhianati tapi mau-mau saja bertunangan dengan perempuan lain. Demi apa? Harusnya Arga bisa menolak kalau memang berniat serius dengan dirinya. Tapi pertunangan itu tetap berlangsung. Apa acara yang semewah itu hanya main-main? Itu bukan lelucon.

[Tolong Senja, aku ingin bertemu denganmu.] Satu lagi pesan masuk.

Tak lagi membalas, Senja meletakkan begitu saja ponsel di meja. Hatinya kembali terasa perih. Ingat peristiwa Minggu pagi yang menghancurkan harapan dan perasaan. Pria yang dicintainya malah bertunangan dengan perempuan lain sehari menjelang acara lamaran yang sudah matang di rencanakan.

Selama ini hubungan mereka baik-baik saja dan tidak ada gelagat yang mencurigakan dalam sikap Arga saat bersamanya. Mereka di kenal pasangan yang romantis dan membuat iri rekan kerja Senja, saat seringnya melihat gadis itu di jemput mobil SUV keluaran terbaru dan pria tampan di balik kemudi.

Namun bisa-bisanya dikhianati setelah tiga tahun menjalin asmara. Andai ... andai saja Arga benar hanya di paksa karena saudara perempuannya tidak menyukai Senja, bukan berarti Senja akan mentolerir dan kembali pada Arga. Tidak mungkin dia akan jadi orang ketiga dalam hubungan pertunangan Arga dengan perempuan itu. Perempuan yang namanya tertulis di backdrop bernuansa merah jambu. Citra. Nama itu yang terbaca oleh Senja.

Sebelumnya Senja juga belum pernah melihat wajah gadis yang bertunangan dengan Arga. Cantik. Ya, sekilas gadis itu sangat cantik. Sepertinya juga berasal dari keluarga berada. Melihat dengan banyaknya mobil mewah yang terparkir di halaman vila.

Senja menyelesaikan proposal sebelum jam istirahat makan siang. Mbak Yuni, atasannya langsung mengecek proposal itu dan membawanya pada big bos.

Saat sedang makan siang di sebuah kafe sebelah kantor, Senja menceritakan pesan dari Arga pada Nina.

"Kamu mau diajak ketemuan sama Arga?" tanya Nina sambil menyuap es cendol.

"Nggak. Bagiku semua telah selesai." Senja menunjukkan obrolannya dengan Arga di aplikasi pesan. Nina serius membacanya.

"Mungkin ada alasan kenapa dia harus tunangan dengan gadis itu, Ja. Bisa jadi karena terpaksa."

"Terpaksa pun apa aku harus merusak hubungan mereka? Buktinya Arga mau. Ya sudah. Aku anggap semua telah selesai." Nada getir mewarnai kalimat Senja.

"Jangan galau, kan ada Mas Sabda yang sudah jadi suami idaman!" Nina berkata sambil mengerling manjah.

"Ssttt, jangan sembarangan ngomong. Siapa tahu dia juga lagi kebingungan dengan pernikahan tak biasa ini. Mungkin dia punya pacar, gebetan, atau ...."

"Atau apa? Dia tuh masih sendiri," sambar Nina cepat.

Senja menatap sahabatnya. "Dari mana kamu tahu?"

"Orang kalau punya gebetan nggak mungkin bisa setenang itu ngadepin keluargamu. Apalagi di suruh nikah siri demi menghindari perzinaan pun dia hadapi. Kalau dia punya kekasih, tentu nggak akan melakukan itu. Model pria kayak Mas Sabda nggak mungkin mainin hati wanitanya."

Hati Senja tersentuh oleh perasaan yang berbeda. Dalam sekali. Menimbulkan riak sedih, senang, sekaligus merasa beruntung. Beruntung apa? Beruntung jadi istrinya meski dengan pernikahan yang pura-pura? Tapi setidaknya dia dan ibunya terselamatkan dari rasa malu. Kenapa bukan Arga yang berjuang seperti itu untuknya? Kenapa harus Sabda yang tak punya perasaan apapun padanya. Senja mengaduk sisa makanan di piring.

"Ja."

Senja mengangkat wajah memandang sahabatnya.

"Lupakan Arga, bikin Sabda jatuh cinta padamu. Nggak akan susah kok. Pada dasarnya dia sudah rela pura-pura menjadi kekasihmu, berarti dia peduli padamu."

"Mas Sabda hanya kasihan, Nin. Apalagi yang mempermainkan aku kan sepupunya sendiri. Udahlah aku nggak mau mikir yang enggak-enggak. Aku nggak ingin manfaatin kebaikannya. Aku mau fokus bekerja, mau nabung banyak-banyak biar entar jadi sultanah."

Nina terkikik sampai cendol di mulutnya tersembur keluar. Lantas di tutupnya mulut memakai tisu yang di sambarnya dari atas meja.

"Kerja sampai pikun pun kita nggak akan jadi sultanah, Ja. Berapalah gaji pekerja rendahan seperti kita. Kecuali kamu bisa nggaet Mas Sabda. Dia generasi kedua dari pemilik kerajaan bisnis PT Tiger Super Indo yang bisnisnya mengular hingga ke luar negeri."

"Eh, tapi kemarin waktu di tanya sama bapak-bapak tetanggamu itu dia bilang hanya seorang akuntan di perusahaan ekspor impor. Apa itu juga bisnis keluarganya?"

Senja mengangkat bahunya. "Mungkin." Senja tak banyak tahu tentang Sabda. Yang dia tahu hanya Arga yang bekerja ikut keluarganya.

💦 💦 💦

Langit barat merona jingga. Angin musim pancaroba berhembus kencang menerbangkan debu dan dedaunan jalanan. Senja masih duduk menunggu angkot di halte. Sementara Nina sudah pulang lebih dulu. Tempat tinggal keduanya memang berbeda arah.

Dada Senja berdenyut nyeri saat sebuah mobil yang sangat di kenalnya berhenti tepat di hadapannya. Seorang pria berkemeja cokelat turun dan menghampirinya. "Senja," panggil pria itu.

Senja bergeming, dia tidak ingin peduli lagi. Meski tak mudah menghapus nama itu sekaligus segala kenangan tentangnya. Ternyata rindu dan benci itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat di pisahkan.

Arga duduk di bangku besi sebelah Senja. "Semua yang kamu lihat, nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Citra hanya korban perjodohan orang tua. Tapi aku dan Citra sepakat kalau akan berpisah setelah ini. Maafkan aku, Senja. Aku belum sempat memberitahumu saat itu."

Gadis itu memandang mata mantan kekasihnya. Dia kenal Arga, dan dia juga bisa melihat kalau Arga tidak sedang berbohong. Mata itu menunjukkan luka. "Terus aku harus bagaimana? Aku nggak akan menjadi perusak hubungan kalian. Aku nggak mau dengar apa kesepakatan kalian. Bagiku Mas sudah setuju dengan pertunangan itu. Kalau pada akhirnya di rusak, kenapa nggak sekalian di tolak di awal saja. Sebelum terjalin ikatan. Jadi nggak akan banyak hati terluka. Apa Mas nggak memikirkan bagaimana perasaan gadis itu dan keluarga kalian?"

"Percayalah, semua nggak semudah itu, Senja."

Tak ada tanggapan lagi dari Senja. Gadis itu segera berdiri saat dilihat ada angkot yang menuju kosannya. Di lambaikannya tangan agar kendaraan itu berhenti. "Maaf, Mas. Aku pulang dulu."

"Ku antar." Arga berdiri.

"Nggak usah. Makasih." Senja naik angkot yang telah berhenti. Arga hanya sanggup memandang tanpa bisa menghentikan. Dia sadar kalau posisinya salah, tapi tidakkah dalam hati kecil Senja masih ada rasa percaya untuknya? Apakah gadis itu tahu kalau sebenarnya Arga juga tersiksa? Arga juga ingin mendengar cerita dari Senja apa yang terjadi ketika pertunangan mereka gagal. Bagaimana dengan keluarga Senja? Walaupun belum pernah bertemu langsung, tapi Arga sudah sangat sering bicara dengan ibunya Senja melalui telepon. Tiap mereka bertemu dan Senja menghubungi ibunya, di situlah Arga ikut bicara sebagai bentuk perkenalan diri.

Dengan gontai, Arga kembali ke mobilnya.

Dalam perjalanan, Senja mati-matian menahan diri agar tak menangis di dalam kendaraan umum. Angkot yang penuh dengan penumpang. Dia masih bisa melihat Arga mengekori di belakang. Tiap kali angkot menurunkan penumpang, mobil pria itu juga melambat.

Senja tengadah, menghalau embun yang hendak singgah.

💦 💦 💦

"Sabda, kenapa susah sekali di hubungi sejak hari Minggu, sih kamu?" tanya wanita cantik yang mengekori Sabda ketika pria itu baru sampai rumah dan menaiki tangga menuju kamarnya.

"Aku sibuk, Ma. Aku tidur di apartemen," jawab Sabda berhenti sejenak sambil berbalik memandang sang Mama.

"Oh." Bu Airin mengikuti putranya hingga masuk kamar dan duduk di ranjang berseprai biru tua.

"Hari Minggu kami semua menunggumu. Tapi kamu malah datang bersama gadis itu lantas menghilang dan baru pulang sekarang. Apa gadis itu yang bernama Senja? Kekasihnya Arga yang dibilang kampungan oleh Tantemu dan Nindy?"

Sabda yang sudah melepas kemeja duduk di sofa tunggal berhadapan dengan sang mama. Tangan kirinya melempar baju ke dalam keranjang cucian.

"Mama, tak usah ikut menghakimi gadis itu sebagai perempuan murahan. Mama, kan belum kenal siapa Senja. Jadi jangan nilai dia seburuk itu, Ma."

"Itu yang di katakan Tantemu sama Nindy."

"Oke, dan mamaku sayang tak perlu ikut-ikutan," kata Sabda sambil mendekat dan mencium puncak kepala mamanya, lantas meninggalkan wanita itu untuk masuk kamar mandi.

"Mama tunggu kamu di bawah. Kita makan malam sama-sama!" teriak Bu Airin pada putranya. Tak ada sahutan dari dalam karena bunyi shower yang menyala membuat Sabda tak mendengarnya.

Benar saja kalau Sabda memang tak mendengar ajakan mamanya. Makanya habis mandi langsung Salat Isya, setelah itu sibuk dengan ponselnya. Dia jadi kepikiran tentang Senja.

[Kamu baik-baik saja, 'kan?] Satu pesan di kirim Sabda untuk gadis itu.

[Senja.] Tulis Sabda lagi saat tak ada balasan juga.

[Kamu tak apa-apa, 'kan?]

Tak ada balasan. Terakhir Senja online sebelum Magrib tadi. Sabda masih termenung menunggu, dia khawatir kalau Senja kenapa-napa. Sebab siang tadi beberapa kali Sabda di telepon Arga yang menanyakan mengenai Senja. Karena terlalu sibuk, Sabda tak menanggapi.

Sabda menoleh ketika pintu kamar terkuak. Muncul Bumi di sana. "Mas, ditunggu di bawah tuh!"

"Bentar," jawab Sabda sambil menoleh sekilas pada sang adik.

"Ada Mbak Bela," kata Bumi lagi lantas menutup pintu.

Next ....

Selamat membaca 😍

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
kusuma 77
bela...siapa dia
goodnovel comment avatar
Aisha Arkana
kok ngulang lagi Thor ceritanya, sama kaya bab saru
goodnovel comment avatar
Ati Husni
mbak bela siapanya sabda?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 158

    Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 157 Senja yang Indah

    Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 156

    Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 155 Pregnancy Test

    Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 154

    Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 153 Kejutan Buat Sabda

    Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status