Di sebuah kamar hotel Sudarmala Resort, Labuan Bajo, Bu Airin duduk di balkon kamar bersama Pak Prabu. Wanita itu berwajah muram sambil memandang kerlip lampu di kejauhan. Beliau merasa dipermalukan oleh putranya sendiri di depan keluarga Pak Pras. Andai tidak ada perempuan itu, tentu pertunangan Sabda dan Bela sudah berlangsung hari ini dan pernikahan akan di rencanakan dua bulan kemudian. Sebelum pernikahan Arga dan Citra."Mama, jangan terlalu keras sama Sabda. Sampai nggak boleh muncul pula di tengah keluarga kita. Apa ini nggak berlebihan." Pak Prabu menegur istrinya dengan nada pelan. "Semakin keras Mama menentang Sabda, Dia pun bisa lebih keras kepala lagi. Mama tahu bagaimana anak kita, kan? Selagi dia merasa benar, jangan harap kita bisa membelokkan pikirannya.""Coba Papa kasih ancaman padanya. Di berhentikan dari pekerjaan misalnya." Bu Airin tetap ngotot. Membuat Pak Prabu menggeleng pelan."Mama, pikir hal ini bikin dia takut? Jika dia berhenti kerja dari perusahaan kel
Senyum haru terukir di bibir perempuan itu saat memandang bunga mawar yang tercium wanginya. Ini untuk pertama kalinya Sabda memberikan bunga padanya. Dulu Arga sering sekali mengirimkan buket bunga ke kosannya. Bahkan di pagi terakhir sebelum kejadian di vila itu Arga masih mengirimkan bunga lewat kurir florist langganannya."Kenapa diam? Kamu nggak suka bunga mawar?" tanya Sabda menyelidik. Membuyarkan lamunan Senja."Maaf, aku hanya terkejut saja, Mas. Aku suka kok. Makasih, ya.""Oke, Sayang."Gerimis di luar makin lebat. Di kejauhan kabut tebal membatasi pandangan. Tahun baru yang syahdu. Seorang pramusaji datang membawakan pesanan. Aroma nasi goreng spesial membuat keduanya tak sabar untuk segera menyantapnya. "Kita akan melanjutkan perjalanan setelah hujan reda. Teman-teman masih asyik tiduran ini." Sabda menyodorkan ponselnya pada Senja. Dia menunjukkan pesan yang dikirim rekannya untuk dibaca sang istri.💦 💦 💦Tahun baru kelabu. Arga memandang rintik hujan dari balkon ka
Selesai makan, Sabda pamit ke apotek membeli beberapa obat untuk persiapan dan minyak kayu putih. Senja di rumah beres-beres bekas makan tadi. Sambil menunggu Sabda kembali, Senja browsing di internet mengenai tanda-tanda perempuan yang sedang hamil muda. Dan semua tanda-tanda itu ada padanya saat ini.Perasaannya campur aduk. Sampai bingung perasannya kini sedang bagaimana. Merasa surprise, terharu, bingung, dan ia tidak tahu seperti apa harus menyambut kehidupan baru di rahimnya. Besok dia akan menyempatkan diri membeli alat tes kehamilan di apotek. Sebenarnya bisa saja dia menelepon Sabda untuk membelikannya sekarang, tapi ia memutuskan untuk melakukan tes diam-diam saja dulu. Setelah tahu hasilnya, baru memberitahu sang suami.Beberapa menit kemudian Sabda telah kembali. "Ini di minum dulu obatnya, habis itu kamu lekas istirahat." Sabda memberikan satu sachet obat masuk angin."Aku minum di belakang ya, Mas.""Kenapa harus di belakang? Nanti kamu buang pula. Minum saja di sini." S
Siang itu, Pak Tedjo mengajak cucu-cucunya untuk makan siang bersama. Pria yang masih sangat sehat di usia senjanya telah memesan satu ruangan di sebuah restoran ternama di kota mereka. Lelaki dengan sembilan cucu itu tampak bahagia melihat beberapa cucunya bisa datang. Walaupun Sabda datang terlambat."Maafkan Sabda, Kek. Telat sampai," ucap Sabda sambil mencium tangan Kakek dan Neneknya. Kemudian menyapa sepupunya yang lain sebelum duduk. Di sana ada Chandra, Arga, Nindi, Bumi, dan Sheila. Ketiga cucunya yang lain tidak bisa ikut karena sedang sekolah dan kuliah."Nggak apa-apa, yang penting kamu bisa datang. Ayo, kita mulai makan siangnya. Kalian pasti sudah lapar, kita makan sambil berbincang."Seorang pramusaji restoran meladeni mereka makan. Biasanya kalau ada pertemuan begini, Sabda dan Arga akan duduk berdekatan dan ngobrol bareng. Tapi sekarang, keduanya duduk berseberangan tidak saling menatap."Sabda, kata Mamamu pertunanganmu dengan Bela di tunda? Mau ditunda sampai kapan
Bu Tedjo menyentuh bahu cucunya. Wanita yang memakai kaftan warna putih bercorak bunga-bunga dengan khimar bersulam benang emas memandang penuh tanya pada sang cucu dan putranya. Tanpa disadari kedua laki-laki itu, Bu Tedjo mendengar pembicaraan mereka."Siapa perempuan hamil yang kalian bicarakan tadi?" "Temanku, Nek." Teman tidur, batin Sabda. Di sana bukan tempat yang tepat untuk menceritakan pernikahannya. Sabda akan mengajak Senja bertemu mereka nanti."Oh, makanya kamu lekaslah menikah biar segera punya anak. Arga sebentar lagi juga menikah."Sabda tersenyum kemudian mengangguk. Dibimbingnya sang nenek untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Melihat ketenangan seluruh kerabatnya, tampak mereka belum tahu mengenai pernikahan diam-diamnya. Ini berarti Arga, Bela, dan keluarganya tidak menceritakan hal ini pada yang lain. Buktinya mereka masih diam.Baguslah mereka mau menyimpan sendiri rahasia ini. Meski ini pun demi kepentingan pribadi masing-masing. Arga diam karena tidak ingin
Waktu terus bergulir, hari berganti hari, berganti minggu dan kini genap lagi sebulan. Kehamilan Senja berusia sepuluh minggu. Pagi itu dia mematut diri di depan cermin. Melihat tubuhnya yang telah memakai baju kerja dari beberapa sisi. Baju kerjanya telah sempit. Jika dilihat dengan cermat, perutnya tampak kentara dan pinggangnya terlihat penuh."Kenapa?" tanya Sabda memeluknya dari belakang dan mereka saling pandang di depan cermin."Bajuku kekecilan, Mas. Harusnya aku sudah pakai baju hamil, atau pakaian yang lebih longgar.""Kan kemarin sudah aku tawari beli baju baru. Sayang, bilang nggak usah. Daripada nanti jadi pusat perhatian. Apa yang mesti ditakutkan, kamu hamil ada suaminya. Misalnya pihak perusahaan nggak terima dan kamu harus resign, itu lebih baik kan? Kamu bisa fokus dengan calon anak kita."Senja membalikkan tubuhnya. Tengadah memandang Sabda. "Aku masih ingin bekerja. Hari ini aku akan bilang minta cuti minggu depan, dua hari untuk Senin dan Selasa.""Ya. Kita akan
Ketika sudah di dalam angkot, Senja baru menyadari kalau ponselnya berdering. Sabda yang meneleponnya."Ya, Mas. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kamu di mana sekarang? Apa masih belanja?""Enggak. Aku sudah di perjalanan pulang, sebentar lagi sampai rumah. Maaf tadi nggak sempat jawab teleponnya. Mas, sudah di rumah?""Belum, ini masih di kantor. Ya sudah, kita ketemu di rumah nanti.""Hu um.'"Sampai rumah lekas istirahat."Iya.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Jika Sabda sepeduli ini, kenapa dia harus bimbang dengan ucapan gadis tadi. Perkataan seorang mantan yang bisa saja menjadi racun baginya. Memanglah jelas antara Sabda dan Bela pernah saling mencintai, dengan dirinya masih menjadi teka-teki. Bukankah itu hanya kisah lama? Tapi banyak sekali kisah mantan yang menjadi momok dan duri dalam sebuah rumah tangga.Wajarlah jika Sabda belum bisa mencintainya, sebesar pria itu mencintai Bela, mungkin. Karena hubungan mereka diawali oleh hal yang terpaksa. Apa yang harus dit
Sabda tersenyum. "Ini bukan masalah berkenan atau tidak, bukan masalah puas atau tidak puas. Aku hanya ingin ada masalah apapun kita harus berkomunikasi. Itu saja. Selain itu aku paham, kita menikah di awali dengan peristiwa yang tak biasa. Tapi apapun itu kita adalah suami istri. Kita bangun rumah tangga kita sebaik mungkin. Mari kita sama-sama melupakan masa lalu.""Ya, terima kasih, Mas."Sabda mengambil posisi miring. Memandang mata yang kini juga menatapnya. "Bahkan untuk urusan ranjang, aku lebih suka kalau kamu terbuka. Tak salah kok istri minta duluan, banyak pahalanya malah."Ketegangan akhibat dari ketegasan Sabda saat berbicara kini tiba-tiba saja mencair, ketika kalimat keramat itu diucapkan. Senja tersenyum malu bersamaan dengan pipinya yang merona merah jambu. Sabda menyunggingkan senyum dan tangannya menahan wajah itu agar tidak berpaling dan menghindarinya karena tersipu.Alhasil Senja hanya memandanginya. Berbicara pakai bahasa mata. Jika tadi ia memikirkan Sabda yang