Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.
Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.
Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya.
"A—apa yang kamu lakuin?"
"Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya."
"Aku bisa ngiket sendir
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Hiasan bunga mawar memenuhi kamar pengantin itu. Kelopaknya pun bertaburan di tempat tidur. Warna merah muda mendominasi, mulai dari dinding, gorden, selimut, dan berbagai benda lainnya. Sementara di depan meja rias, sang calon pengantin tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Terukir jelas senyuman kebahagiaan di wajahnya. Di belakangnya duduk kedua sahabat yang mendampingi saat-saat mendebarkan itu."Gue nggak nyangka, akhirnya hari ini datang juga," ucap Vanella Rose Karina sembari memegang tangan Ranti dan Tara sahabatnya yang sedari tadi berada di pundaknya.Hari itu memang adalah hari yang dinantikan Vanella sejak lama, di mana dia akan menikah dengan Malvin Prawira, sahabatnya ketika SMA. Perjuangan mereka tidaklah mudah. Malvin yang telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama telah berkali-kali ditolaknya. Bahkan dulu dia sangat membenci Malvin karena baginya Malvin hanyalah seorang siswa yang hobi bolos dan dikenal bobrok.
Indahnya bunga-bunga di taman yang mengelilingi bangku tampak seperti gambaran suasana hati kedua sejoli yang tengah meneguk minuman sembari saling bertatapan itu. Mereka tertawa setelahnya."Gila lo. Sebotol langsung abis?" ucap Vanella."Iya lah. Namanya juga capek abis jogging. Lo apaan minum cuma segitu. Pantes badan lo kurus dan lembek kaya agar-agar," ledek Malvin.Vanella memukul lengan Malvin. "Kata siapa gue lembek? Gimana pukulan gue? Sakit, kan?"Malvin mengusap lengannya sambil meringis. "Sakit lah. Gak berubah ya dari dulu masih aja galak. Jadi ngeri mau nikah sama lo. Apa gak jadi aja, ya."Gadis berambut cokelat panjang itu menarik telinga Malvin dengan kuat sembari kembali memukuli lengan Malvin. "Bisa gak sih gak usah ngomong aneh-aneh? Kan gue udah bilang dijaga omongannya. Kan omongan itu doa. Pokoknya kalau terjadi apa-apa lo yang salah."
Kemewahan terlihat jelas di rumah besar berwarna putih itu. Rumah dengan tiga lantai yang belum lama selesai dibangun. Itulah rumah yang disiapkan Malvin untuk Vanella.Malam itu Vanella memijakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Namun, bukan dengan Malvin, melainkan dengan Marvino.Beberapa asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka dengan sapaan dan senyuman ramah. Mereka bergegas membawakan beberapa koper barang-barang yang dibawa sepasang pengantin baru itu.Bola mata Vanella berputar mengamati setiap detail rumah itu sambil dia terus memeluk boneka beruang pemberian Malvin. Kini kakinya menuntunnya ke lantai dua. Dia membuka pintu salah satu kamar. Dia pun dibuat tercengang dengan warna merah muda yang mendominasi kamar itu. Hampir seratus persen benda di kamar itu berwarna merah muda.Vino yang berdiri di belakang Vanella dibuat heran. Tatapannya menunjukkan kegelian. Bagi dirinya ten
Para asisten rumah tangga saling berbisik ketika Vanella dan Vino menuruni tangga dengan tangan yang bertaut erat. Mereka tersenyum sendiri melihatnya. Apalagi kali ini sepasang pengantin baru itu memperlihatkan senyum mereka seolah-olah kebahagiaan itu memang benar adanya.Saat hendak makan, keromantisan itu kembali terlihat. Vanella mengambilkan nasi dan lauk ke piring Vino. Mengetahui para ART itu memperhatikannya, Vino pun menyuapi Vanella. Awalnya Vanella diam sejenak, lalu perlahan dia membuka mulutnya."Bener-bener pengantin baru yang romantis, ya," ujar Bi Dara, salah satu ART di ruma Vanella."Iya. Cocok banget. Ganteng dan cantik," jawab Bi Sasti.Bisikan itu terdengar di telinga Vanella dan Vino. Hal itu membuat Vino menyeringai puas."Aku ada perlu. Jadi keluar bentar. Kalau papa dateng, tolong bilang suruh nunggu, ya," ujar Vino setelah menghabiskan makanan di
Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutan
Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan