<span;>"Apa kegiatanmu hari ini, Van?" tanya Bu Elsa pada Ivan.
<span;>Ketika itu mereka sedang makan siang bersama. Pak Arifin, Bu Elsa, Fiona, Ivan dan Fara duduk mengitari meja makan yang cukup besar. sebagian hidangan makan siang itu Fara yang memasaknya tadi. Memang disetiap hari Minggu Fara selalu menyempatkan diri untuk memasak. Dia ingin agar Ivan bisa menikmati hasil masakannya meskipun hanya seminggu sekali saja.<span;>Ivan yang mendengar pertanyaan ibunya itu pun langsung mengangkat wajahnya dan menatap ibunya dengan sedikit terkejut.<span;>"Huh? Kegiatan saya? Memangnya ada apa, ma?"<span;>"Tidak ada apa-apa. Hanya saja mama perhatikan selama ini kamu tdak pernah mengajak Fara jalan-jalan. Ini kan hari MInggu, kalau kamu tdak ada kegiatan, kenapa tidak kamu ajak Fara jalan-jalan, Van?" Usul dari Bu Elsa mengejutkan Ivan, hingga putranya itu terkesiap menatapnya.<span;>"Jal<span;>Mereka memasuki gedung mal yang siang itu cukup ramai oleh pengunjung. Tapi mereka hanya berputar-putar tak ada tujuan. Ivan asyik berjalan sendirian di depan, sementara Fara mengikutinya dari belakang. Seperti orang bingung, gerutu Fara dalam hati. <span;>"Mas," panggil Fara sambil menjejerkan langkahnya dengan Ivan. <span;>"Ya." sahut Ivan menoleh sekilas. <span;>"Ngapain kita cuma berputar-putar seperti ini dari tadi? Aku lelah. Kakiku sakit," rengek Fara. <span;>Ivan pun menghentikan langkahnya dan menatap Fara. "Kita disuruh mama jalan-jalan, kan?" sahutnya dengan ekspresi wajah yang menyebalkan. <span;>"Tapi tidak harus berputar-putar seperti ini kan, mas?" ucap Fara kesal. <span;>"Jadi kamu maunya gimana? Kamu mau belanja? Ya sudah, kamu beli saja apa yang kamu mau. Kamu boleh belanja sebanyak-banyaknya, asal jangan ngambek dan merengek seperti ini," kata I
<span;>"Ada apa, Lusy? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Ivan sambil terus melangkah menjauh dari tolet. <span;>"Aku cemburu," sahut Lusy di seberang telepon. <span;>"Jangan begitu dong, sayang. Bagaimanapun juga Fara itu adalah istriku. Lagi pula selama ini aku kan lebih banyak menyisihkan waktuku untukmu," bujuk Ivan lembut. <span;>"Tapi aku selalu merasa cemburu tiap kali mas sedang bersama Fara." Terdengar suara Lusy yang seperti merajuk. <span;>"Tidak usah cemburu. Kamu tetap kesayanganku." Ivan merayu hingga di seberang sana terdengar Lusy tertawa merdu. <span;>"Betulkah aku kesayangan Mas Ivan?" Lusy memancing sebuah rayuan. <span;>"Ya, tentu saja. Kalau bukan kesayangan, mana mungkin aku lebih memilih melewati malam bersamamu dari pada bersama Fara?" <span;>Lusy pun kembali tertawa merdu. Ivan membayangkan betapa cantiknya wajah Lusy jika s
<span;>"Fara, tolong buatkan aku kopi dan bawa kemari. Pagi ini aku hanya ingin minum kopi," kata Ivan sambil duduk di sofa kesayangannya yang ada di dekat jendela kamar. <span;>"Tidak sarapan?" tanya Fara. <span;>Ivan menggeleng. "Malas. Nanti saja di kantor," jawabnya. <span;>Fara pun bergegas ke dapur dan membuatkan Ivan secangkir kopi. Meski Ivan masih tetap bersikap dingin, tapi Fara selalu berusaha untuk melayaninya dengan baik. Bukan bermaksud menghiba cinta dari suaminya itu. Tapi Fara hanya ingin melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. <span;>Tak lama Fara kembali. Dilihatnya Ivan sedang duduk melamun sambil membuang pandangannya keluar jendela. Entah apa yang dipikirkannya. Rasa-rasanya selama ini Fara tidak pernah melihat Ivan melamun seperti itu. Biasanya, jika Ivan duduk di sana, dia pasti akan asyik dengan ponselnya. Tapi pagi ini terlihat lain. Ivan tampak merenung seolah sedang memiki
<span;>Fara duduk melamun di teras rumah orangtuanya. Rasa jenuh mulai menghinggapi. Ingin jalan keluar rumah, tapi dia teringat larangan dari suaminya. Tidak boleh keluyuran, pesannya. Tapi kalau cuma berkutat di rumah seharian setiap hari seperti ini, Fara benar-benar merasa bosan. Rasanya waktu yang terlewati begitu kosong. Apa lagi tak ada yang dinantinya di sore hari. Dari pagi hingga malam Fara merasa seorang diri. Seluruh waktu yang berjalan benar-benar hanya untuk dirinya sendiri dan harus dia lewati dalam sepi. Hanya di rumah, tak boleh keluyuran sama sekali. Huh, sungguh menyebalkan! <span;>Jika tak boleh keluar rumah, mungkin lebih baik Riska saja yang ku suruh datang kemari untuk menemani, pikir Fara akhirnya. Semoga saja Riska ada waktu. Sebab sahabatnya itu seringkali disibukkan dengan urusan ibu rumah tangga. Maklumlah, dia punya dua orang anak yang masih kecil-kecil. <span;>Fara pun menghubungi nomor Riska. Segera terdengar s
<span;>Pagi itu Fara kembali ke rumah mertuanya. Seperti rencananya, dia ingin menelepon Ivan dan memintanya untuk pulang. Fara ingin tahu apa jawaban dari suaminya nanti. Ingin tetap menghabiskan akhir minggunya di Bandung, atau mau mengikuti keinginannya untuk segera pulang? <span;>Ketika Fara menelepon, ternyata nomor Ivan tidak aktif. Fara pun mencoba lagi. Tapi masih tetap tak terhubung. Beberapakali mencoba, tetap seperti itu hingga perasaan Fara pun menjadi gundah. Berbagai macam pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Kenapa harus dimatikan seperti ini? Bukankah sebelum Ivan berangkat Fara telah berpesan supaya ponsel suaminya itu tetap aktif? <span;>Kenapa hp-mu tidak aktif, mas? Apa kamu sengaja menghindariku? Apa mungkin kamu sibuk mengurus pekerjaan di Sabtu pagi seperti ini hingga hp-mu di non aktifkan? Ah, rasanya tidak. Entah mengapa hati kecilku berkata, kamu tak ingin aku mengganggumu. <span;>Fara menunggu.
<span;>Matahari baru saja tenggelam ketika Ivan sampai di rumah. Dia pun langsung bergegas menuju kamarnya. Kegagalannya untuk menikmati liburan bersama Lusy membuatnya malas berbasa-basi dengan kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk santai di ruang tengah. Ivan tahu ibunya pasti akan memberikannya pertanyaan sehubungan dengan kepergiannya keluar kota, dan sungguh Ivan enggan untuk menjawabnya. Sebab alasan keluar kota untuk satu urusan pekerjaan hanyalah kebohongan yang dikarangnya saja. Jadi Ivan enggan untuk memperpanjang kebohongannya itu di depan kedua orangtuanya. <span;>Sambutan tak hangat diberikan Fara ketika Ivan masuk. Wajah cemberut langsung diperlihatkannya begitu Ivan melangkah memasuki kamar. Dia kesal karena Ivan baru pulang saat hari menjelang malam. Padahal waktu yang ditempuh dari Bandung paling hanya beberapa jam saja. Tidak perlu menghabiskan waktu seharian seperti ini. Apa lagi setelah percakapan di telepon tadi pagi, hp Ivan kemba
Ivan membuka pintu. Dibuatnya sedikit celah dan ditutupi oleh badannya hingga ibunya tak bisa melihat ke dalam kamar. Sikapnya dibuat setenang mungkin agar ibunya tak curiga kalau sedang ada pertengkaran antara dia dan Fara. "Ada apa, Van?" tanya ibunya dengan wajah cemas. "Tidak ada apa-apa, ma. Memangnya ada apa?" Ivan balas bertanya dengan wajah polos. Bu Elsa, ibunya pun menatapnya dengan pandangan menyelidik. Sangat jelas terlihat jika dia tidak percaya pada pengakuan putranya yang mengatakan tidak ada apa-apa. Karena Bu Elsa yakin sekali kalau tadi dia mendengar suara Fara yang menjerit marah. "Mana Fara?" tanya Bu Elsa dengan wajah serius. "Fara..., ada, ma. Mama ada perlu dengan Fara?" jawab Ivan sedikit gugup. "Apa dia baik-baik saja? Tadi mama dengar Fara menjerit marah," kata Bu Elsa hingga Ivan semakin gugup. Dan rupanya Bu Elsa bisa melihat kegugupan putranya itu dengan jelas. Pandangan matanya kembali penuh se
Fara terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa sakit. Dia mengeluh pelan ketika cahaya lampu kamar yang masuk ke matanya membuat kepalanya terasa semakin pusing. Dengan segera Fara pun kembali memejamkan matanya. Dan dengan satu tangan dia memijat perlahan kepalanya yang terus berdenyut sakit. "Sudah bangun?" Terdengar suara Ivan bertanya. Fara tak menyahut. Dia diam sambil terus memijat kepalanya. "Kepalamu masih sakit?" tanya Ivan lagi. "Ya." Fara menyahut dengan suara yang pelan. "Kalau begitu tidur saja lagi. Aku sudah minta bibik supaya mengantarkan sarapanmu kemari. Jadi kamu tidak perlu turun ke bawah." "Baik sekali," sahut Fara sedikit sinis. Ivan yang sedang merapikan kemejanya di depan cermin itu pun menoleh pada Fara. "Apa aku pernah jahat padamu?" tanyanya. "Apakah berkhianat itu bukan satu perbuatan yang jahat?" Fara balik bertanya. "Jangan memulai lagi, Fara. Atau aku akan b