"Selamat malam, Fara."
Fara terpaku menatap Gilang yang sedang berdiri sambil tersenyum manis di hadapannya. "Fara?" ucapnya bingung. Sebab baru kali ini dia mendengar Gilang memanggil namanya seperti itu."Kenapa? Apa tidak boleh aku memanggilmu seperti itu?" tanya Gilang."Oh, tidak apa. Hanya saja terdengar sedikit tidak biasa," jawab Fara masih dengan perasaan bingung."Kalau begitu aku harus sering memanggil namamu biar kamu terbiasa mendengarnya." Gilang kembali memperlihatkan senyum manisnya.Fara pun tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa. Dia merasa sikap Gilang agak aneh malam ini. Tak hanya memanggilnya hanya dengan sebutan Fara saja, tapi pemuda itu pun kini sudah mulai beraku-aku padanya. Tidak lagi memakai bahasa 'saya' saat bicara dengan Fara seperti biasanya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya, pikir Fara. Tapi apa?"Kamu belum kembali ke Bogor?" tanya Fara kemudian."Sudah, semalam. Tap"Masuk!" perintah Ivan dengan nada tegas. Fara tercekat. Untuk beberapa detik lamanya dia berdiri terpaku di tempatnya. Sorot mata Ivan yang tajam membuat lututnya terasa lemas. Apa lagi wajah Ivan tampak begitu garang diliputi emosi. Rasanya baru kali ini Fara melihat Ivan semarah itu menatapnya. "Ada apa, mas? Kenapa mas marah seperti itu?" tanya Fara setelah hilang rasa terkejutnya. "Bagaimana aku tidak marah jika aku datang kemari dan mendapati istriku sedang duduk berduaan dengan laki-laki lain?!" jawab Ivan segera. Fara pun kembali tercekat. Dia menatap Ivan dengan wajah terkejut. "Apa yang mas pikirkan tentang aku dan Gilang?" "Menurutmu apa?! Pantaskah seorang perempuan yang bersuami duduk berduaan dengan laki-laki lain? Sekarang cepat masuk ke dalam! Aku ingin bicara!" "Bicara atau marah-marah?" "Aku suamimu! Aku berhak untuk bicara, termasuk juga untuk marah-marah padamu!" geram Ivan kesal. Far
"Pertengkaran macam apa itu?" tanya Riska ketika Fara selesai bercerita. "Entahlah. Aku bingung dengan sikap Mas Ivan. Dia begitu yakin kalau aku tidak akan bisa pergi darinya." "Mungkin dia melihat kalau kamu sangat mencintai dia selama ini. Itulah yang membuatnya yakin kalau kamu tidak akan pergi meninggalkan dia, Far. Bahkan setelah dia berselingkuh dengan Lusy." "Aku memang mencintai dia." Fara jujur mengakui perasaannya. "Bahkan sampai detik ini, setelah semua perbuatannya itu?" Riska tampak sedikit terkejut. Fara menggeleng pelan. "Sekarang hatiku mulai membeku. Aku lelah. Jika pun aku masih tetap melayaninya sebagai seorang suami, itu hanya sebatas kewajiban saja. Karena bagaimanapun aku masih tetap istrinya." "Lalu bagaimana dengan Gilang?" "Maksudmu?" "Dia sudah menyatakan perasaannya padamu, kan? Bagaimana menurutmu?" "Entahlah." Fara tampak ragu. "Bagaimana perasaanmu padan
Fara kembali pulang dan disambut dengan pelukkan hangat dari ibu mertuanya. Tampak sekali jika perempuan paruh baya itu senang dengan kepulangan Fara ke rumah itu. "Bagaimana kondisi bapakmu, Fara? Mama dan papa baru besok rencananya mau datang ke sana," kata Bu Elsa pada Fara. "Bapak sudah jauh lebih baik, ma," jawab Fara dengan nada lega. "Syukurlah, mama senang mendengarnya. Semoga bapakmu segera pulih seperti semula." "Pasti cepat sembuh karena kemarin Fara yang merawatnya, ma," kata Ivan menimpali. Bu Elsa pun tersenyum. "Ya, itu pasti. Tapi sekarang perawatnya sepertinya butuh istirahat. Kamu terlihat lelah, Fara. Cepatlah ke kamarmu dan istirahat. Nanti mama suruh bibik untuk buatkan jus biar badanmu bisa segera segar kembali." Fara mengangguk dan segera melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya di lantai atas. Sementara Ivan mengekor di belakangnya dengan wajah puas. Sesampainya di kamar, Fara segera duduk
Hari menjelang sore. Matahari mulai turun ke langit sebelah Barat. Saat itu Lusy tiba di depan rumah orangtua Fara. Dia pun berdiri dan memperhatikan suasana rumah yang terlihat sepi. Perlahan Lusy membuka pagar dan berjalan pelan memasuki halaman yang luas. Rumah yang dulu sering didatanginya itu kini terasa asing baginya. Seperti ada aura tak bersahabat di sana. Aneh. Tapi entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Lusy terus memasuki halaman rumah. Berjalan pelan di jalan setapak berbatu menuju ke teras. Lalu langkahnya terhenti tepat di depan teras yang sepi. Pintu rumah itu tertutup rapat. Lusy memperhatikan sesaat sambil menguatkan hatinya. Dia berbisik pada hatinya, mengatakan bahwa apa yang dilakukannya ini adalah benar. Dia harus memperjuangkan cintanya. Dan sepertinya inilah jalan satu-satunya yang harus dia tempuh agar Fara bisa menyingkir dari kehidupan Ivan, kekasih hatinya. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Lusy terkejut. Wajah ibunda Fara menyembul d
Fara mendapat telepon. Ibunya memintanya untuk segera pulang. "Pulanglah, Fara. Kondisi bapakmu memburuk." Fara terkejut. Terakhir dia bertemu, bapaknya dalam keadaan yang baik. Kondisinya sudah sehat meski belum sepenuhnya pulih. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Ibunya mengabari kalau Kondisi bapaknya memburuk? Apakah yang terjadi? "Ada apa, bu? Kenapa bapak bisa kembali memburuk? Bukankah kemarin bapak sudah membaik?" tanya Fara cemas. "Pulanglah dulu. Kita bicara di sini setelah kamu tiba nanti," sahut ibunya. Fara pun bergegas pergi. Pada Ivan dia pamit tanpa menjelaskan Kondisi bapaknya. Dia hanya bilang ada keperluan sebentar. Ivan hendak mengantar tapi Fara menolaknya. Sebab dia masih marah pada Ivan dan tidak mau melibatkan suaminya itu untuk urusan ini. Lagi pula Fara berpikir nanti Ivan pasti akan kembali bersandiwara di depan orangtuanya. Berpura-pura jadi suami yang baik hingga kedua orangtuanya semakin menyayangi dan menga
Mereka berhadapan, saling melempar tatap dengan tajam. Wajah keduanya sama tak bersahabat. Dengan sikap berdiri yang tegap, mereka seakan siap untuk saling menyerang. Riska yang melihat semua itu pun gelisah, berdiri tak tenang di dekat Fara. Sungguh dia takut jika kedua sahabatnya itu tak bisa menahan diri. Tak bicara dengan kata-kata tapi lewat pukulan dan tendangan yang menyakitkan. Jika hal itu sampai terjadi, bagaimana dia bisa memisahkan mereka? Ah, Riska menyesal telah mengantar Fara ke sana. Harusnya dia melarang Fara untuk datang ke rumah Lusy. Apa lagi dia tahu jika Fara sedang dikuasai oleh emosi. Lewat sedikit cerita dari Fara saat di perjalanan tadi, Riska tahu permasalahan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Dan Riska tak menyalahkan jika Fara kini dikuasai oleh emosinya. Sebab Lusy memang sudah sangat keterlaluan. Dia sudah bertindak gila tanpa menggunakan otak! Riska menyentuh pelan pundak Fara, seolah ingin menenangkan. Tapi Fara tak bereak
Seluruh anggota keluarga berkumpul. Mereka membahas tentang perselingkuhan Ivan dan kelangsungan rumah tangga Ivan dan Fara. Sama seperti kedua orangtua Fara yang terkejut saat mendengar tentang perselingkuhan itu, kedua orangtua Ivan dan seluruh anggota keluarga pun tersentak kaget. Bahkan Bu Elsa yang tak kuat menanggung rasa kecewa dan malu pun menangis dalam rapat keluarga itu. Sementara Pak Arifin tak banyak bicara. Dia lebih banyak diam mendengarkan yang lainnya mengeluarkan pendapat. Semua menyarankan perceraian meskipun keputusan terakhir tetap berada di tangan Fara. Tapi kedua orangtua Fara kukuh menyatakan kalau Fara dan Ivan harus berpisah. Tidak ada kata tidak. Keinginan mereka sudah mutlak harus dijalani. Mereka tak ingin putri mereka terus hidup bersama dengan laki-laki yang telah menyakitinya. Menjadi janda, mungkin itu pilihan yang terbaik dari pada harus terus hidup dalam luka. Sementara itu Ivan mendengarkan semua pembicaraan itu dalam dia. Dia tak tahu h
Ivan duduk diam. Wajahnya tampak kusut. Pandangan matanya kosong menunjukkan kalau pikirannya sedang tak berada di tempat dia berada saat ini. Sesekali dia mengusap wajahnya dengan kasar menandakan kalau saat ini hatinya benar-benar sedang gundah. Dia pun terdengar beberapakali mengembuskan napasnya kuat-kuat seolah ingin membuang sedikit beban hatinya yang menggelisahkan. Lama dia seperti itu hingga Lusy yang berada di dekatnya pun jadi merasa kesal melihat semua tingkahnya itu. Perempuan cantik itu pun menerka apa gerangan yang mengganggu pikiran Ivan hingga kekasihnya itu sejak tadi seolah tak berada di dekatnya. Ivan seolah tenggelam dalam pikirannya hingga dia tak mempedulikan sekitar. Tak peduli pada Lusy yang sejak tadi duduk manis di hadapannya dan menunggunya memulai percakapan. Lusy cemberut. Dengan cepat dia bisa menebak apa yang sedang Ivan pikirkan. Rasa cemburu pun segera menguasai hatinya. Ya, Lusy cemburu pada apa yang Ivan pikirkan. Dia cemburu pada seseor