“Kalau aku tahu ini yang mau Papa katakan,” ucap Mas Afnan terdengar dingin dan tegas. “Aku nggak akan pernah mau datang ke sini.”
Aku menoleh ke arahnya. Nafas Mas Afnan masih memburu dengan rahang yang mengeras.
Azzam yang duduk di seberang malah menyeringai kecil. “Kau pikir aku sudi kau datang kembali ke rumah ini?”
Suasana langsung menegang. Mas Afnan menajamkan pandangan dan bersiap menyahut, tapi suara Papa mendadak menggelegar.
“Sudah cukup kalian berdua!”
Seketika ruang makan itu hening. Mas Afnan memalingkan wajahnya, sementara Azzam tampak menahan ejekannya.
Papa melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tenang tapi jelas berat, “Papa mohon, Nak. Ini semua juga demi masa depan kamu.”
Aku bisa merasakan bagaimana hati Mas Afnan memberontak. “Dari awal aku udah bilang kan, kalau aku nggak mau ikut campur soal kantor.”
Dan seperti yang kuduga, Azzam k
“Kalau aku tahu ini yang mau Papa katakan,” ucap Mas Afnan terdengar dingin dan tegas. “Aku nggak akan pernah mau datang ke sini.”Aku menoleh ke arahnya. Nafas Mas Afnan masih memburu dengan rahang yang mengeras.Azzam yang duduk di seberang malah menyeringai kecil. “Kau pikir aku sudi kau datang kembali ke rumah ini?”Suasana langsung menegang. Mas Afnan menajamkan pandangan dan bersiap menyahut, tapi suara Papa mendadak menggelegar.“Sudah cukup kalian berdua!”Seketika ruang makan itu hening. Mas Afnan memalingkan wajahnya, sementara Azzam tampak menahan ejekannya.Papa melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tenang tapi jelas berat, “Papa mohon, Nak. Ini semua juga demi masa depan kamu.”Aku bisa merasakan bagaimana hati Mas Afnan memberontak. “Dari awal aku udah bilang kan, kalau aku nggak mau ikut campur soal kantor.”Dan seperti yang kuduga, Azzam k
“Aku minta maaf, Safa. Maaf ... karena sudah membuat kamu menangis di malam pertama kita. Padahal, dari awal kamu tidak pernah memaksa aku, aku yang mengiyakan pernikahan ini terjadi.”Suara Mas Afnan terdengar berat. Seolah menahan sesal yang sudah lama tertahan. Aku menghela nafas panjang, lalu membalikkan tubuh. Menghadapkan sepenuhnya tubuhku ke arahnya, meski pelukannya belum juga terlepas dariku.Kutangkupkan tanganku di kedua sisi wajahnya yang hangat, tapi masih menyorot sendu. Aku menatap matanya dalam-dalam dan mencoba meyakinkannya dengan senyum terbaikku.“Tapi sekarang kamu udah berubah, Mas. Kamu udah jadi sosok suami yang baik buat aku. Bahkan, sekarang aku justru merasa istri yang paling beruntung di dunia ini karena memiliki kamu,” ucapku disertai tawa pelan.Niatku ingin mencairkan suasana, sekaligus agar Mas Afnan tidak perlu lagi merasa bersalah. Namun, Mas Afnan tetap diam.Sepasang matanya masih menatapku l
Aku hanya bisa diam di sofa dan mencoba terlihat tenang, meski dadaku ikut bergemuruh, sejak kulihat ekspresi Mas Afnan usai menerima telepon barusan. Wajahnya tegang, alisnya mengerut, dan nada bicaranya tadi pun terdengar seperti menahan sesuatu yang ingin diluapkan.Saat dia duduk di sampingku, aku langsung menoleh pelan, mencoba menebak-nebak isi pikirannya.“Mama minta kita ke Jakarta buat nginep,” ucapnya datar, tapi dari sorot matanya aku tahu hatinya tidak tenang.Tubuhku otomatis menegang. Jakarta. Rumah Mama Diana. Dan itu berarti ... Azzam.Aku menunduk sesaat, mencoba menyembunyikan reaksi gugupku. Tapi Mas Afnan rupanya masih terus bicara.“Kenapa Mama tiba-tiba nyuruh kita ke sana sih?” keluhnya dengan suara frustasi yang terdengar jelas. “Dan yang paling buat aku jengkel, Azzam juga ternyata sudah balik ke rumah. Aku rasa anak itu pasti ngadu yang aneh-aneh ke Mama.”Aku menahan nafas. Tengg
Malam semakin larut. Hanya suara detak jam dinding dan hembusan angin dari celah jendela yang menemani lamunanku. Di sebelahku, Mas Afnan sudah terlelap dalam tidurnya. Wajahnya terlihat damai sekali. Lelaki yang selama ini kusebut suami, yang dulu sempat membuatku menangis dalam diam, namun kini justru membuatku tersenyum tanpa alasan.Aku menatap wajahnya lama. Ada sesak yang perlahan menjalari dadaku. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya tak adil. Dia telah berusaha berubah, telah menjadi suami yang luar biasa untukku, tapi justru difitnah oleh saudaranya sendiri di hadapan orang tua mereka.“Kenapa, Azzam?” bisikku pelan dan hampir tak bersuara. “Kenapa kamu tega lakukan semua ini ke Mas Afnan?”Aku menyeka air mata yang terus mengalir. Aku tahu Mas Afnan tak pernah sempurna, kami melalui banyak luka, banyak hal yang membuatku hampir menyerah. Tapi hari ini, dia sudah berubah. Dia mencintaiku, dan aku bisa merasakannya.
Motor berhenti perlahan di depan TPA dan aku langsung melirik ke samping, melihat Mas Afnan yang masih duduk tegak, matanya menyapu sekeliling area itu dengan seksama. Lagi-lagi. Aku sampai harus menahan senyumku yang nyaris tumpah.“Tenang, Mas,” ucapku sambil menepuk pelan lengannya. “Nggak ada yang bisa gantikan posisi Mas di hati aku kok. Nggak usah cemburu.”Mas Afnan langsung memicingkan mata ke arahku, ekspresinya datar tapi aku tahu dia kepancing. “Siapa juga yang cemburu?” sahutnya ketus.Aku menahan tawa. Duh, Masku ini … muka kamu itu lho, udah kayak papan reklame yang tulisannya ‘aku cemburu’ tapi masih aja gengsi ngaku. Aku menyandarkan telapak tanganku pada tangannya yang masih menggenggam setang motor, lalu dengan cepat mengecup punggung tangannya, membuat dia langsung melirikku tajam dengan mata melebar.Aku menyeringai menggoda. “Udah sana berangkat, Mas. Nanti telat ngurusin Ma
Aku mencuci muka lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali. Tapi hawa panas di wajahku masih belum juga reda. Rasanya pipiku seperti menyimpan bara api yang tak kunjung padam. Benar-benar panas.“Ya Allah, Safa ... tenang. Tenang,” gumamku pelan sambil menatap bayangan sendiri di cermin kamar mandi. Ya ampun, sudah seperti kepiting rebus saja pipiku ini.Padahal, ini bukan pertama kalinya Mas Afnan bersikap romantis. Bahkan, kami sudah lebih dari itu. Tapi kenapa sekarang rasanya beda, ya? Kenapa sentuhannya tadi bisa buat jantungku serasa hampir copot? Kenapa tatapannya terasa menusuk langsung ke dalam hati? Dan kenapa reaksiku harus secanggung dan segugup ini? Haduh, Safa.Aku menggerutu lagi sambil mengusap wajah dengan handuk kecil. Tapi belum sempat aku benar-benar menenangkan diri, suara ketukan pelan di pintu membuat tubuhku menegang seketika.Tok! Tok!“Saf … Safa,” panggil suara Mas Afnan. Suaranya
“Udah ah, Mas. Sana nunggu aja di meja makan,” ucapku pelan, mencoba mengusirnya dengan halus. Bukan karena tak suka, tapi karena aku sendiri sudah tak tahan dengan sikap manisnya yang makin hari makin bikin jantungku nyaris copot dari tempatnya.Tapi bukannya menjauh, Mas Afnan malah mematikan kompor. Aku refleks menoleh, terkejut. “Eh, lho—Mas?”Belum sempat kuprotes, tanganku ditarik lembut dan tubuhku diputar hingga aku kini berdiri menghadapnya sepenuhnya. Nafasku tercekat. Mata itu ... tatapan matanya yang lekat dan dalam membuatku tak bisa bergerak.Mas Afnan mengangkat tangannya, menyentuh rambutku yang memang hari ini aku cepol asal karena kupikir tidak akan ke mana-mana. Tangannya bergerak perlahan, merapikannya dengan gerakan lembut yang membuat leherku terasa panas.Aku baru saja akan berkata sesuatu saat jemarinya menyentuh bibirku.“Boleh?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Aku mene
Aku berdiri di depan Mas Afnan dan tak berani melangkah lebih dekat. Ia duduk di sofa dengan wajah masih tegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Tangannya mengepal, masih belum sepenuhnya tenang dari kejadian tadi.Dadaku sesak. Aku ingin mendekat, ingin menyentuh luka lebam di pipinya yang jelas membiru. Tapi kakiku seperti menolak bergerak. Antara bahagia dan takut. Bahagia karena akhirnya aku tahu bahwa Mas Afnan mencintaiku. Tapi juga takut, karena tadi aku melihat sisi dirinya yang belum pernah kutemui. Brutal. Penuh amarah.Aku mencoba menenangkan diriku. Kugigit bibir, lalu memberanikan diri membuka suara, “Ma—mas ... aku ambil kompres dulu, ya?”Baru saja aku hendak berbalik, suara Mas Afnan memanggil pelan namun tajam, “Sejak kapan?”Langkahku terhenti seketika. Nafasku tertahan. Jantungku seperti tersangkut di tenggorokan.Ia sudah mengangkat kepalanya, dan kini menatapk
Aku masih duduk termenung di sofa panjang ruang tengah dan memeluk bantal dengan gelisah. Ucapan Azzam tadi siang terngiang-ngiang di kepala.Aku mau balik sama kamu, Saf.Kata-kata itu seperti bom waktu, mengusik seluruh ketenangan yang baru saja mulai kurajut bersama Mas Afnan.Haruskah aku menceritakannya?Tapi aku takut Mas Afnan akan salah paham. Atau lebih parah lagi, justru merasa tersakiti. Aku tak ingin ini merusak hubungan kami yang baru saja mulai terasa hangat. Aku menarik nafas panjang. Mengusap wajah, lalu memejamkan mata, berusaha menenangkan hati.Dan saat aku membuka mata, tanpa aku sadari Mas Afnan sudah berdiri di sana, lalu pelan-pelan merebahkan kepalanya di pangkuanku. “Astagfirullah, Mas …” bisikku pelan dan cukup terkejut.“Capek banget hari ini,” gumam Mas Afnan dengan mata terpejam. Suaranya terdengar serak karena kelelahan. “Nggak nyangka juga kalau urusan Masjid hari ini l