Luna seorang CEO cantik berusia 35 tahun, terpaksa menikahi seorang HRD di perusahaannya yang telah mempunyai 2 orang anak atas permintaan sang papa. Namun, usai pernikahan sang suami meninggal sebelum melaksanakan tugasnya sebagai suami. Namun, suaminya memberikan amanah pada putranya seorang mahasiswa yang masih berusia 23 tahun untuk menikahi Luna, walaupun pemuda tersebut telah mempunyai seorang kekasih dan berjanji akan kembali padanya usai perjanjian dengan keluarga Luna berakhir. Pernikahan kedua Luna dengan anak sambungnya membuat Luna menjadi seorang wanita seutuhnya. Dimana, Devan sang putra sambung yang telah menjadi suaminya mampu memberikan kebahagiaan yang sempurna bagi hidup Luna baik di ranjang ataupun dalam kehidupan sehari-hari hingga Luna merasakan jatuh cinta yang tak pernah dirasakannya. Disaat cinta telah tumbuh subur dihati Luna yang mendapatkan layanan dan kenyamanan dalam diri Devan, CEO cantik itu pun hamil. Saat itu terjadi, Luna yang sangat menikmati kehidupannya bersama Devan pun, harus dengan ikhlas melepas Devan dan perjanjian pernikahan diantara mereka pun berakhir saat seorang putra penerus dalam keluarga Luna dilahirkan. Apakah yang terjadi dengan pernikahan Luna? Akankah Devan juga mampu meninggalkan Luna yang tengah hamil anaknya? Atau Devan meninggalkan Luna demi kekasih yang dengan setia menunggu perjanjian pernikahan diantara mereka berakhir? Untuk kisah selanjutnya, silakan kunjungi novel ini. Mohon dukungannya dengan memberikan ulasan dan bintang 5. Ulasan kakak semua sangat berharga untuk kelanjutan karya saya. Terima kasih atas dukungannya.
View More“Luna, kemarilah sayang,” panggil Subroto dengan suara nyaris tak terdengar pada putri semata wayangnya yang sedang membaca sebuah buku di ruang santai usai mereka menikmati sarapan pagi di hari Sabtu yang cerah.
Luna melirik ke arah Subroto yang saat itu duduk di sebuah kursi roda. Sudah dua tahun ini, Subroto mengalami kelumpuhan setelah mengalami serangan stroke pertama. Tampak Luna menghampiri Subroto yang tengah santai menikmati acara televisi kabel.“Ada apa Pa?” tanya Luna memandang lekat Subroto yang berada persis di sebelah kursi roda lelaki berusia enam puluh tahun.“Sayang, kemarin siang sewaktu kamu di kantor, Om Susetyo datang ke rumah,” ucap Subroto sembari mengecilkan volume pada televisi yang ditontonnya.“Tumben. Untuk apa Om Susetyo ke rumah? Apa dia kesini sama tante Jessica?” tanya Luna dengan raut wajah dan intonasi suara yang seketika berubah.“Dia sendirian ke rumah. Tapi, rencananya malam ini mereka mau ke rumah untuk mengenalkan keponakan tantemu yang baru saja lulus S2 di London,” ungkap Subroto saat dilihat Luna menunduk dan memainkan jemari tangannya.“Mau kenalan sama Luna? Duh! Buat apa sih, dia itu pake acara mau kenalkan Luna sama ponakannya? Papa sendiri tahu ... orang seperti apa tante Jessica itu? Lagian, apa juga tujuan si nenek lampir itu pamer keponakannya yang baru lulus S2? Dengarnya aja males...,” keluh Luna.“Luna ... Om dan tante kamu mau menjodohkan keponakannya sama kamu. Katanya biar bibit, bebet, bobotnya bagus. Apalagi lelaki itu seusia kamu. Kalau Papa sih, semua tergantung sama kamu. Papa berharap kamu cepat mendapatkan jodoh yang terbaik. Papa hanya takut nggak sempat lihat kamu menikah,” harap Subroto pada putri semata wayangnya.Luna yang mendengar ketakutan Subroto dan tujuan dari Om serta tantenya ke rumah nanti malam untuk menjodohkan dirinya membuat raut wajah cantik Luna diselimuti rasa sedih. Kemudian, Luna yang memiliki paras cantik jelita itu pun, bertanya serius pada Subroto.“Paa, apa memang setiap orang itu diwajibkan untuk menikah?” tanyanya.“Luna, bukan masalah wajib atau nggak ... Tapi, tujuan menikah itu agar wanita dijauhkan dari fitnah dan Papa pikir, kamu juga perlu seorang lelaki yang akan jadi tempat bercerita serta berkeluh kesah," jawab Subroto atas pertanyaan putrinya."Paa, kadang Luna berpikir untuk nggak menikah. Soalnya dari sepuluh teman baik Luna yang udah berkeluarga hanya dua orang aja yang suaminya nggak selingkuh. Rasanya susah sekali cari suami seperti Papa," ungkap keresahan hati Luna pada sang papa.Dengan mengelus punggung tangan putrinya, Subroto kembali menasihatinya."Luna ... pernikahan bagi sebagian orang juga digunakan untuk mendapatkan keturunan, agar dalam keluarga mereka ada generasi penerus. Kalau kamu nggak punya niat untuk menikah, siapa kelak yang akan meneruskan perusahaan Papa? Hanya kamu harapan Papa satu-satunya, sayang," rayu Subroto lembut.Luna terdiam dan merasa sangat terpojok dengan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah disinggung sama sekali oleh papanya. Kini kedua orang yang saling mengasihi terlihat menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Subroto memandang dengan penuh kasih sayang pada putrinya yang terlihat berpikir keras atas sebuah pernikahan.Sedangkan yang dilakukan Luna hanya menatap jemari kakinya yang panjang dan putih bersih, seolah wanita cantik itu tengah menghitung waktu yang telah dilewatinya. Kembali terdengar suara Subroto memberikan petuah pada sang putri.“Luna, kamu harus mulai memikirkan masa depanmu sebagai wanita dan jadilah seorang ibu. Usiamu akan terus bertambah. Sayang, kamu kelak akan memerlukan seorang di sampingmu. Seorang lelaki baik dan bertanggung jawab untuk berbagi cerita. Walaupun selama ini Papa melihat kamu mampu menjalankan usaha yang telah Papa rintis selama ini. Namun, sekuat apa pun seseorang pasti ada masa dimana ia memerlukan seseorang dalam hidupnya," imbuh Subroto yang tak secara langsung mendorong sang putri untuk menerima perjodohan yang dilakukan oleh Jessica yang dibenci oleh Luna, karena tabiat dan perangainya yang sombong serta suka memutar balikkan fakta saat almarhumah sang mama ada.“Baiklah, kalau memang untuk kenalan dulu akan Luna pertimbangkan. Tapi, kalau Luna nggak suka sama orangnya ... Papa jangan paksa ya,” tawarnya pada Subroto sembari tersenyum dan memegang tangan sang papa.Semua itu dilakukan Luna demi membuat hati Subroto sedikit tenang. Karena belakangan ini Subroto sering sakit-sakitan. Kemudian, Subroto memegang tangan Luna seraya menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa yang jadi keputusan sang putri.Lalu, Subroto kembali berkata, “Papa harap lelaki itu adalah lelaki baik. Karena Papa juga nggak mau kamu punya suami yang tingkah lakunya buruk. Pokoknya, saat makan malam nanti kita akan lihat, apakah lelaki itu pantas atau nggak untuk kamu."“Makasih Paa... Papa juga harus janji untuk terus sehat yaa," pinta Luna seraya beranjak dari sofa tunggal dan mencium pipi Subroto dengan kasih sayang.Waktu pun beranjak dari detik ke menit dan menit ke jam. Pergantian hari juga berlanjut, dari pagi menuju siang dan siang menuju sore hari. Sampai akhirnya, saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, seorang sekuriti membukakan pintu gerbang rumah Subroto. Sebuah mobil mewah keluaran terbaru masuk ke halaman rumah yang luas dengan bangunan bergaya eropa milik Subroto.Dua orang lelaki tampan dan satu orang wanita cantik dengan anggun keluar dari mobil tersebut dan disambut oleh seorang kepala pelayan bernama Dicky.“Selamat malam Tuan Susetyo dan Nyonya. Silakan ... Tuan Broto sudah menunggu,” sambutnya menganggukkan kepala dan mempersilakan ketiga tamu yang telah keluar dari mobil menuju ke pintu utama rumah mewah tersebut dengan melewati beberapa undakan sebelum sampai di teras.Dicky mempersilakan masuk dan seorang pelayan dengan seragam berwarna ungu bernama Wati mengajak ketiga tamu langsung menuju ruang makan.“Silakan Tuan dan Nyonya..., Tuan besar sudah menunggu di ruang makan bersama Nona Luna,” salamnya berjalan di depan ketiga tamu dengan sedikit membungkuk kala mengantar ke ruang makan.Terdengar Jessica menggerutu pada suaminya yang tak lain adik dari Subroto, ketika sang pelayan menuntun mereka ke ruang makan, "Aneh sekali mas Broto itu. Masa kami langsung ke ruang makan sih..., dia pikir kita ke rumah dia untuk numpang makan?"“Mami, udahlah jangan menggerutu. Mami tahu sendiri kan, gimana Mas Broto? Semua masalah pasti akan diselesaikan di meja makan,” sahut Susetyo kala mendengar keluh kesah Jessica saat mereka berjalan menuju ruang makan.Sementara lelaki berusia sekitar 35 tahun berwajah tampan yang ikut serta bersama pasangan suami istri itu, melangkah disisi kanan Jessica dan terlihat melirik ke arah Jessica tanpa berkomentar.Sesampai di ruang makan, Luna menyambut kehadiran ketiga orang tamu dengan berdiri dari tempat duduknya dan menyalami ketiga orang dengan senyum kecil.“Apa kabar, Mas?” sapa Susetyo mencium tangan kakak tertuanya yang telah duduk di meja makan diikuti oleh Jessica istri dari adik kandungnya dengan berbasa-basi.“Sehat terus ya, Mas Broto...,” ucap Jessica.“Ayo silakan duduk ... Ini pasti keponakanmu, kan?” tanya Subroto memindai wajah lelaki tampan dengan rambut lebat serta jambang tipis dan rapi."Dia ini bukan keponakanku langsung Mas. Andrew itu anak dari sepupuku yang tinggal di Bandung,"Oh, begitu," jawab singkat Subroto.“Malam Om..., kenalkan saya Andrew,” sapa seorang pemuda dengan tinggi kira-kira 180 centi meter memakai kaos dan celana jeans.“Luna, kenalkan ini Andrew. Dia baru dua hari di Jakarta. Kelamaan tinggal di London dia. Soalnya, sejak lulus SMA dia dapat bea siswa dan kuliah disana sekalian kerja juga. Sampai akhirnya dia menyabet gelar master ilmu komunikasi. Kalau aja maminya nggak marah-marah, ini anak kagak mau balik ke Jakarta. Maminya mau dia cari istri ... bukan pacar. Biar hidupnya bisa teratur," terang Jessica menjelaskan status keponakan jauhnya.Luna menyalami Andrew tanpa menimpali ucapan sang tante. Kemudian, mereka menikmati makan malam ala hotel yang seluruh makanannya di pesan dari restoran ternama.Di meja tersebut, Luna hanya mendengar dan mengamati setiap orang yang membicarakan banyak hal dengan sesekali ikut nimbrung untuk hal yang diketahui saja dalam satu meja makan dengan jamuan istimewa. dua puluh menit kemudian perjamuan dilanjutkan ke ruang santai. Subroto dibantu oleh Dicky duduk pada kursi rodanya. Sedangkan ketiga tamu dan Luna berjalan menuju ruang santai.Sesampai di ruang santai, Jessica yang lebih dominan dari suaminya langsung berbicara pada pokok tujuannya ke rumah Subroto. Ia pun menyampaikan perjodohan itu pada Subroto saat mereka telah duduk di ruang santai dengan sofa-sofa empuk berbahan lembut.“Mas Broto ... seperti yang tadi diomong di ruang makan. Andrew ini lagi cari istri. Makanya, aku jadi ke pikiran untuk menjodohkannya sama Luna. Gimana menurut pendapat Mas?” tanya Jessica memandang ke arah Subroto dan melirik ke arah Luna lewat ekor matanya.“Jessica, aku sebagai orang tua hanya bisa merestui saja. Kalau memang Luna setuju, aku pun setuju,” tutur Subroto memandang ke arah Luna, Andrew dan adiknya Susetyo.“Luna, bagaimana dengan kamu? Papamu menyerahkan semuanya ke kamu. Kalau Tante ini, cuma penyambung lidah saja. Kalau kamu menikah sama Andrew ... kamu bisa jadi Nyonya besar yang hanya kumpul-kumpul sama teman-teman sosialita kamu. Tante jamin, Andrew akan mampu meneruskan perusahaan papa kamu,” celoteh Jessica kala mengajukan Andrew menjadi calon suami Luna.Mendengar celoteh Jessica, membuat Luna bergumam dalam hatinya, ‘Dasar matre. Dia pikir aku bodoh? Emang siapa sih dia yang enak-enakkan ngasih usul untuk ambil alih perusahaan papaku.’Jessica yang memandang Luna terdiam dengan pandangan jauh menegur sang keponakan, “Luna, gimana ini..., apa kamu mau kami jodohkan dengan Andrew? Tante jamin, kamu pasti akan hidup bahagia kalau menikahi Andrew.”Luna yang tidak bisa dipaksa dan mempunyai jiwa yang bebas pun berpendapat dan menjawab sang Jessica, “Tante ... Terima kasih sudah mencarikan jodoh untuk saya. Tapi ... masalah kebahagiaan, nggak ada seorang pun manusia yang bisa menjamin kebahagiaan orang lain. Lagi pula, saya belum mengenal Andrew. Menikah itu bukan seperti membeli kucing dalam karung.”Mendengar jawaban Luna yang agak keras, membuat Andrew yang merasa ditolak mentah-mentah pun menjawab, “Tante ... Aku juga nggak mau kalau sampai ada paksaan pada diri Luna. Jadi, aku pikir lebih baik beri Luna waktu untuk berpikir. Kalau gimana, biarkan kami mengenal pribadi kami masing-masing dahulu, supaya kami bisa memahami karakter dan keburukan kami juga. Agar di kemudian hari tidak ada lagi penyesalan.”Mendengar jawaban bijak dari Andrew, membuat Luna memberikan poin plus atas lelaki tampan yang terlihat sangat tenang dan dewasa dalam mengambil sikap. Begitu juga dengan Subroto, lelaki tua itu sangat suka dengan jawaban dari calon menantu yang dipilih oleh adik iparnya.“Baiklah Mas, kalau memang begitu ... kami pamit dulu. Semoga saja, dengan saling bertukar nomor telepon keduanya akan lebih akrab satu dan lainnya,” pamit Susetyo adik bungsu Subroto.Setelah, Andrew bertukar telepon dengan Luna, mereka pun berpamitan. Luna mengantar mereka hingga teras dengan menyalami ketiga tamu yang merupakan kerabatnya. Setelah itu, Subroto dan Luna membicarakan lelaki yang baru saja mereka kenal dengan segala tutur kata yang sopan serta sikap intelektualnya yang membuat mereka terkesan.Bab 51 : Sentuhan Devan Devan yang merasa ada kejanggalan pada pertemuannya dengan Silvi langsung menarik tangan Regina adiknya. “Kamu yang sengaja minta Silvi ke sini kan?” “Apa sih maksud Kakak? Aku nggak ada hubungi kak Silvi. Memang nggak boleh kalau orang ke Mal dan ketemu sama Kakak?!” tanya Regina kesal.“Dengar! Kakak tahu kalau kamu nggak suka sama Luna. Tapi, bukan berarti kamu bertindak seperti ini!” bentak Devan pada adiknya.Silvi yang melihat Regina terus dibentak di muka umum langsung meraih tangan Regina dan memeluknya seraya berucap, “Devan..., kamu itu memfitnah adimu di depan umum. Memang salah kalau aku bertemu kamu di tempat umum? Jangan salahkan Gina dong.”Devan memandang tajam ke arah Silvi dan berkata, “Ya bisa jadi kamu yang minta adikku untuk melakukan pertemuan yang nggak jelas seperti ini. Karena adikku nggak punya pemikiran picik seperti kamu!” tuding Devan yang saat ini tengah stres menunggu keputusan Luna dan merasakan kerinduan pada diri Luna.“Kamu
Regina yang punya rencana untuk mempertemukan Devan dan Silvi, tampak telah berdandan rapi. Regina keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu Devan. Tok ... Tok ... Tok ... “Kak Devan ... Kak, jadi kita keluar kan? Kak...,” panggil Regina diluar kamar Devan. Tidak mendapat tanggapan dari sang kakak, membuat Regina membuka pintu kamar Devan dan mendapati sang kakak tertidur pulas hingga Regina pun membangunkan Devan. “Kakak! Bangun...! Gimana sih..., ngomongnya mau jalan keluar,” rajuk Regina mengguncang-guncangkan tubuh Devan. Dengan memicingkan matanya dan menggeliat kan tubuhnya Devan memandang ke arah sang adik yang duduk disisi tempat tidurnya dan bertanya padanya. “Ada apa sih, Gina...” “Tadi Kakak ngomong mau jalan keluar. Ayolah Kak..., sekarang udah jam 6 sore. Cepatlah Kak...,” ujar Regina memandang wajah tampan sang kakak yang sesekali menguap. “Udahlah besok aja Gina..., Kakak lagi malas nih,” jawab Devan menolak ajakan adiknya. Mendengar jawaban Devan jelas mem
Devan yang pulang ke rumahnya, disambut oleh Amrita dan diberondong oleh banyak pertanyaan perihal hubungan putranya dengan Luna yang kini telah hamil. “Gimana kondisi Luna, Devan...? Apa dia baik-baik aja? Apa dia muntah-muntah?” Tanya Amrita ketika melihat Devan dan duduk di meja makan. “Luna baik Ma. Dia sudah pulang ke rumahnya. Hmmm..., sepertinya dia ingin tenang dan katanya Dev nggak usah ke rumahnya. Kalau ada apa-apa nanti dia yang akan hubungi Devan,” ucap Devan terdengar sedih. “Kok begitu? Apa dia marah sama kamu? Bukankah selama ini kamu terus yang menjaga dia?” tanya Amrita. “Dia nggak marah. Mungkin ingin lagi sendiri aja...,” jawab Devan kembali. Amrita menganggukkan kepalanya sementara adik Devan yang bernama Regina, menyambut kedatangan sang kakak ke rumah dengan bahagia karena, Regina yang sejak awal tidak setuju sang kakak menikahi Luna, diam-diam mencuri nomor telepon Silvi dan beberapa kali bertemu di luar dengan teman kampus kakaknya. Bagi Regina, Luna
Luna berjalan menuju kamar Subroto. Perlahan ia membuka pintu kamar sang papa. Terlihat Dicky sang ajudan duduk pada sebuah kursi di sebelah tempat tidur Subroto. Dengan langkah pelan, Luna menghampiri Dicky yang terlihat tertidur dalam duduknya. Namun, saat Luna kian mendekati tempat tidur Subroto, secara refleks Dicky langsung berdiri dan sigap memandang ke arah langkah Luna yang perlahan. “Maaf Non Luna, saya pikir siapa,” tutur Dicky mengangguk kecil dan menarik kursi yang tadi didudukinya saat berada di sisi Subroto. “Gimana kondisi Papa, Pak?” tanya Luna menatap lurus pada Subroto yang menggunakan selang oksigen dan terlelap dalam tidurnya. “Dua hari ini Tuan agak sesak napas. Sepertinya Tuan terlalu berpikir keras atas diri Nona. Semalam sama sekali Tuan tidak bisa tidur. Karena itu, mengalami sesak napas.” Dicky melaporkan kondisi Subroto. Luna yang melihat kondisi Subroto kian melemah duduk di sisi tempat tidur sang papa dan memegang jemari tangan yang kian tak berisi
Hari ini adalah hari terakhir, Luna berada di rumah sakit. Wanita cantik yang tengah hamil muda itu telah pulih dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Devan dengan keluguannya bertanya pada Luna.“Luna, lebih baik kamu jangan turun dari tempat tidur. Aku takut terjadi sesuatu hal dengan dirimu,” pinta Devan.“Dev, santai aja. Kalau infus ditangan sudah dilepas berarti aku udah bisa jalan dan semua akan baik-baik saja,” ucap Luna yang bangun dari tempat tidur.Namun saat kaki jenjangnya akan menyentuh tanah, Devan lalu mencegahnya, “Stop. Kamu mau kemana? Luna ... Serius aku nggak akan membiarkan kamu jalan kemana pun.”“Ya ampun Dev. Aku mau ke kamar mandi. Aku udah diperbolehkan jalan. Udah, kamu tenang aja,” jawab Luna tetap menurunkan kakinya.Namun, tiba-tiba Devan meraih tubuh Luna dan membawanya ke kamar mandi di rumah sakit tersebut dan meletakkan wanita cantik tersebut tepat di depan kloset kamar mandi.“Dev! Kamu ini terlalu lebay!” sungut Luna saat Devan telah menurunkann
Setelah dua minggu berlalu, Luna yang tengah mengisi waktu dengan kedua sahabatnya, Arumi dan Cyntia di sebuah pusat perbelanjaan terbesar itu tiba-tiba terkulai lemah, hingga membuat dua orang sekuriti untuk membopong tubuh Luna, yang tampak antara sadar dan tidak serta nyaris ambruk jatuh ke lantai Mal tersebut. Untung saja seorang lelaki muda dan menyadari Luna yang terjatuh, secara refleks meraih tubuh Luna dan menahannya untuk tidak sampai terjerembap ke lantai Mal tersebut. Seketika suasana Mal yang ramai pengunjung tersebut ramai. Dan salah seorang pengunjung lainnya yang baik memberitahu sekuriti di Mal tersebut hingga mereka dengan cepat tanggap mengevakuasi tubuh Luna yang lemas.“Pak! Tolong bawa ke Lobby! Sekarang saya akan ambil mobil!” teriak Arumi meminta tolong dan berlari menuju lift untuk ke tempat parkir mobil.Sementara Cyntia memegang tas Luna dan mengikuti langkah kedua orang sekuriti dan seorang anak muda yang membantu Luna saat akan terjatuh menuju lift dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments