Share

Memulai Babak baru

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-26 13:52:57

Langit sore di desa begitu tenang. Seolah ikut menyaksikan langkah kami kembali menapaki jalan kecil berdebu menuju rumah kami di desa ini.

Di sampingku, Mas Afnan berjalan dengan diam. Tapi, tangannya erat menggenggam jemariku. Hawa musim kemarau membuat dedaunan berguguran satu per satu. Tapi hari ini ada sedikit ruang lapang di dada. Ada yang terasa pulang.

“Alhamdulillah, kita bisa sampai lagi di sini,” gumamku seraya menatap rumah sederhana itu dengan perasaan penuh campur aduk.

Mas Afnan menoleh. Sorot matanya masih menyimpan luka, tapi ada ketegasan di sana. Ketegasan yang sama saat ia mengucapkan talak itu di hadapan keluarga dan Allah—bukan karena benci, tapi karena kebenaran harus ditegakkan.

“Rumah ini selalu jadi tempat aku menenangkan diri,” ujarnya akhirnya. “Dan kamu adalah rumah itu, Safa.”

Hatiku tercekat. Aku tak bisa membalas kata-kata itu selain dengan menunduk dan menguatkan genggamanku di tangannya. Aku masih mengingat jelas momen ketika semua kebohongan itu terb
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Luka Tak Terlihat

    Sudah beberapa hari kami kembali tinggal di desa. Rumah mungil yang dulu sempat kutinggalkan kini terasa lebih hangat. Lebih hidup. Mungkin karena hatiku juga sudah mulai pulang.Pagi ini, sinar matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela ruang kelas TPA. Suara anak-anak yang mulai membaca iqra’ terdengar bersahutan dengan tawa-tawa polos yang kurindukan.“Bu Safa!” seru seorang anak sambil mengangkat tangan. “Ini huruf ‘tsa’ ya?”Aku tersenyum dan mengangguk. “Masya Allah, pintar! Betul, itu huruf ‘tsa’. Ayo, sekarang bareng-bareng, baca barisnya, ya.”Mereka mengangguk. Suara mereka menyatu dan membuat dadaku hangat.Setelah sesi belajar selesai, anak-anak mulai pulang satu per satu. Beberapa masih asyik bermain di halaman Mushola kecil kami. Aku sedang membereskan lembar-lembar kerja mereka ketika sebuah suara familiar terdengar di belakangku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu balik juga ke tempat ini. Sempat aku pikir kamu bakalan nggak balik lagi.”Aku menoleh dan mendapati Nilam

  • Bukan Pernikahan impian   Memulai Babak baru

    Langit sore di desa begitu tenang. Seolah ikut menyaksikan langkah kami kembali menapaki jalan kecil berdebu menuju rumah kami di desa ini.Di sampingku, Mas Afnan berjalan dengan diam. Tapi, tangannya erat menggenggam jemariku. Hawa musim kemarau membuat dedaunan berguguran satu per satu. Tapi hari ini ada sedikit ruang lapang di dada. Ada yang terasa pulang.“Alhamdulillah, kita bisa sampai lagi di sini,” gumamku seraya menatap rumah sederhana itu dengan perasaan penuh campur aduk.Mas Afnan menoleh. Sorot matanya masih menyimpan luka, tapi ada ketegasan di sana. Ketegasan yang sama saat ia mengucapkan talak itu di hadapan keluarga dan Allah—bukan karena benci, tapi karena kebenaran harus ditegakkan.“Rumah ini selalu jadi tempat aku menenangkan diri,” ujarnya akhirnya. “Dan kamu adalah rumah itu, Safa.”Hatiku tercekat. Aku tak bisa membalas kata-kata itu selain dengan menunduk dan menguatkan genggamanku di tangannya. Aku masih mengingat jelas momen ketika semua kebohongan itu terb

  • Bukan Pernikahan impian   Kembali Ke Tempat Seharusnya

    Mobil Mas Afnan melaju perlahan memasuki halaman rumah. Senja sudah hampir hilang, langit mulai gelap, menyisakan rona jingga samar di ufuk barat. Suasana rumah begitu hening dan hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin yang terdengar.Kami turun dari mobil tanpa banyak bicara. Mas Afnan menggenggam tanganku erat seolah ingin memastikan aku benar-benar ada di sisinya. Langkah kami menyusuri teras dan masuk ke dalam rumah yang seolah ikut menyimpan duka hari ini.Begitu pintu tertutup, Mas Afnan menghela nafas panjang, lalu menuntunku ke ruang tamu. Kami duduk bersebelahan. Mas Afnan menunduk dengan kedua tangannya saling bertaut.“Safa …,” panggilnya lirih seraya menatapku dalam-dalam. “Aku minta maaf. Semua ini pasti berat buat kamu. Tapi aku janji, aku janji mulai sekarang nggak akan ada lagi kebohongan yang nyakitin kamu. Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu rumah tangga kita.”Aku menatapnya dengan mataku berkac

  • Bukan Pernikahan impian   Talak Dari Afnan

    Ruangan itu seolah menahan nafas. Tegangan di dalam kamar makin menebal seakan dinding-dindingnya pun ikut menahan gejolak yang nyaris meledak. Papa Himawan berdiri dengan wajah merah padam dan menatap Sarah tajam, sementara Sarah semakin tersudut di atas ranjangnya.“Bicara, Sarah! Jelaskan! Kenapa kamu tega melakukan ini semua?!” desak Papa Himawan lagi. Suaranya meninggi, tak mampu lagi menahan kekecewaan dan amarahnya.Air mata Sarah semakin deras. Bahunya bergetar hebat, dan akhirnya, dengan suara serak, ia pecah juga. “Aku udah bilang sama Mama, sama Papa, kalau aku cinta sama Kak Afnan!” teriaknya di antara tangisnya.Ruangan itu hening seketika seolah semua baru saja dipukul kenyataan yang menyakitkan.Sarah terisak, matanya basah, wajahnya merah. “Mama juga tahu, penyebab aku kecelakaan sampai koma dua tahun itu karena aku mau nemuin Kak Afnan! Aku mau nyusulin Kak Afnan waktu dia lagi kuliah di luar kota! Tapi kalia

  • Bukan Pernikahan impian   Hanya Sandiwara

    Pintu rumah terbuka, dan Mas Afnan melangkah masuk. Wajahnya masih menyimpan sisa tegang dari percakapan telepon tadi. Begitu matanya menangkap sosokku yang berdiri menunggunya di ruang tamu, aku buru-buru memaksakan senyum. Meski hatiku masih bergetar, aku mencoba menenangkan diriku. Aku melangkah mendekat, menunduk, lalu dengan takzim mencium punggung tangannya. Tangannya hangat, sedikit bergetar, dan genggaman balasnya begitu erat seolah dia sedang mencari sandaran.Mas Afnan menatapku penuh sayang, meski di balik matanya aku tahu ada kegelisahan yang ia sembunyikan. “Mama sama Sarah masih belum ada kabar, Saf?”“Belum, Mas. Sejak pagi nggak ada yang pulang, nggak ada juga yang nelpon atau ngabarin.”Mas Afnan menghela nafas panjang dan meletakkan tas kerjanya di sofa. “Sebenarnya mereka ke mana ya? Kalau Papa sama Azzam ‘kan memang lagi ada pekerjaan di luar kota. Tapi Mama dan Sarah, tumben begini. Biasanya paling nggak M

  • Bukan Pernikahan impian   Jebakan Untuk Afnan?

    Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah Mama Diana. Rumah itu terlihat lengang, sepi, hanya suara kicau burung yang terdengar bersahutan di halaman. Mas Afnan mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arahku. Sorot matanya masih sama. Letih, penuh tanya, dan sembunyikan luka.Kami turun tanpa banyak bicara. Langkah kami pelan saat memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, suasana sepi langsung menyambut kami. Tak ada suara, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu. Hanya udara pagi yang mengalir melalui jendela yang terbuka sebagian.Mas Afnan menatap sekeliling, lalu menghela nafas. “Kosong. Mungkin semuanya lagi keluar,” gumamnya sambil melepas jasnya. “Kamu langsung istirahat aja ya, Saf. Aku juga mau siap-siap ke kantor.”Aku mengangguk patuh, berusaha tersenyum meski hatiku masih terasa berat. “Iya, Mas. Kamu hati-hati di jalan nanti.”Mas Afnan mengusap lembut kepalaku. Sentuhannya hangat tapi t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status