LOGIN“Kamu urus anak mu itu, mas! Aku bosan hidup miskin denganmu!” Bagaimana jika kalimat itu di ucapkan kepadamu? Bagaimana rasanya? dan kamu harus di tinggalkan bersama anakmu yang belum tahu apapun tentang perpisahan? Itulah yang di alami Hendra kusuma, seorang pria yang berprofesi sebagai kuli bagunan terpaksa harus menuruti permintaan cerai istrinya, karena sang istri tak mau hidup miskin dengannya. Belum cukup sampai disitu, sang istri enggan mengurus anaknya yang masih balita, sehingga dia harus mengurusnya seorang diri. Namun, pada suatu moment dia harus di paksa menikahi seorang gadis cantik yaitu boss nya sendiri, karena permintaan dari boss nya untuk menjadi suami palsunya. Hendra menurut saja karena dia di bayar, namun, seiring berjalannya waktu akan kah benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya? dan akankah luka di hati Hendra sembuh?
View More“Kamu nggak masak, Dek? Mas laper,” ujar pria berkulit sawo matang dengan rambut yang masih terlihat basah baru selesai mandi itu.
Sementara, wanita yang tak lain adalah istrinya hanya menoleh sekilas. Ia duduk sambil bersandar ke dinding kontrakan kecil itu dan fokus memainkan ponselnya tanpa menggubris suaminya itu. Merasa tak ada jawaban. Hendra, hanya menghela napas lalu menuju ke arah dapur. Di atas piring. Ada satu butir telur dan segenggam sisa nasi, Hendra segera memasaknya karena dia merasa lapar, dan setelah telur itu matang, suara anak kecil di belakang membuatnya menoleh. “Ayah, Putri mau makan,” ucap gadis kecil itu dengan polosnya. Hendra yang sedang memegang piring pun langsung tersenyum kepada anaknya. “Sini, sayang. Ayah suapin,” jawab Hendra dengan lembut. Putri langsung tersenyum senang.“Asyik! Di suapin sama ayah!” Putri lekas menghampiri dan duduk di samping sang ayah. “Putri, memangnya belum makan ya?” tanya Hendra sambil menyuapkan nasi ke mulut anaknya. Lalu putri dengan polos menggeleng pelan.“Belum, Ayah. Kata Bunda, tunggu Ayah dateng aja.” Deg! Mendengar itu, Hendra langsung termenung ternyata putrinya belum di beri makan seharian oleh istrinya itu. Baginya, tak apa jika dia yang harus menahan lapar, tapi... jika itu anaknya dia akan merasa sangat bersalah. “Kau tega sekali, Sarah kau biarkan anak kita kelaparan seperti ini,” batin Hendra sambil menatap sendu ke arah sang anak. Sementara, saat Hendra fokus menyuapi sang anak. Sarah dengan wajah tanpa dosanya berlalu pergi, dengan keadaan sudah berpakaian rapi. Hendra yang melihat itu, jelas bertanya. “Mau kemana, dek? Malam-malam begini?” tanya Hendra. Sarah menghentikan langkahnya sejenak lalu menoleh.“Bukan urusan mu Mas!,” sahutnya dengan ketus. Hendra menghela napas sejenak.“Kenapa kamu nggak ngasih putri makan sejak tadi pagi?” tanyanya dengan tenang. Sarah berdecak. “Itu kan anak mu, urus saja sendiri!” jawabnya sambil berlalu pergi. Hendra hanya mengelus dada sambil menatap Sarah yang pergi dengan terburu-buru. Singkat nya Hendra pun segera menidurkan anaknya di kamar. Setelah beberapa saat Putri tertidur, Hendra menuju kursi di teras Kontrakan nya. Ia menyalakan sebatang rokok pemberian kawan nya di proyek, untuk sejenak menghilangkan penat. “Sarah, kenapa kamu jadi seperti ini, apa kurang? uang gaji yang selama ini Mas berikan kepadamu?” gumamnya sambil menatap kosong ke arah jalanan. Pintu kontrakan terbuka. Hendra pun langsung terbangun, kini nampak di hadapannya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah—sang mertua. Dengan wajah letih sang mertua menatap ke arah Hendra tanpa ekspresi. “Kemana Sarah?” tanya Bu Aminah dengan menampilkan wajah datarnya. Hendra hendak menyalami sang ibu mertua, namun tangannya ditepis penuh penolakan. “Kemana sarah? Ditanya malah diem aja kamu,” lanjut Bu Aminah. Hendra pun menunduk.“Dia pergi sama temen nya bu,” jawab Hendra pelan. Bu Aminah menatap Hendra dengan tajam lalu, berjalan ke arah kamar. Dan menengok ke atas kasur melihat cucunya yang sedang terbaring. “Putri sudah kamu kasih makan?” tanya Bu Aminah masih tanpa ekspresi. Hendra mengangguk pelan.“Sudah bu,” jawab Hendra. Bu Aminah hanya mendengus, lalu menoleh dingin. “Kalau bukan karena kamu, Sarah nggak akan sengsara tinggal di kontrakan kumuh kayak gini. Kau laki-laki nggak becus, Hendra. Kerja cuma kuli, dapat gaji pas-pasan. Anak saya cantik, pintar, masa hidupnya begini? Kau bikin dia menderita!” Hendra terdiam, dadanya sesak. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ucapan mertua itu menusuk hatinya. “Dengar ya, kalau kamu nggak bisa bahagiakan Sarah, lebih baik lepaskan dia. Jangan seret anak saya hidup susah terus!” ucap Bu Aminah dengan suara meninggi. Hendra menunduk makin dalam, tangannya mengepal. Putri yang setengah terbangun mendengar suara keras itu keluar dari kamar, mengucek mata. “Eyang… kenapa marah sama Ayah?” tanyanya polos. Hendra segera menghampiri anaknya, meraih tubuh kecil itu agar tidak semakin mendengar caci-maki. Ia tersenyum paksa, meski matanya panas menahan air mata. “Tidak apa-apa sayang, Eyang cuma lagi capek,” ucap Hendra sambil menggendong Putri kembali ke kamar. Di luar, Bu Aminah masih berdiri dengan tatapan penuh benci. “Ingat kata saya, Hendra. Kalau masih punya harga diri, lepaskan Sarah!” Hendra hanya bisa terdiam. Malam itu ia merasakan perih di hatinya saat menjadi menantu yang dihina, dipandang rendah, dan dipersalahkan atas semua keadaan, meski hatinya tahu ia sudah berjuang sekuat tenaga. Seusai mertuanya pergi, Hendra termenung. “Aku harus bagaimana, aku harus bekerja sekeras apa lagi?” batin Hendra sambil dirinya mengunyah sarapannya tanpa selera sedikit pun. Dia terpaksa menghabiskan nya, agar dia memiliki tenaga saat bekerja nanti. Sambil menanti istrinya pulang, Hendra bersiap mengenakan pakaian nya. Tepat saat dia hendak menghampiri Putri. Istrinya datang, tanpa rasa bersalah sedikitpun dia masuk tanpa menyapa anak dan suaminya. Hendra langsung berdiri dan mengikuti istrinya ke kamar. “Dek, kamu darimana saja?” tanya Hendra dengan nada yang sedikit tegas. Sarah melempar tasnya ke atas kasur, lalu menoleh. “Sudah aku bilang, itu bukan urusan mu, Mas! Mau aku pergi kemana pun itu bukan lagi urusan mu!” jawabnya dengan nada yang sedikit meninggi. Hendra memperhatikan penampilan istrinya, dan ketika dia menemukan sebuah noda merah di leher sang istri, hatinya bergemuruh hebat, pikirannya seketika kalut. Nafasnya terasa sesak, seakan dunia runtuh di depan matanya. Namun, Hendra menggenggam erat jemarinya sendiri, mencoba meredam amarah yang mendidih di dadanya. “Dek… habis dari mana kamu semalam?” suaranya bergetar, tapi tetap ia paksa terdengar lembut, “Tolong jujur, noda merah bekas apa di lehermu itu?” Dalam hatinya, Hendra ingin berteriak, ingin menggebrak, ingin meluapkan segala kecewa. Tapi ia sadar, jika emosinya meledak, semua akan sia-sia. Maka ia hanya menghela napas panjang, menundukkan kepala, dan duduk di tepi ranjang. “Sebenarnya darimana kamu, dan dengan siapa? Kamu semalam tidur dimana?” bisiknya lirih. “Kalau uang dari mas kurang. Mas bisa usahakan lebih, asal kamu nggak kaya gini sama, Mas.” Sarah hanya mendengus kesal. “Sudah ku bilang, itu bukan urusanmu, Mas! Dari dulu bilang nya kaya gitu, tapi mana buktinya? Aku capek mas!” bentak Sarah sehingga membuat Hendra sangat terkejut dengan perubahan sikap sang istri. Sarah melanjutkan kalimatnya.“Aku menyesal menikah dengan mu! Aku pikir kamu bakalan usahain semua kemauanmu, Mas. Tapi buktinya, nggak ada sama sekali!” Bagai di sambar petir, Hendra seketika dibuat terdiam oleh kalimat istrinya itu. 'Aku menyesal menikah denganmu' Kalimat itu, cukup merobohkan kesabarannya. Seketika ekspresinya berubah menjadi datar. “Lalu, apa mau mu?” ucap Hendra lirih nyaris tak bernada, namun cukup membuat Sarah membeku, ketika mendengarnya. Nada bicara dan ekspresi Hendra jelas jauh berbeda dari biasanya. Sejenak Sarah menimbang ucapannya. Tapi setelah itu dia menjawab dengan Nada yang sedikit mengancam untuk menekan suaminya itu. Sarah menghela napas panjang. “Aku ingin kita Cerai, Mas! Aku bosan hidup miskin denganmu, urus anakmu itu. Dan segera ceraikan aku!” pungkasnya dengan suara yang hampir bergetar. Lalu meninggalkan Hendra yang membeku.Hendra terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja menutup di belakang Reynald. Ucapan terakhir Kanaya menggantung di udara—dingin, berat, dan penuh makna tersembunyi. “Jangan buat aku kecewa.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari semua sindiran Reynald barusan. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Hanya napasnya yang terasa berat, dada sesak seolah beban dunia baru saja diletakkan di atas pundaknya. Kanaya menatapnya sejenak, kemudian langkahnya melambat mendekati meja kerja besar di tengah ruangan. Tangannya menyentuh permukaannya yang mengilat, lalu menatap Hendra lagi. “Mulai hari ini, kamu resmi menjabat sebagai Kepala Divisi Operasional Perusahaan ini,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun sarat wibawa. Hendra nyaris tidak bisa mempercayai telinganya. “A… apa?” “Kepala Divisi Operasional,” ulang Kanaya, kali ini dengan sedikit senyum tipis. “Jabatan itu kosong sejak bulan lalu, dan aku pikir… kamu orang yang tepat untuk posisi ini.” Hendra mundu
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di halaman sebuah gedung tinggi yang menjulang angkuh, dinding kacanya berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Hendra menelan ludah. Jangankan bekerja, berdiri di depan gedung itu saja membuatnya merasa kecil.Begitu pintu mobil dibuka, dua orang pria bersetelan rapi segera menghampiri.“Selamat pagi, Pak Hendra,” ucap mereka hampir bersamaan sambil sedikit membungkuk.Hendra tertegun. “S-selamat pagi…” jawabnya terbata, masih belum terbiasa diperlakukan begitu.Pak Tano memberi kode halus. “Mari, Pak, mereka sudah menunggu Bapak.”Dengan langkah kaku, Hendra mengikuti mereka masuk ke dalam. Lobi gedung itu terasa mewah: lantai marmer putih, chandelier menggantung berkilau, resepsionis tersenyum ramah seakan semuanya memang sudah diatur untuk menyambutnya.Tak lama, seorang wanita muda berpenampilan rapi—blazer hitam dengan kemeja putih—datang menghampiri. Rambutnya diikat sederhana, namun sikapnya penuh percaya diri.“Selamat datang, Pak Hendra. N
Makan malam itu berakhir tanpa senyum, tanpa sapaan hangat, hanya dingin yang menusuk dari setiap tatapan. Begitu pelayan menarik kursi terakhir dan hidangan penutup tersisa dingin di piring, Tuan Adrian berdiri tanpa kata. Ia meninggalkan meja, langkahnya berat, penuh wibawa namun dingin. Nyonya Clara menyusul, tapi sempat berhenti sejenak di belakang Hendra. Tatapannya menusuk, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir berbisik. “Anak muda, cepat atau lambat… kamu akan tersingkir dengn sendiri nya.” Hendra terdiam, darahnya serasa berhenti mengalir. Nyonya Clara pun melangkah pergi menyusul suaminya. Kini hanya ada Hendra dan Kanaya di meja makan panjang itu. Suasana begitu hening, hanya terdengar detak jam dan tarikan napas berat Hendra. Kanaya menoleh padanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?” Hendra menelan ludah, tangannya masih menggenggam sendok yang gemetar. “Aku… aku benar-benar tidak tahu harus jawab apa. Maaf, Kanaya… aku hanya membuatmu
“Jadi ini calon suamimu?” Suara berat namun berwibawa itu membuat tubuh Hendra seketika beku. Ia menoleh, mendapati seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu gelap, rambutnya memutih rapi, sorot matanya tajam. Di sampingnya berdiri seorang wanita anggun bergaun sutra biru tua, lehernya dihiasi mutiara, wajahnya masih cantik meski usia sudah senja. Tuan Adrian Wiratama dan Nyonya Clara Wiratama, konglomerat pemilik jaringan bisnis raksasa, sekaligus orangtua Kanaya. Hendra buru-buru menunduk, tangannya dingin, napasnya tak teratur. “Se—selamat malam, Pak, Bu…” ucapnya terbata, tubuhnya kaku. Tuan Adrian melipat tangan di dada, menatap Hendra tanpa ekspresi. “Nama kamu Hendra, bukan?” tanyanya. “Be—betul, Pak…” “Kerja apa? Dari keluarga mana? Bagaimana kamu bisa berkenalan dengan Kanaya?” Pertanyaan itu meluncur deras, seperti interogasi. Hendra tertegun, matanya bergerak gelisah. “Sa—saya hanya karyawan biasa di perusahaan… saya tidak… tidak berasal dari keluarga
“Jam tujuh, supir saya menjemput mu. Kamu harus sudah siap,” ucap Kanaya dengan wajah datarnya.Hendra hanya mengangguk saja, tanpa basa-basi lagi Hendra segera masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Sementara Kanaya langsung pergi meninggalkan tempat itu.“Apa maksud semua ini?” gumam Hendra sambil memperhatikan ke arah mobil Kanaya yang perlahan menjauh.singkatnya Hendra selesai membersihkan diri, dia pun memakai pakaian yang menurutnya rapih, meskipun sedikit lusuh karena sudah lama dia tak pernah membeli pakaian.Matanya memandangi amplop coklat di tangannya itu. Hendra menarik napas panjang, seolah sedang menimbang apakah ia pantas menerima semua ini. Namun, bayangan Putri kembali hadir dalam benaknya. Perlahan, ia menggenggam amplop itu erat.“Kalau ini memang buat masa depan Putri… aku harus kuat,” gumamnya lirih.Tepat jam tujuh kurang beberapa menit, suara klakson terdengar dari depan kontrakan. Hendra buru-buru keluar, dan benar saja—mobil hitam dengan sopir Kanaya sudah menun
Setelah selesai dari pekerjaan, Hendra menyempatkan diri untuk melihat Putri anaknya. Setelah sampai, Putri sedang asik memainkan kakinya sambil menahan dagu dengan tangan, dan tangan satunya sibuk menggambar, membuat Hendra tersenyum saat memperhatikannya. Hendra pun mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Membuat Pak Budi yang ada di dalam lekas membuka pintunya. “Ehh, Dra. Mau jemput ya, sini masuk dulu,” sapa Pak Budi sambil mengajaknya masuk terlebih dulu. Hendra memperhatikan penampilannya, merasa pakaiannya kotor Hendra menggeleng pelan. “Nggak Pak, saya gak enak. Baju saya kotor,” jawabnya. Putri yang sedang asik menggambar, langsung berdiri begitu melihat Ayahnya datang. “Ayah!” teriaknya sambil berhambur hendak memeluk sang Ayah. Hendra langsung berjongkok, sambil menahan Putri dan berkata.“Ayah, masih kotor bajunya sayang,” ujarnya sambil mengusap kepala sang anak membuat Putri sedikit cemberut. Bu Hanum yang baru keluar dari kamar mandi lekas menyapa Hendra dan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments