Beranda / Rumah Tangga / Bukan Pernikahan impian / Permintaan Yang Mengguncang

Share

Permintaan Yang Mengguncang

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 09:58:17

Langit Jakarta siang itu mendung. Seolah ikut merasakan beban yang menggelayut di dada kami sejak mobil memasuki area Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan, Mas Afnan lebih banyak diam. Matanya menatap keluar jendela, tetapi aku tahu pikirannya tak berada di sana.

Aku menggenggam tangannya sekedar mencoba menyalurkan kekuatan, meski aku sendiri merasa lemas. Begitu pintu kamar rawat inap terbuka, aroma antiseptik dan suara alat medis langsung menyergap. Di dalam, kulihat Mama Diana duduk di kursi dengan wajah letih.

"Assalamu'alaikum, Ma," suara Mas Afnan memecah keheningan..

Mama Diana mengangkat wajahnya. Matanya tampak bengkak seperti sudah terlalu lama berurusan dengan air mata.

"Wa'alaikumussalam," balasnya berusaha tersenyum, tapi senyuman itu terlalu rapuh.

Aku menoleh dan baru menyadari Sarah terbaring di ranjang Rumah Saki. Wajahnya pucat, meski matanya masih memancarkan sisa semangat.

Tapi bukan itu yang membuat dunia kami seketika terasa runtuh.

"Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Ketegasan Afnan

    Usai aku selesai mandi, langkahku terasa ringan saat berjalan keluar kamar mandi. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela dan menghangatkan ruang kamar yang sedikit berantakan setelah semalam. Aku baru saja ingin merapikan hijabku ketika dering ponsel itu tiba-tiba memecah keheningan.Tanganku refleks meraih ponsel yang tergeletak di meja rias. Namun, begitu mataku menatap layar, tubuhku seketika membeku. Nomor Sarah.Aku menelan ludah. Ada perasaan aneh, takut, ragu, bercampur jadi satu. Perlahan, dengan jemari bergetar, aku menggeser ikon hijau di layar ponselku.“Ha-halo?” suaraku nyaris tak terdengar.Hening sesaat. Hingga tak lama, suara itu terdengar. Parau, lemah, namun begitu jujur.“Aku minta maaf, Kak ...,” suara Sarah terdengar berat seperti tertahan oleh sesak yang tak mampu ia bendung lagi. “Aku udah lancang. Aku sebenarnya cinta sama Kak Afnan ... lebih dari kakakku sendiri.&rdqu

  • Bukan Pernikahan impian   Permintaan Yang Mengguncang

    Langit Jakarta siang itu mendung. Seolah ikut merasakan beban yang menggelayut di dada kami sejak mobil memasuki area Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan, Mas Afnan lebih banyak diam. Matanya menatap keluar jendela, tetapi aku tahu pikirannya tak berada di sana.Aku menggenggam tangannya sekedar mencoba menyalurkan kekuatan, meski aku sendiri merasa lemas. Begitu pintu kamar rawat inap terbuka, aroma antiseptik dan suara alat medis langsung menyergap. Di dalam, kulihat Mama Diana duduk di kursi dengan wajah letih."Assalamu'alaikum, Ma," suara Mas Afnan memecah keheningan..Mama Diana mengangkat wajahnya. Matanya tampak bengkak seperti sudah terlalu lama berurusan dengan air mata."Wa'alaikumussalam," balasnya berusaha tersenyum, tapi senyuman itu terlalu rapuh.Aku menoleh dan baru menyadari Sarah terbaring di ranjang Rumah Saki. Wajahnya pucat, meski matanya masih memancarkan sisa semangat.Tapi bukan itu yang membuat dunia kami seketika terasa runtuh."Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya

  • Bukan Pernikahan impian   Dering Ponsel

    Sinar matahari pagi menembus tirai kamar dan menyentuh lembut di wajahku. Perlahan aku mengerjapkan mata dan mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Tapi saat aku hendak bangkit dari pembaringan, tubuhku terasa begitu berat. Bukan hanya karena lelah, tapi juga karena sebuah lengan kekar yang melingkupiku erat. Seolah enggan membiarkanku pergi begitu saja.Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengumpulkan tenaga. Namun baru sekadar menggerakkan tubuh, rasa pegal itu menyerbu. Malam tadi, Mas Afnan … aku mengatupkan bibirku. Pipiku panas seketika mengingat apa yang terjadi. Mas Afnan seolah menumpahkan semua yang dia pendam selama ini. Rindu, cinta, bahkan rasa sakitnya. Semuanya dia sampaikan tanpa kata, tapi dengan setiap dekap dan sentuhan, setiap kehangatan yang masih membekas di kulitku hingga pagi ini.Aku memejamkan mata kembali. Pasrah dalam rebahan. Tubuhku benar-benar tak sanggup untuk bangkit. Lagi pula, lengan Mas Afnan yang masih setia mendek

  • Bukan Pernikahan impian   Terima Kasih, Mas

    Langit sore mulai meredup. Warna jingga menyelusup perlahan ke sela-sela daun mangga di halaman Masjid Al-Ikhsan yang baru direnovasi. Aku berdiri di dekat meja distribusi dan merapikan tumpukan amplop kecil yang berisi uang santunan. Sementara Mas Afnan tengah sibuk membagikan kotak makanan kepada para anak yatim yang duduk tertib di sisi aula.Melihat wajah-wajah polos itu tersenyum, dada ini hangat luar biasa. Ada rasa syukur yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi lebih dari itu, ada satu sosok yang ingin sekali aku hampiri dan peluk erat-erat saat ini juga.Langkahku mendekat ke arah Mas Afnan yang sedang membungkuk menyalami seorang anak kecil. Aku menunggu sebentar sampai ia selesai, lalu tanpa sadar menepuk pelan lengannya.“Mas,” panggilku.Dia menoleh. Matanya teduh seperti biasa. “Hm?”Aku menatap matanya sebentar, lalu berkata, “Makasih ya.”Kening Mas Afnan sedikit menyerngit. “U

  • Bukan Pernikahan impian   Hari Istimewa Safa

    Angin sore meniup pelan kerudungku ketika kami berdua turun dari mobil. Matahari mulai condong ke barat dan menyisakan langit jingga yang menyapu atap-atap rumah dan bangunan sekitar. Tapi yang paling mencuri perhatianku adalah bangunan megah bercat putih susu dengan sentuhan hijau zamrud di kubahnya. Masjid Al-Ikhsan.Aku membeku sejenak di tempat dan menatap bangunan itu dengan mata berbinar. “Masya Allah!” Bibirku refleks berucap.Dulu, Masjid ini hanya bangunan sederhana. Tapi sekarang begitu bersih, rapi, megah. Bahkan, dari luar saja sudah tampak jauh lebih ramah untuk semua jamaah. Apalagi saat Mas Afnan menggandeng tanganku masuk, dan aku melihat detailnya satu per satu. Tempat wudhu wanita dan pria yang kini dipisah rapi, tempat penitipan sandal yang teratur, serta lorong kecil menuju tempat shalat wanita yang jauh lebih nyaman dan tertutup.“Ini indah banget, Mas.” Aku menoleh ke arahnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan

  • Bukan Pernikahan impian   Kembali Bersamamu

    Aku tak tahu berapa lama kami duduk dalam perjalanan menuju Kantor Polisi, tapi jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Di sampingku, Mas Afnan menggenggam erat tanganku agar aku tetap bisa duduk tegak dan tidak roboh oleh rasa takut yang mulai menjalar lagi ke seluruh tubuhku.Sesampainya di sana, Mas Afnan berbicara pada petugas jaga dengan tenang dan tegas, lalu meminta izin untuk mengunjungi seseorang yang kini kutahu bernama Arif. Nama lelaki yang menghancurkan hidupku dalam semalam, lalu pergi tanpa jejak dan menyisakan bayang-bayang gelap yang selama ini kupendam sendirian.Kami diarahkan ke sebuah ruangan dengan meja panjang dan dua kursi berhadapan. Ruangan itu dingin dan terlalu hening. Hal itu membuatku menggenggam tangan Mas Afnan lebih kencang. Nafasku tak beraturan. Aku tahu aku harus melewati ini, tapi Tuhan ... rasanya nafas ini begitu sesak.Pintu ruangan itu terbuka. Suara langkah sepatu dan rantai borgol bergemerincing, membuat ja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status