Pagi itu terasa lebih lambat dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan menyiapkan sarapan, ketika Mas Afnan turun dari tangga dengan kemeja biru langit yang baru disetrika semalam. Wajahnya tampak segar, senyumnya seperti biasa. Tenang dan meneduhkan.
Namun, senyum itu perlahan memudar dari wajahku saat aku mendengar kabar kalau Papa dan Azzam sudah berangkat lebih dulu pagi ini. Dan itu berarti, Sarah harus diantar Mas Afnan sendiri ke kampusnya.
Aku tahu Sarah belum sepenuhnya pulih dari trauma kecelakaannya. Belum cukup percaya diri untuk menyetir mobil sendiri. Tapi tetap saja, ada rasa tak nyaman yang mengendap dalam hati saat membayangkan mereka berdua di dalam mobil yang sama.
Terlebih setelah aku tahu, kalau mereka bukan saudara kandung.
Dan tatapan Sarah akhir-akhir ini, tatapan yang membuat pikiranku dipenuhi dengan banyak kemungkinan yang tak kuinginkan.
Tapi aku cepat-cepat menepisnya. Aku menghembuskan nafas panjang dan berkata dalam
Beberapa hari ini, suasana rumah terasa berbeda. Tidak ramai, tapi juga tidak benar-benar sepi. Ada keheningan yang menggantung. Seperti awan gelap yang belum juga menurunkan hujannya. Mas Afnan mulai jarang ada di rumah. Kalau pun pulang, selalu larut malam, kadang lewat tengah malam. Alasannya selalu sama. Lembur di kantor.Awalnya aku memaklumi. Aku tahu tanggung jawab Mas Afnan cukup besar. Tetapi, yang membuatku mulai bertanya-tanya adalah ketika papa juga tidak seintens itu pulang telatnya. Bahkan Azzam, kepala keuangan sekaligus tangan kanan papa, juga masih bisa makan malam bersama keluarga.Hanya Mas Afnan. Seolah kesibukannya di sana jauh lebih banyak ketimbang Papa dan Azzam.Malam ini, ketika akhirnya Mas Afnan pulang dan membuka pintu kamar dengan senyum lelah, aku tak kuasa menahan tanya yang sudah lama kutahan.“Mas,” panggilku pelan sambil bangkit dari duduk di sisi ranjang.Mas Afnan tersenyum. Dia menggantung jaketnya sejenak, lalu menghampiriku. “Iya, Sayang?”“Kerj
Langkahku ringan ketika mendengar suara deru mobil di halaman. Niatnya ingin menyambut dengan senyuman seperti biasa. Namun, langkahku langsung terhenti di ambang pintu saat melihat siapa yang turun dari kursi penumpang. Sarah.Dengan langkah santai, dia membuka pintu mobil dan turun dengan senyum lebar. Sementara Mas Afnan keluar dari sisi pengemudi dengan wajah datar seperti biasa.Mama yang baru muncul dari dapur, lebih dulu menyahut, “Eh? Kalian kok pulangnya barengan lagi?”Sarah menjawab ringan sambil menenteng tas selempangnya. “Tadi ada tugas tambahan dari dosen, Ma. Jadi Kak Afnan jemput aku lagi.”Mama mengangguk-angguk paham. “Oh, yaudah, mandi dulu gih, pasti capek.”Aku berdiri diam di tempat. Senyumku nyaris pudar. Ada rasa asing yang merayap perlahan di dada. Sesak. Kenapa rasanya seperti ini?Padahal, aku tahu Mas Afnan hanya menjemput. Aku juga tahu Sarah masih trauma menyetir. Ta
Pagi itu terasa lebih lambat dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan menyiapkan sarapan, ketika Mas Afnan turun dari tangga dengan kemeja biru langit yang baru disetrika semalam. Wajahnya tampak segar, senyumnya seperti biasa. Tenang dan meneduhkan.Namun, senyum itu perlahan memudar dari wajahku saat aku mendengar kabar kalau Papa dan Azzam sudah berangkat lebih dulu pagi ini. Dan itu berarti, Sarah harus diantar Mas Afnan sendiri ke kampusnya.Aku tahu Sarah belum sepenuhnya pulih dari trauma kecelakaannya. Belum cukup percaya diri untuk menyetir mobil sendiri. Tapi tetap saja, ada rasa tak nyaman yang mengendap dalam hati saat membayangkan mereka berdua di dalam mobil yang sama.Terlebih setelah aku tahu, kalau mereka bukan saudara kandung.Dan tatapan Sarah akhir-akhir ini, tatapan yang membuat pikiranku dipenuhi dengan banyak kemungkinan yang tak kuinginkan.Tapi aku cepat-cepat menepisnya. Aku menghembuskan nafas panjang dan berkata dalam
Aku melangkah ke dapur dengan niat sederhana. Yaitu, mengambil beberapa potong buah untuk menemani soreku bersama Mas Afnan. Tetapi, baru saja tanganku meraih mangkuk di atas meja, suara yang sudah tak asing terdengar dari arah belakang.“Kayaknya kamu sama Afnan makin hari makin lengket aja, ya.”Aku menghela nafas pelan dan berat. Aku sedang tidak ingin menanggapi. Apalagi, jika itu datang dari Azzam. Aku memilih untuk diam. Aku membalikkan badan, berniat segera kembali ke kamar.Namun, langkahku terhenti saat ia kembali bersuara. “Hati-hati, Saf. Kadang kalau kita terlalu kecintaan sama orang, nanti kalau sekali dikecewain bakalan sakit banget.”Ucapannya itu seperti menyentil sisi terdalam dalam diriku. Bagian yang sempat menyimpan ragu, cemas, dan takut. Tapi tidak, aku tidak boleh membiarkan orang lain merusak kepercayaanku pada Mas Afnan. Tidak lagi.Aku mengepalkan tangan, lalu memutar tubuhku perlahan dan menatap Az
Mama menatapku lebih dalam. “Kalau pun suatu hari nanti Afnan membuat kamu kecewa, ingatlah dia bukan laki-laki yang mudah menunjukkan alasannya. Tapi dia bukan tipe yang menyakiti tanpa maksud.”Aku menggigit bibir bawahku pelan.“Kalau Afnan sudah mencintai seseorang dengan tulus, cintanya nggak akan pernah berubah,” lanjut Mama. “Dia hanya butuh seseorang yang bisa terus menggandengnya, bukan yang melepaskan saat dia sedang jatuh.”Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang bergetar. “Insya Allah, Ma. Selama semua itu masih berada dalam batas yang Allah tetapkan, aku akan tetap di sisi Mas Afnan. Aku akan tetap jadi istrinya, pendampingnya, semampu yang aku bisa.”Mama tersenyum. Air matanya menetes lagi, tapi kali ini terasa berbeda. Ada kelegaan. Ada ketenangan. “Terima kasih, Safa.”Kami berdua saling menggenggam erat. Dua perempuan yang sama-sama mencintai laki-laki
Siang harinya, aku berniat ke dapur sekadar ingin membuat minuman hangat untuk mengisi waktu di rumah yang mendadak terasa sepi. Tetapi, langkahku terhenti saat tanpa sengaja melewati kamar Mama Diana.Pintu kamar itu sedikit terbuka. Dan dari celahnya aku bisa melihat sosok Mama duduk di ujung ranjang sedang memeluk album foto yang terbuka di pangkuannya. Bahunya yang naik-turun dengan pelan dan dari suara isak lirih yang kudengar, aku tahu beliau sedang menangis.Aku terpaku. Ingin masuk dan menenangkan, tapi aku ragu. Apakah ini waktu yang tepat? Atau justru malah mengganggu? Aku pun memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan beliau dengan privasinya. Tetapi, sebelum aku benar-benar menjauh, suara lembut itu memanggilku, “Safa.”Aku menoleh cepat. “M-maaf, Ma. Aku nggak sengaja lihat,” ucapku gugup dan merasa tak enak telah memergoki momen pribadi yang begitu rapuh.Mama Diana menggeleng pelan sambil mengusap matanya, lalu membe
Pintu kamar terbuka pelan, lalu disusul suara langkah kaki yang begitu kukenal. Aku buru-buru bangkit dari dudukku di tepi ranjang dan memasang senyum tenang seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.Mas Afnan masuk dengan senyum lembutnya yang hangat. Sorot matanya menatapku seperti biasa. Hangat, penuh cinta, dan selalu menenangkan.Tanpa berkata apa-apa lebih dulu, aku menyambutnya dengan lembut. Tanganku terulur, menggenggam jemarinya, dan kubungkukkan tubuhku pelan, mencium punggung tangannya dengan khidmat. “Selamat datang di kamar yang selalu menunggu, Mas,” ucapku pelan. Setulus yang aku bisa.Mas Afnan tersenyum kecil. Jari-jarinya membelai pelan kepalaku. “Maaf ya, Saf," katanya setelah beberapa detik hening. "Sepertinya kita belum bisa balik ke desa secepatnya. Masih ada beberapa hal yang harus aku bantu Papa selesaikan di sini."Aku mengerjap dan sedikit terkejut.Kupikir dengan semuanya yang mulai mereda atau setidakny
Malam itu, setelah pembicaraan panjang dengan Mas Afnan, fikiranku tidak juga tenang. Aku mencoba tidur, tapi mata ini terus terbuka. Entah karena kaget, atau karena sebuah keinginan yang perlahan tumbuh. Aku ingin tahu lebih jauh tentang Sarah.Bukan untuk mencurigai, tapi setelah semua yang terungkap. Tentang kecelakaan, koma, dan luka-lukanya. Aku merasa ada lebih banyak hal yang belum diceritakan. Dan mungkin, hanya Sarah yang bisa menjawab.Jadi, aku bangun perlahan dari tempat tidur. Aku melangkah keluar kamar dengan niat hati untuk berbicara baik-baik dengannya, tapi belum sempat aku mengetuk pintu kamarnya, langkahku terhenti. Karena suara Sarah terdengar jelas dari balik dinding.Nada suaranya rendah. Penuh desakan dan amarah yang ditahan.“Terlarang? Aku nggak peduli!” desisnya dengan nada tertahan. “Aku cuma mau dia. Apa pun yang terjadi, aku cuma mau dia ...!”Aku membeku. Hatiku seperti jatuh ke perut. Jari-jari
Sentuhan hangat Mas Afnan di tengkukku membuatku sedikit menunduk. Jemarinya mengusap lembut helaian rambutku yang terurai. Aku tahu ini bukan pertama kalinya ia menunjukkan sisi manisnya seperti ini, tapi tetap saja detak jantungku selalu tak terkendali.Tapi di saat itu, ketika aku hendak memejamkan mata dan membiarkan diriku menikmati momen kehangatan kami sebagai pasangan halal, mataku tanpa sengaja menatap ke arah luar dapur.Aku langsung membeku.Di ambang pintu, berdiri seseorang. Sosok itu tak lain adalah Sarah. Tubuhnya tegak mematung. Matanya mengarah lurus ke arahku dan Mas Afnan dengan ekspresi yang sulit kutafsirkan.Kaget. Terpukul. Atau ... kecewa?Seketika aku mendorong pelan dada Mas Afnan dengan kedua tanganku. “Mas,” bisikku gugup sambil memberi isyarat kecil ke arah luar, berharap ia segera menyadari situasi yang terjadi.Mas Afnan menoleh dengan lambat. Dan ketika pandangannya menyusul arah mataku dan menemukan Sarah di sana, reaksinya justru di luar dugaanku. Waj