Share

102. Sejarah

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-08-04 12:48:28
Di pagi yang cerah, Begitu Ryota turun dari mobilnya, Erol segera menghampiri dengan sigap.

“Sudah temukan wanita itu?” tanyanya langsung memotong pagi yang masih tenang.

“Belum, Tuan,” jawab Erol cepat, matanya menatap lurus ke depan. Seharusnya tidak sesulit itu menemukan Vanessa. Seperti nyamuk saja, mengganggu tapi pas dicari buat dibunuh malah tidak kelihatan.

Seorang satpam yang berjaga di pintu lobi utama segera memberi hormat formalitas, “Selamat pagi, Pak.”

Biasanya Ryota hanya lewat tanpa menoleh. Tapi pagi ini, ia sempatkan menoleh sejenak. Sebuah senyum tipis terbit di sudut bibirnya.

Sang satpam terdiam beberapa detik. Matahari belum terbit dari barat kan?

Erol sempat melirik, tapi tak berkata apa-apa. Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, melewati beberapa staf yang tengah berjalan menuju lantai masing-masing. Semuanya refleks menepi, memberi jalan, dan menunduk hormat.

Tak ada penyambutan resmi setiap kali ia datang, budaya di perusahaan energi Ryota t
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (4)
goodnovel comment avatar
umi firunikah
senyum senyum sendiri saya
goodnovel comment avatar
Suzanna Zainal
yeay... 2 part, lebih banyak lagi thor .........
goodnovel comment avatar
Neni Aryani
update Lbh byk Lg thor..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   104. Nakal

    Wanita bernama Keira itu menunduk sedikit pada Ryota sebelum duduk di samping Julien. “Senang akhirnya bisa bertemu langsung, sepupu,” sapanya sopan. Suaranya jernih. Wajahnya menyiratkan keramahan, sorot matanya terbuka. Keira tampak seperti wanita muda yang cemerlang. Ryota hanya mengangguk ringan, tatapan datarnya tak berubah. Keira tersenyum kecil, memperbaiki duduknya dengan tenang, lalu melirik ayahnya. “Jadi... sudah mulai bicara serius?” candanya setengah tertawa. "Keira mengambil master di Institut Français de la Mode, Paris. Tiga tahun bekerja di sana. Kalau saja Noire Luxe tidak menariknya sebagai Senior Brand Manager, dia mungkin tak akan kembali." ujar Julien pada Ryota. Noire Luxe, rumah mode multinasional yang memayungi sejumlah lini mewah global. Basisnya di Eropa, dengan pengaruh kuat di New York, dan Asia. “Tahun lalu, dia menjadi perwakilan termuda dari Asia dalam Global Luxury Summit di Milan,” imbuh Julien, nada suaranya tak menyembunyikan kebanggaan.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   103. Hak Veto

    “Oke,” jawab Elara singkat.Livia ikut menyandarkan tubuhnya ke meja, menyilangkan tangan. “Topik framing dan bahasa, ya? Kayaknya sih bisa langsung bahas iklan, paling gampang.”Elara menoleh ke arah Livia. “Iklan kosmetik sering banget pakai kata-kata yang ngelabui. Kayak ‘kulit tampak lebih cerah’ daripada ‘mengandung pemutih’," imbuh Livia. “Bisa,” sahut Revan. “Aku kepikiran kampanye vaksin kemarin. Kata ‘efek samping’ diganti jadi ‘reaksi normal tubuh’. Itu framing juga, kan?”Livia melirik Elara. “Kamu sendiri, Ra, punya contoh lain?”Elara sempat terdiam sejenak. Otaknya memang masih sibuk dengan hal lain beberapa menit lalu, tapi ia tak ingin terlihat melamun.“Frasa ‘pembinaan’ pada berita kriminal. Itu juga framing. Sama seperti ‘relokasi warga’ padahal sebenarnya mereka digusur," kata Elara. Revan mengangguk setuju. “Itu contoh menipu tanpa harus bohong.”Diskusi kecil di kelas itu terus berlangsung selama beberapa menit, hingga suara Pak Javin kembali memimpin ruang ke

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   102. Sejarah

    Di pagi yang cerah, Begitu Ryota turun dari mobilnya, Erol segera menghampiri dengan sigap. “Sudah temukan wanita itu?” tanyanya langsung memotong pagi yang masih tenang. “Belum, Tuan,” jawab Erol cepat, matanya menatap lurus ke depan. Seharusnya tidak sesulit itu menemukan Vanessa. Seperti nyamuk saja, mengganggu tapi pas dicari buat dibunuh malah tidak kelihatan. Seorang satpam yang berjaga di pintu lobi utama segera memberi hormat formalitas, “Selamat pagi, Pak.” Biasanya Ryota hanya lewat tanpa menoleh. Tapi pagi ini, ia sempatkan menoleh sejenak. Sebuah senyum tipis terbit di sudut bibirnya. Sang satpam terdiam beberapa detik. Matahari belum terbit dari barat kan? Erol sempat melirik, tapi tak berkata apa-apa. Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, melewati beberapa staf yang tengah berjalan menuju lantai masing-masing. Semuanya refleks menepi, memberi jalan, dan menunduk hormat. Tak ada penyambutan resmi setiap kali ia datang, budaya di perusahaan energi Ryota t

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   101. Kecoak

    Risih. Jijik. Itulah reaksi yang terprogram di sistem saraf Ryota setiap kali kulitnya disentuh wanita, meskipun itu pelacur yang ia bayar. Jika berani menciumnya akan langsung memantik rasa muak dalam dirinya. Apalagi jika sentuhan itu bernuansa manja, lembut, atau penuh harap. Menjijikkan. Itu normal—bagi Ryota. Karena di otaknya, mereka adalah perangkat biologis, sarana untuk melampiaskan desakan primal. Sama seperti makan saat lapar atau tidur saat lelah. Tapi Elara justru mengganggu sistemnya. Logika yang ia bangun runtuh oleh gerakan amatir—yang bahkan tidak tahu bagaimana seharusnya menyentuh seorang pria. Ia membenci fakta bahwa otaknya menolak, namun tubuhnya bereaksi sebaliknya. Bersikap dingin. Membekukan semua yang sempat mencair dalam dirinya. Adalah caranya untuk tetap menjadi waras menurut versinya. Tapi ia butuh validasi, untuk memastikan bahwa semua itu hanyalah masalah hormon, bukan perasaan. Maka ia menyuruh Elara kembali menyentuhnya. Kali ini, istri kec

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   100. Megan?

    Setelah makan siang dan sesi foto bersama yang cukup melelahkan, Anya tertidur di pangkuan Elara di perjalanan pulang. Kepala kecil itu bersandar nyaman, napasnya teratur. Elara menunduk, mengusap lembut rambut halus putri kecil itu. "Adik kecil?" gumamnya. Ia menatap wajah polos Anya yang sedang tidur. Pipinya merah muda, rambutnya sedikit berantakan. Pikiran Elara melayang ke Ryota. Pria itu… tidak pernah setengah-setengah dalam sesuatu. Apakah... dia berpikir membeli robot humanoid AI untuk Anya? Elara mengerjap. Imajinasi aneh itu muncul begitu saja—sosok robot dengan wajah manusia, kulit sintetis, mata membulat. Seperti tokoh dalam film yang pernah ia tonton, M3GAN. Robot pengasuh. Pintar, patuh, hampir sempurna—hingga berubah menjadi mimpi buruk. Ia mengusap pelipisnya, mencoba menepis gambaran absurd itu dari benaknya. *** Sesampainya di rumah, Elara menggendong Anya yang masih tertidur dengan hati-hati. Dua pengasuh menyambutnya di depan pintu, salah satunya seg

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   99. Hari Anya

    Mobil yang membawa Elara dan Anya berhenti perlahan di depan pintu masuk utama sebuah gedung berarsitektur modern minimalis. Begitu pintu mobil dibuka oleh seorang petugas, Elara turun lebih dulu sebelum menuntun Anya. Seorang pria paruh baya berpakaian rapi dengan jas abu-abu melangkah maju, disusul oleh dua staf perempuan di belakangnya. “Selamat pagi, Ibu Elara.” Pria itu menyambut dengan senyum ramah dan sedikit membungkuk. “Saya Arsyad, direktur artistik di sini. Merupakan kehormatan bagi kami menerima Anda dan putri Anda hari ini.” Elara mengangguk sopan, meski masih tidak tahu mereka mau ngapain. “Terima kasih,” balasnya singkat. “Justru kami yang berterima kasih atas kepercayaan Anda.” Ia lalu menoleh ke arah Anya dengan ekspresi yang dibuat seramah mungkin untuk anak kecil. “Nah, ini yang kami tunggu-tunggu, tamu kecil paling istimewa hari ini.” Anya hanya memasang wajah datar. Elara yang menggenggam tangannya, tersenyum dalam hati. Gadis kecil itu sangat mirip dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status