Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab.
Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Tamu yang lain ikut menimpali dengan tawa kecil. “Iya, enak ya. Nggak perlu pusing mikirin kerjaan, tinggal di rumah, masak, beres-beres, udah. Pagi bisa santai, siang bisa istirahat. Pokoknya nggak capek, deh.” “Benar! Anak perempuanku juga kalau bisa milih, mau lho, jadi ibu rumah tangga aja,” tambah yang lain. “Sayangnya, menantuku nggak sekaya Nak Daris. Jadi ya… anakku harus ikut kerja, pergi pagi pulang sore.” Suasana di ruang tamu dipenuhi tawa. Elara tetap diam. Setelah semua tamu mendapatkan teh dan kudapan, ia lalu mundur perlahan kembali ke dapur. Enak? Elara menahan tawa pahit. ‘Mereka pikir ia bisa duduk santai, menikmati hidup tanpa beban?’ Dari pagi hingga malam, tangannya tak pernah berhenti bekerja. Mencuci, memasak, membersihkan rumah yang tak pernah benar-benar rapi karena tak ada seorang pun yang peduli. Ketika orang lain pulang kerja dan bisa sedikit bersantai, ia justru masih sibuk memastikan semua orang di rumah itu makan dengan nyaman di rumah yang harus selalu bersih dan rapi. Tapi, siapa yang peduli? Bagi mereka, wanita seperti Elara seharusnya merasa beruntung. Setelah memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi di meja makan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke ruang tamu, tempat ibu mertuanya masih sibuk berbincang dengan para tamunya. "Ma," katanya dengan nada sopan. "Makanannya sudah siap." Ibu Rahayu melirik sekilas ke arah Elara, lalu kembali tersenyum kepada tamu-tamunya. "Silakan, ayo kita makan dulu," katanya ramah, bangkit dari tempat duduknya. Para tamu mengikutinya dengan langkah santai, masih asyik berbincang. Beberapa di antara mereka menoleh ke arah Elara, memberikan senyum sekilas. Saat semua orang telah duduk, Elara dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas-gelas kosong, memastikan semua tamu memiliki air minum. "Kamu nggak ikut makan?" salah seorang tamu bertanya, suaranya terdengar ramah, meski di telinga Elara lebih seperti bentuk keheranan. Elara tersenyum tipis. "Saya harus jemput Arka dulu, Bu," jawabnya. "Oh, iya, iya. Ibu rumah tangga pasti sibuk terus, ya." Elara hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Sementara Rahayu tidak menanggapi, hanya sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuknya sendiri. Bagi beliau, kewajiban Elara adalah mengurus semuanya, termasuk menjemput Arka. ** Saat Elara tiba di halaman sekolah untuk menjemput Arka, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suasana yang biasanya riuh dengan tawa anak-anak kini dipenuhi bisik-bisik cemas dan langkah-langkah terburu-buru. Guru-guru dan staf sekolah tampak sibuk berlarian, wajah mereka tegang. "Anya menghilang!" suara seorang guru terdengar panik di tengah kerumunan. Elara merasakan tubuh Arka menegang di sampingnya. Refleks, ia memeluk putranya lebih erat. Di tengah kerumunan seorang wanita berdiri dengan ekspresi kalut. Ia adalah wali Anya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar saat ia berulang kali menekan nomor di ponselnya. Elara ingin berpaling. Ia sudah cukup lelah dengan kehidupannya sendiri. Kejadian anak hilang bukan urusannya. Namun, saat ia hendak berbalik, bayangan Anya kecil terlintas di benaknya. Jika benar anak kecil itu menghilang, mungkin sekarang ia sedang ketakutan di suatu tempat. Elara menarik napas panjang, lalu berjongkok agar sejajar dengan Arka. "Arka tahu Anya ke mana?" tanyanya lembut. Arka menggeleng cepat, terlalu cepat. Ada sesuatu dalam sorot matanya—ragu-ragu, gelisah. Elara menarik napas dalam, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Anya masih kecil seperti Arka. Jika Arka tiba-tiba menghilang, Ibu pasti akan sangat cemas dan sedih. Kasihan orang tua Anya, bingung dan sedih nyariin Anya." Arka menundukkan kepalanya. "Tadi... tadi Anya bilang dia mau bersembunyi, Bu," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Elara menahan napas. "Arka tahu di mana Anya bersembunyi?" Arka menggigit bibirnya, lalu membisikan sesuatu. Setelah mendengar bisikan Arka, Elara tidak membuang waktu. Ia segera menggenggam tangan putranya dan berjalan cepat keluar gerbang sekolah. Tak jauh dari sana ada penjual es krim. Dan di sanalah ia menemukan gadis kecil bernama Anya. Anya berdiri sendirian di dekat gerobak es krim, kakinya menggoyang-goyang kecil seolah sedang menunggu sesuatu. Elara menghela napas lega, lalu dengan langkah perlahan, ia mendekati gadis kecil itu. "Anya mau es krim?" tanyanya lembut, berusaha agar suaranya terdengar setenang mungkin. Anya tersentak kecil dan menoleh. Bibir mungilnya mengerucut kesal, lalu ia melirik Arka dengan tatapan tajam. Arka menunduk, menghindari tatapan Anya. Tangannya mencengkeram jemari Elara lebih erat, merasa sedikit bersalah karena telah memberitahu ibunya. Elara tersenyum sabar, berjongkok agar sejajar dengan Anya. "Semua orang sedang mencari Anya, Sayang. Bunda sangat cemas karena tidak menemukan Anya di sekolah." Anya menundukkan kepala. Tanpa berkata-kata, Elara mengeluarkan uang dan membeli dua es krim. Satu ia berikan pada Arka, satu lagi pada Anya. “Kalau ingin keluar dari sekolah, Anya bisa bilang dulu ke Bu Guru, ya,” kata Elara pelan sembari memberikan es krim kepada Anya. Anya mengangkat wajahnya, menatap Elara sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan dan mengambil es krimnya. "Yuk, kita kembali ke sekolah," ajak Elara sambil mengulurkan tangannya kepada Anya. Bukannya menurut, Anya justru berlari menjauh. Elara panik. Ia segera menelepon pihak sekolah dan memberitahu keberadaannya saat ini, kemudian mengejar Anya sambil menggendong Arka. “Anya, tunggu!” Anya baru berhenti ketika mereka sampai di sebuah taman. lalu Gadis kecil itu duduk tenang di bangku sambil menikmati es krimnya. Tak lama kemudian, guru dan wali Anya datang. Namun, alih-alih tampak lega, wali anak itu tampak kesal. "Apa yang Anda berikan kepada Anya?!" hardiknya kepada Elara. Wanita itu merebut es dari tangan Anya dan langsung membuangnya ke tanah. Dia kemudian menatap Elara nyalang. "Kau pikir siapa dirimu? Menculik anak orang dan memberi makanan sembarangan! Apa kau ingin Anya sakit?!"“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan