Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab.
Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Tamu yang lain ikut menimpali dengan tawa kecil. “Iya, enak ya. Nggak perlu pusing mikirin kerjaan, tinggal di rumah, masak, beres-beres, udah. Pagi bisa santai, siang bisa istirahat. Pokoknya nggak capek, deh.” “Benar! Anak perempuanku juga kalau bisa milih, mau lho, jadi ibu rumah tangga aja,” tambah yang lain. “Sayangnya, menantuku nggak sekaya Nak Daris. Jadi ya… anakku harus ikut kerja, pergi pagi pulang sore.” Suasana di ruang tamu dipenuhi tawa. Elara tetap diam. Setelah semua tamu mendapatkan teh dan kudapan, ia lalu mundur perlahan kembali ke dapur. Enak? Elara menahan tawa pahit. ‘Mereka pikir ia bisa duduk santai, menikmati hidup tanpa beban?’ Dari pagi hingga malam, tangannya tak pernah berhenti bekerja. Mencuci, memasak, membersihkan rumah yang tak pernah benar-benar rapi karena tak ada seorang pun yang peduli. Ketika orang lain pulang kerja dan bisa sedikit bersantai, ia justru masih sibuk memastikan semua orang di rumah itu makan dengan nyaman di rumah yang harus selalu bersih dan rapi. Tapi, siapa yang peduli? Bagi mereka, wanita seperti Elara seharusnya merasa beruntung. Setelah memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi di meja makan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke ruang tamu, tempat ibu mertuanya masih sibuk berbincang dengan para tamunya. "Ma," katanya dengan nada sopan. "Makanannya sudah siap." Ibu Rahayu melirik sekilas ke arah Elara, lalu kembali tersenyum kepada tamu-tamunya. "Silakan, ayo kita makan dulu," katanya ramah, bangkit dari tempat duduknya. Para tamu mengikutinya dengan langkah santai, masih asyik berbincang. Beberapa di antara mereka menoleh ke arah Elara, memberikan senyum sekilas. Saat semua orang telah duduk, Elara dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas-gelas kosong, memastikan semua tamu memiliki air minum. "Kamu nggak ikut makan?" salah seorang tamu bertanya, suaranya terdengar ramah, meski di telinga Elara lebih seperti bentuk keheranan. Elara tersenyum tipis. "Saya harus jemput Arka dulu, Bu," jawabnya. "Oh, iya, iya. Ibu rumah tangga pasti sibuk terus, ya." Elara hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Sementara Rahayu tidak menanggapi, hanya sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuknya sendiri. Bagi beliau, kewajiban Elara adalah mengurus semuanya, termasuk menjemput Arka. ** Saat Elara tiba di halaman sekolah untuk menjemput Arka, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suasana yang biasanya riuh dengan tawa anak-anak kini dipenuhi bisik-bisik cemas dan langkah-langkah terburu-buru. Guru-guru dan staf sekolah tampak sibuk berlarian, wajah mereka tegang. "Anya menghilang!" suara seorang guru terdengar panik di tengah kerumunan. Elara merasakan tubuh Arka menegang di sampingnya. Refleks, ia memeluk putranya lebih erat. Di tengah kerumunan seorang wanita berdiri dengan ekspresi kalut. Ia adalah wali Anya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar saat ia berulang kali menekan nomor di ponselnya. Elara ingin berpaling. Ia sudah cukup lelah dengan kehidupannya sendiri. Kejadian anak hilang bukan urusannya. Namun, saat ia hendak berbalik, bayangan Anya kecil terlintas di benaknya. Jika benar anak kecil itu menghilang, mungkin sekarang ia sedang ketakutan di suatu tempat. Elara menarik napas panjang, lalu berjongkok agar sejajar dengan Arka. "Arka tahu Anya ke mana?" tanyanya lembut. Arka menggeleng cepat, terlalu cepat. Ada sesuatu dalam sorot matanya—ragu-ragu, gelisah. Elara menarik napas dalam, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Anya masih kecil seperti Arka. Jika Arka tiba-tiba menghilang, Ibu pasti akan sangat cemas dan sedih. Kasihan orang tua Anya, bingung dan sedih nyariin Anya." Arka menundukkan kepalanya. "Tadi... tadi Anya bilang dia mau bersembunyi, Bu," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Elara menahan napas. "Arka tahu di mana Anya bersembunyi?" Arka menggigit bibirnya, lalu membisikan sesuatu. Setelah mendengar bisikan Arka, Elara tidak membuang waktu. Ia segera menggenggam tangan putranya dan berjalan cepat keluar gerbang sekolah. Tak jauh dari sana ada penjual es krim. Dan di sanalah ia menemukan gadis kecil bernama Anya. Anya berdiri sendirian di dekat gerobak es krim, kakinya menggoyang-goyang kecil seolah sedang menunggu sesuatu. Elara menghela napas lega, lalu dengan langkah perlahan, ia mendekati gadis kecil itu. "Anya mau es krim?" tanyanya lembut, berusaha agar suaranya terdengar setenang mungkin. Anya tersentak kecil dan menoleh. Bibir mungilnya mengerucut kesal, lalu ia melirik Arka dengan tatapan tajam. Arka menunduk, menghindari tatapan Anya. Tangannya mencengkeram jemari Elara lebih erat, merasa sedikit bersalah karena telah memberitahu ibunya. Elara tersenyum sabar, berjongkok agar sejajar dengan Anya. "Semua orang sedang mencari Anya, Sayang. Bunda sangat cemas karena tidak menemukan Anya di sekolah." Anya menundukkan kepala. Tanpa berkata-kata, Elara mengeluarkan uang dan membeli dua es krim. Satu ia berikan pada Arka, satu lagi pada Anya. “Kalau ingin keluar dari sekolah, Anya bisa bilang dulu ke Bu Guru, ya,” kata Elara pelan sembari memberikan es krim kepada Anya. Anya mengangkat wajahnya, menatap Elara sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan dan mengambil es krimnya. "Yuk, kita kembali ke sekolah," ajak Elara sambil mengulurkan tangannya kepada Anya. Bukannya menurut, Anya justru berlari menjauh. Elara panik. Ia segera menelepon pihak sekolah dan memberitahu keberadaannya saat ini, kemudian mengejar Anya sambil menggendong Arka. “Anya, tunggu!” Anya baru berhenti ketika mereka sampai di sebuah taman. lalu Gadis kecil itu duduk tenang di bangku sambil menikmati es krimnya. Tak lama kemudian, guru dan wali Anya datang. Namun, alih-alih tampak lega, wali anak itu tampak kesal. "Apa yang Anda berikan kepada Anya?!" hardiknya kepada Elara. Wanita itu merebut es dari tangan Anya dan langsung membuangnya ke tanah. Dia kemudian menatap Elara nyalang. "Kau pikir siapa dirimu? Menculik anak orang dan memberi makanan sembarangan! Apa kau ingin Anya sakit?!"Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur
Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra
Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.
Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur
Tiga hari kemudian. Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. ElaraWanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.Baru saja Elara hendak melepas helm, s
“Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar
“Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.Ibu mertuanya.“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpu
Tiga hari kemudian. Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. ElaraWanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.Baru saja Elara hendak melepas helm, s
Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur
Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.
Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra
Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur
Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Ta
“Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.Ibu mertuanya.“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpu
“Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar