Share

3. Hilang

Penulis: SayaNi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-01 19:49:21

Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab.

Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya.

“Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain.

Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.”

Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.”

Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung.

“Kamu nggak kerja?”

Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi.

Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali.

“Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.”

Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?”

Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur.

Tamu yang lain ikut menimpali dengan tawa kecil. “Iya, enak ya. Nggak perlu pusing mikirin kerjaan, tinggal di rumah, masak, beres-beres, udah. Pagi bisa santai, siang bisa istirahat. Pokoknya nggak capek, deh.”

“Benar! Anak perempuanku juga kalau bisa milih, mau lho, jadi ibu rumah tangga aja,” tambah yang lain. “Sayangnya, menantuku nggak sekaya Nak Daris. Jadi ya… anakku harus ikut kerja, pergi pagi pulang sore.”

Suasana di ruang tamu dipenuhi tawa.

Elara tetap diam. Setelah semua tamu mendapatkan teh dan kudapan, ia lalu mundur perlahan kembali ke dapur.

Enak?

Elara menahan tawa pahit. ‘Mereka pikir ia bisa duduk santai, menikmati hidup tanpa beban?’

Dari pagi hingga malam, tangannya tak pernah berhenti bekerja. Mencuci, memasak, membersihkan rumah yang tak pernah benar-benar rapi karena tak ada seorang pun yang peduli.

Ketika orang lain pulang kerja dan bisa sedikit bersantai, ia justru masih sibuk memastikan semua orang di rumah itu makan dengan nyaman di rumah yang harus selalu bersih dan rapi.

Tapi, siapa yang peduli? Bagi mereka, wanita seperti Elara seharusnya merasa beruntung.

Setelah memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi di meja makan, ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke ruang tamu, tempat ibu mertuanya masih sibuk berbincang dengan para tamunya.

"Ma," katanya dengan nada sopan. "Makanannya sudah siap."

Ibu Rahayu melirik sekilas ke arah Elara, lalu kembali tersenyum kepada tamu-tamunya.

"Silakan, ayo kita makan dulu," katanya ramah, bangkit dari tempat duduknya.

Para tamu mengikutinya dengan langkah santai, masih asyik berbincang. Beberapa di antara mereka menoleh ke arah Elara, memberikan senyum sekilas.

Saat semua orang telah duduk, Elara dengan sigap menuangkan air ke dalam gelas-gelas kosong, memastikan semua tamu memiliki air minum.

"Kamu nggak ikut makan?" salah seorang tamu bertanya, suaranya terdengar ramah, meski di telinga Elara lebih seperti bentuk keheranan.

Elara tersenyum tipis. "Saya harus jemput Arka dulu, Bu," jawabnya.

"Oh, iya, iya. Ibu rumah tangga pasti sibuk terus, ya."

Elara hanya mengangguk kecil tanpa menjawab.

Sementara Rahayu tidak menanggapi, hanya sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuknya sendiri.

Bagi beliau, kewajiban Elara adalah mengurus semuanya, termasuk menjemput Arka.

**

Saat Elara tiba di halaman sekolah untuk menjemput Arka, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Suasana yang biasanya riuh dengan tawa anak-anak kini dipenuhi bisik-bisik cemas dan langkah-langkah terburu-buru. Guru-guru dan staf sekolah tampak sibuk berlarian, wajah mereka tegang.

"Anya menghilang!" suara seorang guru terdengar panik di tengah kerumunan.

Elara merasakan tubuh Arka menegang di sampingnya. Refleks, ia memeluk putranya lebih erat.

Di tengah kerumunan seorang wanita berdiri dengan ekspresi kalut. Ia adalah wali Anya. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar saat ia berulang kali menekan nomor di ponselnya.

Elara ingin berpaling. Ia sudah cukup lelah dengan kehidupannya sendiri. Kejadian anak hilang bukan urusannya.

Namun, saat ia hendak berbalik, bayangan Anya kecil terlintas di benaknya. Jika benar anak kecil itu menghilang, mungkin sekarang ia sedang ketakutan di suatu tempat.

Elara menarik napas panjang, lalu berjongkok agar sejajar dengan Arka. "Arka tahu Anya ke mana?" tanyanya lembut.

Arka menggeleng cepat, terlalu cepat. Ada sesuatu dalam sorot matanya—ragu-ragu, gelisah.

Elara menarik napas dalam, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Anya masih kecil seperti Arka. Jika Arka tiba-tiba menghilang, Ibu pasti akan sangat cemas dan sedih. Kasihan orang tua Anya, bingung dan sedih nyariin Anya."

Arka menundukkan kepalanya. "Tadi... tadi Anya bilang dia mau bersembunyi, Bu," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Elara menahan napas. "Arka tahu di mana Anya bersembunyi?"

Arka menggigit bibirnya, lalu membisikan sesuatu.

Setelah mendengar bisikan Arka, Elara tidak membuang waktu. Ia segera menggenggam tangan putranya dan berjalan cepat keluar gerbang sekolah.

Tak jauh dari sana ada penjual es krim. Dan di sanalah ia menemukan gadis kecil bernama Anya.

Anya berdiri sendirian di dekat gerobak es krim, kakinya menggoyang-goyang kecil seolah sedang menunggu sesuatu.

Elara menghela napas lega, lalu dengan langkah perlahan, ia mendekati gadis kecil itu.

"Anya mau es krim?" tanyanya lembut, berusaha agar suaranya terdengar setenang mungkin.

Anya tersentak kecil dan menoleh. Bibir mungilnya mengerucut kesal, lalu ia melirik Arka dengan tatapan tajam.

Arka menunduk, menghindari tatapan Anya. Tangannya mencengkeram jemari Elara lebih erat, merasa sedikit bersalah karena telah memberitahu ibunya.

Elara tersenyum sabar, berjongkok agar sejajar dengan Anya. "Semua orang sedang mencari Anya, Sayang. Bunda sangat cemas karena tidak menemukan Anya di sekolah."

Anya menundukkan kepala.

Tanpa berkata-kata, Elara mengeluarkan uang dan membeli dua es krim. Satu ia berikan pada Arka, satu lagi pada Anya.

“Kalau ingin keluar dari sekolah, Anya bisa bilang dulu ke Bu Guru, ya,” kata Elara pelan sembari memberikan es krim kepada Anya.

Anya mengangkat wajahnya, menatap Elara sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan dan mengambil es krimnya.

"Yuk, kita kembali ke sekolah," ajak Elara sambil mengulurkan tangannya kepada Anya.

Bukannya menurut, Anya justru berlari menjauh.

Elara panik. Ia segera menelepon pihak sekolah dan memberitahu keberadaannya saat ini, kemudian mengejar Anya sambil menggendong Arka.

“Anya, tunggu!”

Anya baru berhenti ketika mereka sampai di sebuah taman. lalu Gadis kecil itu duduk tenang di bangku sambil menikmati es krimnya.

Tak lama kemudian, guru dan wali Anya datang. Namun, alih-alih tampak lega, wali anak itu tampak kesal.

"Apa yang Anda berikan kepada Anya?!" hardiknya kepada Elara.

Wanita itu merebut es dari tangan Anya dan langsung membuangnya ke tanah.

Dia kemudian menatap Elara nyalang. "Kau pikir siapa dirimu? Menculik anak orang dan memberi makanan sembarangan! Apa kau ingin Anya sakit?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bonus Chapter

    Langit Kelowna bersuhu dua belas derajat Celsius sore itu, berwarna keemasan pucat. Suara bel penutup kelas bergema dari speaker sekolah. Di halaman sekolah, ratusan siswa middle school berseragam biru tua bergerak cepat ke arah area bus. Sekolah elit itu tidak membiarkan murid keluar ke jalan tanpa pengawasan. Bus kuning berjajar rapi, beberapa bertanda 'Route 4 – East Kelowna' dan 'Route 7 – Peachland.' Anya berjalan cepat menuju busnya, seragam biru tua dengan emblem sekolah di dada kiri, rok abu lipit di bawah lutut, dan syal abu muda melingkar longgar di lehernya. Rambutnya dikepang dua. Beberapa mobil orang tua sudah menunggu di jalur drop-off. Dari salah satu mobil itu, Cavell keluar. Ia berdiri, memperhatikan kerumunan sampai matanya menemukan Anya. "Anya Maren Kenneth?” Anya menoleh. Ia jarang mendengar seseorang memanggil nama tengahnya. “Yes?” Cavell tersenyum kecil, “Aku pamanmu. Papamu kasih alamat. Tapi kau tahu, mencari alamat sekolah lebih mudah daripada

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   151. Teman Baru

    Hari keempat belas, adalah hari terakhir Ryota menjalani perawatan di kamar rawat suite yang lebih mirip apartemen kecil daripada ruang rumah sakit, dan laporan patologi anatomi disampaikan oleh dokter Ardi, dokter yang menanganinya sejak pascaoperasi. Kabar baik disampaikan lebih dulu, tentu saja. Tumor berhasil diangkat utuh, dan masih pada stadium awal. Namun, di mana ada kabar baik, di situ kabar buruk menyusul. Seperti siang dan malam, hanya berganti menjaga keseimbangan. Dari hasil patologi, sel kanker menunjukkan sifat lebih agresif, derajat keganasannya tinggi. Itu artinya, meski tumornya sudah diangkat, masih ada risiko sel-sel halus yang tidak kasat mata lolos dan bisa tumbuh kembali. Untuk itu, dokter Ardi tetap menyarankan menjalani kemoterapi pencegahan. Dan kabar buruk lain, letak tumor membuat sebagian saraf di panggul ikut terpotong, saraf yang berperan penting dalam mengendalikan fungsi seksual. Dokter Ardi menyebut masih ada peluang untuk pulih, mungkin dalam hi

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   150. berita bikin stress

    Elara menyapu swab stick basah di bibir kering Ryota. “Kata dokter kamu belum boleh makan atau minum,” ujarnya lembut, lalu kembali menikmati potongan buah di tangannya. Ryota menatapnya, tersenyum samar. “Enak?”Elara mengangguk. “Iya, Mame suka apa saja.”“Kalau hanya sayur dan buah terus, nanti bisa kekurangan nutrisi,” sahut Ryota, separuh mengomel. "Kau butuh protein, zat besi, kalsium, karbohidrat. Semua harus seimbang, bukan buah saja.”Ia jadi teringat masa kehamilan Alessia. Saat itu semua pelayan, termasuk Rowena, dibuat kalang kabut demi menuruti kemauan istri tuan mereka yang enggan menyentuh makanan.“Sstt… sstt.” Elara menggerakkan telunjuknya. “Kamu jangan banyak bicara. Harus hemat energi. Bulan puasa kemarin kamu hampir pingsan nunggu buka. Apalagi ini kamu bakalan nggak makan minum sampe 2 hari lho.”Ryota mengangkat tangannya yang masih ditusuk jarum infus. “Cairan ini bisa buat bertahan tanpa makan tiga hari.”“Eh! Jadi kemarin kamu curang?” Elara menatap tajam,

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   149. Operasi Selesai

    "Alessia menukar nyawanya dengan putrinya." Ryota menatap kedua mata Elara yang masih membulat menatapnya. "Dia berharap aku akan memperlakukan putrinya dengan baik," "Mengapa dia tidak memberikan Anya pada Cavell, tapi pada pria jahat sepertimu?" tanya Elara. Mencoba mengajak Ryota berpikir dari sudut pandang Alessia. Jahat? Kening Ryota mengernyit, mendengar Elara sudah menyebutnya pria yang jahat. Padahal ia belum bercerita. "Karena hingga akhir hayatnya, dia tidak tahu jika bayi yang dilahirkannya adalah hasil hubungannya dengan Cavell, " jawab Ryota. “Kamu adalah papa yang baik buat Anya,” puji Elara, meski ia tidak tahu apa yang pernah dilakukan Ryota pada Alessia hingga membuat mantan istrinya itu putus asa, jatuh dalam depresi, dan akhirnya menyudahi hidupnya. "Aku papa yang baik?" Ryota mempertanyakan penilaian Elara yang menurutnya keliru. "Aku tidak membiarkannya bersama ayah biologisnya." "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Anya bukan milik tuan Cavell. Dia

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   148

    Begitu tiba di rumah, keduanya melewati pelayan yang menyapa tanpa menjawab. Langkah mereka cepat, seakan ingin segera menutup diri dari dunia luar. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada kata terucap. Hanya pikiran yang berisik di kepala masing-masing. Bentakan Ryota masih terngiang di telinga Elara. Mungkin ia memang terlalu menekannya. Tapi bagaimana bisa ia tenang, kalau hasil pemeriksaan jaringan sudah jelas menunjukkan sel kanker. Elara melangkah menuju walk-in closet untuk mengganti bajunya, dengan wajahnya yang tetap murung. Ryota yang sejak tadi mengamati Elara akhirnya mengulurkan tangan, meraih lengan istrinya itu. “Maaf…” ucapnya lirih. Elara menoleh, terkejut. “Saya yang harusnya minta maaf, karena terlalu menekan kamu. Saya tidak seharusnya begitu. Kamu juga butuh waktu untuk mencerna apa yang dikatakan dokter." Ryota menatap Elara sejenak, sebelum menarik istrinya itu ke dalam pelukannya. Diam. Hanya debar jantung mereka yang saling bertukar.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   147. Rumah Sakit

    Di ruang konsultasi yang tenang, di depan pintu tertera sebuah plakat kecil bertuliskan dr. Wiratama, Sp.PD-KGEH* * Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterologi Hepatologi. Seorang dokter pria paruh baya duduk di balik meja kayu berlapis kaca. Tatapannya bergeser sebentar ke Ryota, lalu ke Elara yang mendampingi suaminya. “Maaf, Pak Ryota,” ucapnya hati-hati, “apakah saya bisa menyampaikan hasil pemeriksaan ini di hadapan istri Anda?” Ryota menyandarkan tubuh ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “memangnya hasilnya sepenting apa sampai harus rahasia? Dia boleh dengar apa pun.” Dokter Wiratama mengangguk, kemudian membuka map hasil medical check-up. “Secara umum, banyak hasil Anda baik. Fungsi hati normal, ginjal dalam batas wajar, kadar gula darah stabil, profil kolesterol juga cukup bagus. Secara metabolik, tubuh Anda sehat.” Ia menoleh sejenak pada Ryota, lalu melanjutkan. “Namun, ada dua hasil yang tidak wajar. Hemoglobin Anda turun. Enam bulan lalu nilai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status