Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar.
“Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur beberapa langkah. Sosok pria bertubuh tegap berdiri di hadapannya. Tinggi pria asing itu sekitar lebih dari 180 cm. Bahunya bidang, tubuhnya proporsional dengan garis rahang yang tegas. Pakaian formal yang ia kenakan tampak mahal, menambah aura dingin dan tak tersentuh. Namun yang paling mencolok adalah tatapannya yang tajam, ketenangan yang misterius. Matanya yang tidak menunjukkan sedikit pun emosi saat mengamati Elara dan Arka. Elara menelan ludah, tubuhnya merinding. Meski pria itu tampan, tapi di mata Elara terlihat menakutkan. "Papa!" Anya tiba-tiba berseru girang, lalu berlari ke arah pria itu. Ia mengulurkan kedua tangannya, berharap akan digendong. Namun, pria yang dipanggilnya papa itu hanya menatapnya sebentar sebelum meraih tangannya dengan satu genggaman kuat. "Ayo, Anya. Kita pulang." Suaranya dalam dan berat, tetapi tidak terdengar hangat. Amanda, yang masih kesal dengan Elara, langsung menghampiri pria itu dan berkata dengan nada tidak suka. "Kak Ryo! Wanita miskin itu membawa Anya dan memberinya makanan sembarangan. Dia pasti bermaksud jahat!" Ryota Kenneth, pria yang dipanggil papa oleh Anya itu langsung menghentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh. Tatapannya kembali jatuh pada Elara dan Arka, mengamati mereka seolah sedang memikirkan sesuatu. Jantung Elara berdegup lebih kencang. Apa pria ini berencana melaporkannya? Menuduhnya menculik dan memberi Anya makanan yang tidak layak? Elara refleks menarik Arka lebih dekat ke tubuhnya, menyembunyikan bocah itu di belakangnya. Darahnya terasa membeku, dan keringat dingin mulai muncul di punggungnya meskipun udara tidak panas. Ryota memperhatikan gerak-geriknya dengan sorot mata tajam. Lalu, samar-samar, ia tersenyum miring. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia kembali berbalik, lalu membawa Anya masuk ke dalam mobil mewah yang menunggunya. Di sudut lain, Amanda masih tampak tidak senang berjalan meninggalkan Elara. Wajahnya memerah karena tidak terima melihat Ryota yang memilih diam dan tidak melakukan apa pun terhadap Elara. "Ibu Arka nggak apa-apa?" Suara Bu Rina terdengar khawatir. Tatapannya masih tertuju ke jalan, ke arah mobil mewah yang baru saja menghilang. Seperti Elara, ia juga merasakan hawa dingin yang tertinggal setelah kehadiran papanya Anya, sosok misterius yang selama ini tak pernah muncul di sekolah. Elara menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri. Ia bisa melihat kegelisahan di wajah Bu Rina. "Saya baik-baik saja. Bu Rina sendiri?" tanyanya. Bu Rina menoleh dan tersenyum kecil, meski masih terlihat canggung. "Saya juga baik... cuma agak kaget." "Ibu... Ibu nggak apa-apa?" rengek Arka tiba-tiba menyela, matanya penuh kecemasan setelah mendengar Bu Rina mengkhawatirkan ibunya. Elara tersenyum, mengusap rambut putranya dengan lembut. "Ibu baik-baik aja, Sayang.” Arka menatap ibunya ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Kami pamit dulu, Bu Rina. Assalamu'alaikum. Terima kasih." Elara menggamit tangan Arka, lalu menoleh ke putranya. "Ayo, Sayang, salam dulu ke Bu Rina." Sementara itu, di dalam mobil hitam mewah yang melaju tenang di jalanan kota, Ryota Kenneth membiarkan Anya mencoret-coret telapak tangannya dengan spidol warna-warni. Meski tampak tak peduli, pikirannya masih dipenuhi kekesalan. Tadinya, dia tengah mengikuti rapat yang sangat penting. Semua berjalan sesuai rencana sampai tiba-tiba ponselnya bergetar, nama Amanda muncul di layar ponselnya. Ia hampir mengabaikannya. Amanda bukan tipe orang yang menghubunginya tanpa alasan mendesak. Begitu mendengar kabar dari Amanda, ia langsung meninggalkan rapat tanpa pikir panjang. Sekarang, di dalam mobil yang tengah melaju, pikirannya masih berputar. Matanya beralih dari layar tablet ke Erol, pria tegap bak algojo yang setia menjadi asistennya selama bertahun-tahun. "Pastikan guru itu diam," perintahnya pada Erol. Identitas Anya sebagai putrinya harus tetap tersembunyi. "Baik," "Dan, cari tahu tentang perempuan yang membawa Anya," lanjutnya. Erol, yang sama dinginnya dengan tuannya, mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. "Tante itu ibunya Arka," sela suara kecil terdengar dari sampingnya. Anya masih sibuk dengan coretan-coretannya. Ryota mengangkat sebelah alisnya. Nama yang tidak asing di telinganya. Teman sekelas yang sering dijadikan bahan cerita oleh putrinya. "Arka?" "Iya, Pa, bocah cengeng di sekolah," jawab Anya datar. Gadis kecil yang tidak mengakui jika dirinya juga seorang bocah. "Anya, jika Anya menghilang lagi, Papa tidak akan datang. Jadi jangan lakukan itu di sekolah yang baru." Tangan kecil Anya langsung berhenti menggambar. Gadis itu menunduk, bibirnya mengerucut. Dalam diam, dia perlahan berpindah posisi, menjauh dari Ryota, menunjukkan penolakannya. Ia hanya ingin Papanya memperhatikannya. Setiap hari, ia melihat teman-temannya dijemput oleh ayah dan ibu mereka, tertawa bersama, pulang bersama. Anya juga punya Papa, tapi pria itu selalu jauh, selalu sibuk, dan jarang bermain bersamanya. Ryota melirik sekilas ke arah putrinya, namun tak mengatakan apa-apa. Dia membiarkan gadis kecil itu dengan kekecewaannya sendiri. Baginya, kedisiplinan lebih penting. Ia tidak ingin Anya tumbuh menjadi anak yang manja. *** Malam itu, saat Elara sedang menemani Arka membaca sebuah buku cerita sebelum tidur, suara mobil Daris terdengar memasuki halaman rumah. Seperti biasa, suaminya pulang larut malam. Sudah dua tahun belakangan, Daris sering tak pulang dengan alasan pekerjaan di luar kota. Dulu, Elara pernah menanyakan pekerjaan macam apa yang selalu membuat suaminya harus bepergian jauh begitu sering. Tapi jawaban Daris selalu saja ketus. “Untuk apa kau tahu? Diberitahu pun kau tidak akan paham!” Sejak itu, Elara berhenti bertanya. Mungkin memang benar, dia tak akan paham. Langkah tenang Daris melangkah masuk, melewati dirinya dan Arka tanpa menyapa. Namun, tiba-tiba dia berhenti. "Ada sesuatu untukmu di mobil, aku lupa membawanya turun," katanya singkat. Elara menoleh. "Sebentar ya, Sayang," bisiknya kepada Arka. Elara beranjak pergi mengambil barang yang dimaksudkan oleh Daris. Mungkin sesuatu untuk rumah, seperti bahan makanan atau kebutuhan dapur. Namun, saat membuka pintu mobil, sesuatu yang tak terduga menyambutnya. Sebuah paper bag yang berisikan baju terusan berwarna pastel, lengkap dengan hijab yang senada, ada di kursi penumpang. Elara terdiam. Tangannya menyentuh kain lembut itu, dan tanpa sadar, senyumnya mengembang. Sejak kapan Daris mulai memikirkan sesuatu untuknya? Apakah mungkin suaminya sudah mulai menyimpan sedikit perhatian untuk dirinya? Namun, sebelum perasaan senang itu benar-benar mengakar, sesuatu yang berkilauan di bawah cahaya lampu mobil menarik perhatiannya. Wanita yang tidak pernah berias pun tahu jika itu adalah sebuah lipstik. Tangan Elara terulur, mengambil benda kecil itu. Jarinya yang terbiasa kasar oleh pekerjaan rumah tangga menyentuh permukaannya yang halus. Elara menatap botol lipstik itu dalam diam. Cairan merah masih tersisa di ujung aplikatornya. Benda itu jelas bukan miliknya. “Lipstik siapa ini?” pikir Elara bingung.“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan