Share

BAB 2

Author: SayaNi
last update Last Updated: 2025-04-01 14:16:23

“Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.

Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.

Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?

Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.

Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh.

Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?

Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.

Ibu mertuanya.

“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.

“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.

Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpul yang dipaksa mengiris.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membelokkan motor ke arah sebaliknya—ke rumah tempat ia tidak pernah benar. Tempat ia hanya dihitung saat dibutuhkan, disalahkan saat segalanya tak berjalan sempurna.

Setibanya di rumah, Elara melepas jaket tanpa sempat duduk. Ia langsung menuju dapur. Tamu-tamu arisan ibu mertuanya akan datang sebentar lagi.

Tak ada Alia. Tak ada Dinda. Tak pernah ada bantuan dari siapa pun.

Ada atau tidak, mereka tak pernah menyentuh pekerjaan rumah. Tak pernah tahu dapur, tak pernah tahu letih.

Di tengah kepanikan menata kue di piring saji, ia mendengar suara tawa dari ruang tamu. Rahayu menyambut para tamu dengan ramah—seolah rumah ini milik keluarga bahagia.

“Silakan duduk, Sudah lama nggak arisan di sini, ya!” suara ibu mertuanya terdengar riang.

Elara menunduk. Tangan terus bekerja. Tak ada yang akan tahu ia belum sempat makan. Tak ada yang akan peduli bahwa kakinya pegal dan hatinya masih remuk sejak pagi.

Suara di ruang tamu terdengar semakin hidup. Gelak tawa, pujian, basa-basi yang terasa terlalu manis untuk rumah yang terlalu dingin baginya.

“Ah, Daris sekarang sibuk sekali. Kerjaannya luar biasa. Anak laki-laki satu-satunya, ya harus bisa diandalkan dong,” ujar Ibu Rahayu dengan nada bangga yang nyaring.

Tawa kecil langsung pecah di antara para tamu. Salah satu dari mereka menimpali, “Ya ampun, Bu Rahayu beruntung banget. Anaknya masih muda, kariernya cemerlang. Suami idaman, tuh.”

Elara mendengar semuanya dari dapur. Ia menghela napas pelan. Bukan hal baru. Ibu mertuanya selalu bangga pada Daris—bahkan kadang lebih dari Daris itu sendiri.

Tapi lalu arah obrolan mulai bergeser.

“Bu Rahayu juga hebat, lho,” ujar salah seorang tamu dengan nada pelan, seolah sedang menyentuh topik sensitif. “Jarang ada ibu mertua sebaik Ibu. Nggak pilih-pilih menantu.”

Tangan Elara yang sedang memindahkan kue dari kotak ke piring, tiba-tiba terhenti.

“Iya,” sahut yang lain, ragu. “Biasanya kan orang tua pengennya menantu yang… ya, sepadan.”

Ada jeda sejenak. Seolah semuanya tahu siapa yang sedang dibicarakan.

Ibu Rahayu tertawa pelan, “Ah, kalian ini… Elara anak baik, kok. Rajin. Nggak banyak menuntut.”

"Pokoknya, Bu Rahayu memang luar biasa. Mertua idaman. Kalau mertua lain pasti pilih yang cantik, anggun, cerdas, dari keluarga terpandang. Lah, Bu Rahayu? Santai aja, yang penting anaknya nyaman."

Sekali lagi, tawa menggema.

Sementara di ruang makan, Elara tetap berdiri tegak di depan meja, menyeduh teh dalam diam. Ia memasukkan campuran teh bunga ke dalam teko, lalu menuangkan air panas perlahan. Uap hangat naik pelan, membawa aroma yang tenang dan halus—berbanding terbalik dengan apa yang didengarnya di ruang tamu.

Saat ia tengah menyiapkan cangkir porselen satu per satu

“Elara!” suara ibu Rahayu terdengar dari ambang pintu.

Elara menoleh cepat. “Iya, Ma.”

“Ini teh sudah siap?”

“Sudah,” jawab Elara, buru-buru menata nampan.

Ibu Rahayu mengangguk puas, lalu meliriknya dari atas ke bawah. Seakan baru menyadari sesuatu, ia mengerutkan dahi.

“Kamu belum juga ganti baju?”

Elara menunduk, melihat dirinya sendiri. Ia masih mengenakan pakaian rumah yang sederhana, dengan celemek yang sedikit terkena cipratan kuah. ia belum sempat mengganti baju sejak pulang dari pasar. Bahkan belum sempat bercermin.

“Kamu sengaja ingin buat malu Mama dengan penampilan seperti itu?” tuding ibu Rahayu, dengan volume suara yang tidak didengar oleh tamu-tamunya.

Elara menahan kata-kata yang seharusnya bisa keluar dari mulutnya. Ia ingin menjawab bahwa sejak tadi ia sudah bekerja di dapur, mengurus makanan untuk tamu-tamu itu. Bahwa tak ada seorang pun yang membantunya. Tapi ia tahu, tak ada gunanya.

“Maafkan Elara, Ma. Elara segera ganti baju.”

“Jangan lama-lama,” ucap Rahayu, lalu melenggang kembali ke ruang tamu.

Elara menghela napas sebelum melepas celemek dan berjalan ke kamarnya yang kecil di belakang.

Setelah ganti baju, ia kembali ke ruang makan, membawa nampan berisi teh dan kue yang telah disiapkan.

Dengan langkah pelan, ia mendekati ruang tamu dan menundukkan kepala saat masuk, berusaha agar kehadirannya tidak terlalu mencolok.

Namun, begitu ia mulai membagikan cangkir-cangkir teh, salah satu tamu tiba-tiba menyapanya dengan senyum yang tampak ramah, tapi menyimpan sesuatu di baliknya.

“Wah, ini pembantu Bu Rahayu, ya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 3

    Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Ta

    Last Updated : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 4

    Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur

    Last Updated : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 5

    Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra

    Last Updated : 2025-04-01
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 6

    Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.

    Last Updated : 2025-04-25
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 7

    Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur

    Last Updated : 2025-04-25
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Penghianatan

    Tiga hari kemudian. Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. ElaraWanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.Baru saja Elara hendak melepas helm, s

    Last Updated : 2025-05-02
  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 1

    “Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar

    Last Updated : 2025-04-01

Latest chapter

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Penghianatan

    Tiga hari kemudian. Ryota muncul di halaman TK tempat putrinya bersekolah, menjelang pulang. Di antara deretan mobil mewah dan anak-anak berseragam rapi, para ibu muda berpenampilan glamor berbincang santai—dengan tas bermerek, sepatu hak tinggi, dan senyum yang lebih sering dibuat-buat. Namun, suasana itu sedikit berubah saat Ryota melangkah keluar dari mobil hitamnya. Pria itu langsung menyedot perhatian. Beberapa ibu muda menoleh, sebagian melirik dari balik kacamata hitam mereka, saling berbisik pelan di antara rasa penasaran dan kekaguman. Beberapa guru perempuan pun tak bisa menahan pandang, meski kemudian pura-pura sibuk mengatur anak-anak. Tapi Ryota tak memperhatikan siapa pun. Tatapannya tajam, langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja memarkirkan motornya. ElaraWanita itu turun dari motornya dengan gerakan cepat dan tenang. Helm masih menutupi kepalanya, tapi Ryota sudah mengenal siluet itu. Langkahnya mantap saat mendekat.Baru saja Elara hendak melepas helm, s

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 7

    Amanda segera bangkit dari sofa dan menghampiri Ryota dengan senyum manis, sementara kedua pengasuh Anya langsung pergi keluar. "Kak Ryo, Anya masih tidak mau tidur. Aku sudah mencoba berbagai cara membujuknya," ucap Amanda dengan suara rendah, seperti desahan halus yang disengaja. Ryota tidak menanggapi. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan kekacauan yang dibuat putrinya. “Sudah malam,” katanya pada Amanda akhirnya “Kau sebaiknya pulang.” Amanda tersenyum menggoda. Matanya tak lepas dari wajah Ryota. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya menggulung rambutnya ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih. “Aku bisa menginap,” Gadis itu terlalu sering mencari-cari alasan untuk berlama-lama di rumah Ryota. Meski samar, ia berusaha menggoda—lewat gerak tubuhnya, intonasi suaranya, cara ia menatap dan berbicara. Namun semua itu tak membangkitkan apa pun dalam diri Ryota. Tak sedikit pun "Kau tak perlu repot lebih jauh," ucap Ryota, nadanya sedikit menur

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 6

    Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal. Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 5

    Pagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom. Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 4

    Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar. “Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan. Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—" "Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?" Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya. Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka. Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya. Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan. Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bab 3

    Elara seketika mematung mendengarnya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia tidak sengaja melirik ke arah ibu mertuanya yang sekarang berwajah masam dan mendelik ke arahnya. “Bukannya dia Elara? Menantu Bu Rahayu?” kata salah satu tamu yang lain. Wanita yang tadi menyapanya itu tampak salah tingkah. “Oh! Maaf ya, aku salah mengira,” katanya. “Aku nggak tahu kalau kamu Elara.” Elara memaksakan seulas senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu.” Untuk sejenak, suasana terasa sangat canggung. “Kamu nggak kerja?” Kemudian, pertanyaan itu meluncur dengan nada ringan, sekadar berbasa-basi. Elara hampir membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ibu Rahayu sudah lebih dulu menimpali. “Elara ini memang di rumah saja. Tanggung jawab Daris yang cari uang sebagai kepala keluarga.” Tamu itu terkekeh. “Wah, iya juga. Apalagi kalau suaminya sukses, buat apa repot-repot kerja?” Obrolan berlanjut dengan canda tawa, sementara Elara hanya bisa diam, menyelesaikan tugasnya sebelum kembali ke dapur. Ta

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 2

    “Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan.Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana?Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju.Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh?Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon.Ibu mertuanya.“Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli.“Elara… udah di jalan, Bu,” jawabnya pelan.Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpu

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   BAB 1

    “Elara! Kenapa lantai ruang makan masih kotor?!”Suara itu memecah pagi seperti sirene. Elara Maheswari tersentak, tangannya yang tengah mengaduk sayur hampir menjatuhkan sendok. Jantungnya berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena sudah terlalu sering dibentak seperti itu, dan tetap saja tubuhnya belum kebal.Rahayu berdiri di ambang pintu dapur. Wajah wanita paruh baya itu masam, matanya menyapu ruangan seolah mencari celah kesalahan.“Baru saja Elara pel, Ma,” sahut Elara pelan.“Jangan banyak alasan!” potong Rahayu tajam. “Ini juga, kenapa masaknya lama? Kau mau bikin suamimu dan adik-adiknya telat ke kantor dan kampus, hah?”Elara menunduk. “S-sebentar lagi, Ma…”Tanpa diminta, tangannya langsung bergerak lebih cepat. Menyendok nasi, mengaduk tumisan, memeriksa ayam di penggorengan. Semuanya dilakukan dengan napas yang tersengal. Sejak dini hari ia belum berhenti. Menyapu, mencuci, menyiapkan sarapan. Dan sekarang, dimarahi seolah ia belum melakukan apa-apa. Usianya bar

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status