“Tidak mungkin…” gumam Elara, nyaris tak terdengar.
Ia mencondongkan tubuh, mencoba melihat lebih jelas ke arah mobil hitam di seberangnya. Kaca film yang gelap memang menyamarkan. Siapa wanita itu? Kenapa ada di sana? Jantung Elara berdegup kencang. Ia belum bisa mengalihkan pandangannya saat lampu hijau menyala di sisi mobil itu. Mobil Daris perlahan bergerak maju. Elara hanya bisa menatap saat kendaraan itu menjauh. Haruskah ia mengejar? Haruskah ia tahu lebih jauh? Belum sempat ia mengambil keputusan, ponselnya bergetar di saku jaket. Getaran itu terasa seperti cengkeraman yang menariknya kembali ke kenyataan. Ia tak perlu melihat layar. Sudah tahu siapa yang menelepon. Ibu mertuanya. “Elara! Ke mana saja?! Belanja kok lama? Jangan-jangan kau malah keluyuran dulu?!” Suara itu menghantam seperti tamparan. Kasar. Langsung. Tanpa jeda. Tanpa peduli. “Elara… udah di jalan, Ma,” jawabnya pelan. Tapi Rahayu tidak berhenti mengomel. Suaranya terus mengalir di telinga seperti pisau tumpul yang dipaksa mengiris. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membelokkan motor ke arah sebaliknya—ke rumah tempat ia tidak pernah benar. Tempat ia hanya dihitung saat dibutuhkan, disalahkan saat segalanya tak berjalan sempurna. Setibanya di rumah, Elara melepas jaket tanpa sempat duduk. Ia langsung menuju dapur. Tamu-tamu arisan ibu mertuanya akan datang sebentar lagi. Tak ada Alia. Tak ada Dinda. Tak pernah ada bantuan dari siapa pun. Ada atau tidak, mereka tak pernah menyentuh pekerjaan rumah. Tak pernah tahu dapur, tak pernah tahu letih. Di tengah kepanikan menata kue di piring saji, ia mendengar suara tawa dari ruang tamu. Rahayu menyambut para tamu dengan ramah—seolah rumah ini milik keluarga bahagia. “Silakan duduk, Sudah lama nggak arisan di sini, ya!” suara ibu mertuanya terdengar riang. Elara menunduk. Tangan terus bekerja. Tak ada yang akan tahu ia belum sempat makan. Tak ada yang akan peduli bahwa kakinya pegal dan hatinya masih remuk sejak pagi. Suara di ruang tamu terdengar semakin hidup. Gelak tawa, pujian, basa-basi yang terasa terlalu manis untuk rumah yang terlalu dingin baginya. “Ah, Daris sekarang sibuk sekali. Kerjaannya luar biasa. Anak laki-laki satu-satunya, ya harus bisa diandalkan dong,” ujar Ibu Rahayu dengan nada bangga yang nyaring. Tawa kecil langsung pecah di antara para tamu. Salah satu dari mereka menimpali, “Ya ampun, Bu Rahayu beruntung banget. Anaknya masih muda, kariernya cemerlang. Suami idaman, tuh.” Elara mendengar semuanya dari dapur. Ia menghela napas pelan. Bukan hal baru. Ibu mertuanya selalu bangga pada Daris—bahkan kadang lebih dari Daris itu sendiri. Tapi lalu arah obrolan mulai bergeser. “Bu Rahayu juga hebat, lho,” ujar salah seorang tamu dengan nada pelan, seolah sedang menyentuh topik sensitif. “Jarang ada ibu mertua sebaik Ibu. Nggak pilih-pilih menantu.” Tangan Elara yang sedang memindahkan kue dari kotak ke piring, tiba-tiba terhenti. “Iya,” sahut yang lain, ragu. “Biasanya kan orang tua pengennya menantu yang… ya, sepadan.” Ada jeda sejenak. Seolah semuanya tahu siapa yang sedang dibicarakan. Ibu Rahayu tertawa pelan, “Ah, kalian ini… Elara anak baik, kok. Rajin. Nggak banyak menuntut.” "Pokoknya, Bu Rahayu memang luar biasa. Mertua idaman. Kalau mertua lain pasti pilih yang cantik, anggun, cerdas, dari keluarga terpandang. Lah, Bu Rahayu? Santai aja, yang penting anaknya nyaman." Sekali lagi, tawa menggema. Sementara di ruang makan, Elara tetap berdiri tegak di depan meja, menyeduh teh dalam diam. Ia memasukkan campuran teh bunga ke dalam teko, lalu menuangkan air panas perlahan. Uap hangat naik pelan, membawa aroma yang tenang dan halus—berbanding terbalik dengan apa yang didengarnya di ruang tamu. Saat ia tengah menyiapkan cangkir porselen satu per satu “Elara!” suara ibu Rahayu terdengar dari ambang pintu. Elara menoleh cepat. “Iya, Ma.” “Ini teh sudah siap?” “Sudah,” jawab Elara, buru-buru menata nampan. Ibu Rahayu mengangguk puas, lalu meliriknya dari atas ke bawah. Seakan baru menyadari sesuatu, ia mengerutkan dahi. “Kamu belum juga ganti baju?” Elara menunduk, melihat dirinya sendiri. Ia masih mengenakan pakaian rumah yang sederhana, dengan celemek yang sedikit terkena cipratan kuah. ia belum sempat mengganti baju sejak pulang dari pasar. Bahkan belum sempat bercermin. “Kamu sengaja ingin buat malu Mama dengan penampilan seperti itu?” tuding ibu Rahayu, dengan volume suara yang tidak didengar oleh tamu-tamunya. Elara menahan kata-kata yang seharusnya bisa keluar dari mulutnya. Ia ingin menjawab bahwa sejak tadi ia sudah bekerja di dapur, mengurus makanan untuk tamu-tamu itu. Bahwa tak ada seorang pun yang membantunya. Tapi ia tahu, tak ada gunanya. “Maafkan Elara, Ma. Elara segera ganti baju.” “Jangan lama-lama,” ucap Rahayu, lalu melenggang kembali ke ruang tamu. Elara menghela napas sebelum melepas celemek dan berjalan ke kamarnya yang kecil di belakang. Setelah ganti baju, ia kembali ke ruang makan, membawa nampan berisi teh dan kue yang telah disiapkan. Dengan langkah pelan, ia mendekati ruang tamu dan menundukkan kepala saat masuk, berusaha agar kehadirannya tidak terlalu mencolok. Namun, begitu ia mulai membagikan cangkir-cangkir teh, salah satu tamu tiba-tiba menyapanya dengan senyum yang tampak ramah, tapi menyimpan sesuatu di baliknya. “Wah, ini pembantu Bu Rahayu, ya?”“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan