Home / Romansa / Bukan Sang Pewaris / 3. Pertunangan Tak Terduga

Share

3. Pertunangan Tak Terduga

last update Last Updated: 2025-02-22 11:41:10

“Apa kami tak salah dengar?” Anna, satu-satunya orang yang berani menunjukkan keterkejutannya dengan kabar bahagia yang disampaikan sang mama di tengah acara makan malam tersebut. Wanita berambut pendek itu tampak menunjukkan ketidak setujuannya. Satu-satunya orang yang menentang perjodohan sialan itu. Dan bagaimana mungkin langkah sang mama secepat ini? Baru tadi malam ia mengetahui tentang rencana tersebut.

“Ya, pertunangan Leon dan Aleta,” angguk Maida. Meyakinkan sang putri bahwa acara makan malam ini sekaligus untuk merayakan pertunangan keponakannya tersebut. Tatapannya lurus pada sang putri, ematikan harapan yang ada di kedua mata Anna yang tidak pada tempatnya. 

Kedua ibu dan anak tersebut saling pandang, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata di tengah meja panjang yang dipenuhi seluruh anggota keluarga. Tak hanya kedua wanita tersebut, Aleta yang duduk di meja paling ujung pun tak kalah terkejutnya. Gadis itu menatap ke arah Leon yang duduk di seberang meja. Posisi yang tak biasa pada malam ini karena biasanya pria itu duduk di samping Bastian. Di samping Jacob Thobias.

Namun, ketegangan tersebut akhirnya terpecah dengan tepuk tangan Jacob, yang membuat seluruh anggota juga ikut bertepuk tangan. Begitu pun dengan Yoanna. Jacob mengangkat gelasnya dan berucap, “Untuk Leon.”

Ucapan selamat pun menyusul untuk Leon dan Aleta, yang hanya terdiam karena kedua orang tuanya pun tak menunjukkan keterkejutan dengan kabar tersebut. Bahkan seolah sudah mengetahui rencana tersebut sejak awal.

Saat makan malam selesai dan berubah menjadi acara yang lebih santai, Aleta yang menyendiri di taman samping rumah berbicara dengan sang mama.

“Mama juga baru mengetahui semua ini dari papamu, sayang.” Telapak tangan Monica merangkum sisi wajah sang putri tiri dengan keprihatinan yang begitu besar. Ya, meski Aleta adalah putri sang suami dari mendiang istri pertama. Kasih sayangnya pada putra kandungnya dan gadis itu sama sekali tak ada beda. 

Aleta memegang punggung tangan sang mama, memaksa senyuman tersungging untuk Monica. “Apa pun keputusan papa, bukankah selalu yang terbaik untuk Aleta.”

Monica pun ikut terdiam. Tak mengatakan apa pun lagi. Kepasrahan di kedua mata sang putri sudah cukup sebagai jawabannya.

“Papa pasti tahu keputusan yang dibuatnya.”

“Kau benar.”

Keduanya kembali terdiam, hingga Jendra, sang adik muncul dan mengatakan sang papa mencari mamanya. Aleta menolak masuk karena masih ingin menikmati taman bunga keluarga Thobias sebagai dalihnya menenangkan diri.

Sepanjang mengenal Leon dalam keluarga besar dari sisi mama tirinya, Aleta tak pernah benar-benar berinteraksi dengan pria itu. Bahkan semua keluarga sang mama hanya memandangnya sebagai makhluk tak kasat mata. 

Aleta bisa memahami itu. Ialah satu-satunya sepupu yang tak memiliki ikatan darah dengan mereka. Sebelum kakinya lumpuh, ia selalu dipandang di sebelah mata. Apalagi sekarang.

“Kau bisa memakai apa pun yang kau suka, Berlian. Aku tak pernah mempermasalahkannya.” Suara Bastian dari arah teras belakang mengalihkan perhatian Aleta.

Gadis itu menoleh, menemukan Berlian dan Bastian yang berdiri saling berhadap-hadapan. Jarak teras belakang dan taman bunga tempatnya duduk tak lebih dari sepuluh meter. Suasana malam yang begitu sunyi berbanding terbalik dengan keramaian yang ada di dalam rumah, membuat suara pasangan tersebut terdengar begitu jelas dari posisinya.

Berlian mengalungkan kedua lengannya di leher Bastian. Menempelkan tubuh wanita itu ke tubuh Bastian sebelum mendorong pria itu ke tiang. “Aku suka yang bisa dengan mudah dibuka di mana pun dibutuhkan,” bisikan wanita itu sengaja diulur. Dengan nada yang menggoda sembari semakin merapatkan jarak di antara wajah mereka.

Aleta segera memalingkan wajah, menggigit bibir bagian dalam dengan rasa panas yang tak hanya merebak di permukaan wajah. Juga di dalam dadanya. Gadis itu tampak menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan perasaan apa pun yang masih terpendam di dalam sana. Tak ingin membayangkan apa yang akan selanjutnya pasangan itu lakukan.

Menepis pikirannya, Aleta memutar kursi rodanya. Mendorong ke arah sebaliknya karena tak ingin dianggap mengintip privasi pasangan tersebut. Tetapi baru saja rodanya bergerak, tiba-tiba sesuatu dari arah belakang menahannya.

“Kau sudah akan pergi?” Suara Bastian yang begitu familiar membekukan seluruh tubuh Aleta.

Aleta menahan gerakan Bastian yang hendak memutar kursinya, dan sebagai gantinya, pria itulah yang berjalan ke arah depan.

“Kau tahu perjodohan ini bukan kehendakku, Aleta.” Bastian menatap wajah datar Aleta. “Seperti perjodohanmu dan Leon.”

Aleta tetap bergeming. Membuang wajahnya ke samping dan mendorong kursi rodanya ke samping. Menghindari posisi Bastian yang menghadangnya. Lagi-lagi sebelum ia benar-benar melewati pria itu, Bastian menahan lengan kursi rodanya.

“Bagaimana dengan terapimu?”

Aleta menyentakkan tangan Bastian dengan kasar.

Bastian sama sekali tak terusik dengan sikap kasar tersebut. Pria itu bahkan berjongkok di samping Aleta. Menyentuh punggung tangan gadis itu. “Dokter Brian mengatakan …”

“Semua itu sudah bukan urusanmu, Bastian,” desis Aleta dengan suaranya yang sedingin ia bisa.”

“A-aku ...”

“Di sini kau rupanya?” Suara berat dari arah belakang mengalihkan perhatian keduanya.

Wajah lembut Bastian seketika berubah tegang mengenali suara sialan sang sepupu. Pria itu lekas beranjak dan berhadapan dengan Leon, memasang tampang muak yang selalu melekat untuk sepupunya satu ini. “Kenapa? Setidaknya aku perlu mengenal calon sepupu iparku, kan? Memastikannya tahu akan posisinya meski telah menjadi istrimu.”

Leon hanya mendengus tipis. 

“Pernikahan kalian tak akan mengubah apa pun.”

“Seperti pernikahanmu dengan cucu tunggal keluarga Mamora?” Alis Leon terangkat dengan gerakan mengejek.

Tatapan Bastian menajam, kedongkolan di wajahnya semakin pekat sebelum berjalan pergi.

Aleta berusaha mengabaikan ketegangan di antara kedua pria yang berdiri di belaangnya. Kembali mendorong kursi rodanya, yang kali ini ditahan lagi oleh Leon.

“Sepertinya kita butuh bicara, tunanganku?” Leon menarik ke belakang kursi roda Aleta, memutar hingga menghadapnya dan berjongkok di depan gadis itu sembari mengunci roda kecil di bawah lututnya.

“Ini.” Leon membuka kotak cincin di tangannya ke hadapan Aleta. “Seharusnya aku memberikannya sebelum acara makan malam ini, tapi … aku tak ingin mengejutkanmu.”

“Aku akan bicara dengan papaku untuk menolak perjodohan ini.” Setelah usahanya untuk melepaskan diri tak membuahkan hasil, akhirnya Aleta memberanikan diri untuk bicara.

“Ya, kau bisa mencobanya.”

Aleta terdiam, melirik tak tertarik cincin dengan hiasan permata di dalam kotak tersebut. Tangannya bergerak mengambil kotak tersebut dan melemparnya ke arah taman bunga di samping mereka. “Hanya karena aku selalu menjadi yang paling diam, bukan berarti aku bisa diperlakukan seperti pion yang tak memiliki pendapat, Leon.”

Leon tak melepaskan pandangannya dari kemarahan di mata Aleta. Senyum yang melengkung di bibir pria itu, berubah menjadi seringai ketika membalas kalimat Aleta. Suaranya yang dipenuhi ketenangan, sama sekali tak mengurangi ancaman tajam pria itu. “Ya, kau memang tak lebih dari pion, yang bahkan tak berhak memiliki pendapat, Aleta Ege. Tidakkah kau memahami posisi itu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 3 (Bukan Keluarga Sempurna)

    Suara tawa Julia memenuhi ruang makan. Sementara Leon terkekeh, menahan tawa ketika Aleta tertunduk malu dengan cerita pria itu di meja makan. “Ya, aku tak akan meny alahkanmu, Aleta. Ada banyak orang yang salah paham dengan hubungan kami. Selain kau, memang hanya aku satu-satunya teman dekat yang dimiliki oleh Leon. Terutama karena aku wanita, dan aku menjadi satu-satunya wanita yang tak mungkin jatuh cinta pada manusia tak punya hati seperti Leon.”Leon mendengus tipis. “Tak mungkin, ya?” ejeknya. “Dan aku memiliki hati. Hanya bukan untukmu saja,” koreksinya menambahkan.Julia mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak akan memandangmu sebagai seorang teman yang layak dikasihi jika kemungkinan itu ada, Leon. Aku cukup tahu diri akan kesabaranku menghadapi karakter keras kepala sepertimu. Egoku tak sekuat itu untuk menerima pasangan egois, tak berperasaan, dan bodoh sepertimu. Kau sangat beruntung akhirnya menemukan wanita yang tepat untukmu. Dan ka

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 2 (Bukan Istri Pertama)

    Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu  Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 1 (Bukan Sang Pewaris)

    “Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak

  • Bukan Sang Pewaris   80. Ternyata Saling Merindukan (Ending)

    ‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka

  • Bukan Sang Pewaris   79. Cukup Untuk Kita Bertiga

    “Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph

  • Bukan Sang Pewaris   78. Keputusan Leon

    Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status