共有

4. Gadis Cacat

last update 最終更新日: 2025-02-22 11:41:50

"Apakah tidak ada cara untuk menghentikan perjodohan ini?" Aleta memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Untuk pertama kali akan keputusan yang ditentukan sang papa pada hidupnya.

Pernikahan bukanlah keputusan yang bisa diterima semudah pilihan baju yang ditentukan sang papa dan mama tiri untuk ia kenakan malam ini. Tapi pernikahan jelas akan berlaku sekali untuk seumur hidup, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk menghabiskan seumur hidup bersama seseorang yang nyaris sama sekali tak ia kenal.

"Kau bisa menentangnya, Nirel. Bagaimana mungkin kau akan mengorbankan putrimu untuk menjadi pereda perselisihan keluarga, yang bahkan tak ada hubungannya denganmu."

"Mereka kedua kakakmu, Monica." Suara Nirel lembut, meski begitu berhasil membuat dang istri merapatkan rahang. Membuang wajah ke samping dan tak bicara lagi. Pun dengan kekesalan dan ketidak setujuan yang begitu jelas di raut cantiknya.

Perselisihan kedua kakaknya sudah menjadi rahasia umum bagi keluarga besar mereka. Maida dan Yoanna selalu bersaing, untuk setiap keinginan mereka. Dan sekarang perselisihan itu bahkan harus menurun pada kedua putra sulung mereka. Yang mengincar Thobias Group.

"Dan Leon adalah keponakanmu. Yang sudah seperti putraku sendiri. Sudah banyak kebaikan anak itu untuk keluarga kita. Dia juga berjanji perjodohan ini bukan semata urusan pekerjaan."

"Lalu apa yang diinginkannya dari Aleta? Selain sebagai tameng untuk menenangkan ketakutan Maida dan Bastian terhadap dirinya?"

"Kita berdua mengenal Leon. Dia pasti akan memperlakukan Aleta dengan lebih baik."

Kalimat sang papa semakin merapatkan bantahan Aleta yang sudah ada di ujung lidah. Mengingat kata-kata Leon padanya beberapa saat lalu, tentu saja ia tahu Leon sudah memainkan 1peran calon menantu yang baik di mata papanya.

Keheningan menyelimuti ruang keluarga tersebut. Sang mama menatapnya masih dengan kasih sayang dan kecemasan yang begitu pekat meski tak lagi mengatakan apa pun. Penolakan atau pun persetujuan. Begitu pun dengan dirinya. Pada akhirnya, ia hanya bisa meyakini bahwa keputusan sang papa adalah yang terbaik untuknya. Selalu. Ia hanya percaya itu.

*** 

Hari pernikahan telah ditentukan tiga minggu setelah acara makan malam tersebut. Maida Thobias, satu-satunya yang paling bersemangat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk hari spesial tersebut. Bahkan yang bertanggung jawab untuk memastikan acara pesta pernikahan tersebut menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mulai dari gedung pernikahan, catering, dekorasi, dan gaun pengantin. Maidalah yang mengantar jemput Aleta untuk fitting gaun.

Yoanna dan Monica, yang menjadi orang tua kedua mempelai pun sama sekali tak ikut campur karena keduanya menunjukkan penolakan yang sangat jelas. Akan tetapi tak mampu berkutik dengan keputusan sang putra, Leon. Dan sang suami Nirel Ege.

Hari H sebelum pernikahan, sepulang dari butik untuk pengepasan terakhir gaun pengantin, Aleta singgah di apartemen Leon. Yang alamatnya baru didapatkan setelah mencoba mencari tahu selama dua minggu terakhir.

Unit terbaik di gedung apartemen mewah yang berada di kawasan elit, salah satu aset milik Thobias Group. Meski tak yakin akan menemukan pria itu di sana, Aleta tetap pergi.

"Tunanganku?" sapa Leon begitu menemukan Aletalah yang berdiri -duduk- di depan pintu apartemennya.

Wajah Aleta merah padam. Bukan karena panggilan Leon, melainkan penampilan pria itu yang membuat kepalanya lekas berpaling. Bagaimana tidak, Leon hanya mengenakan celana karet panjang dengan bertelanjang dada. Pertama kalinya bagi Aleta melihat seorang pria setengah telanjang.

"Kau datang ke sini hanya untuk berdiam diri di sana?" Pertanyaan Leon memecah perhatian Aleta, yang kepalanya terangkat dengan gugup dan menyadari pria itu sudah memiringkan tubuh untuk memberinya jalan. 

Aleta pun lekas mendorong kursi rodanya, memasuki ruangan luas yang dipenuhi perabot mewah tersebut. Ada dua set sofa, di sisi lain ruangan ada area dapur bersih dengan pantry dan meja makan dengan empat kursi. Dinding kaca di sisi lain ruangan menampilkan kemegahan gedung-gedung pencakar langit di sekeliling gedung ini yang juga tak kalah tingginya. Ada satu tangga spiral di antara set sofa, dan di sampingnya terdapat pintu ganda yang salah satunya terbuka.

"Apa aku mengganggu tidurmu?" tanyanya melihat setengah tempat tidur yang masih berantakan.

"Biasanya aku akan bilang ya jika bukan kau yang datang." 

Aleta  hanya menatap Leon yang sudah duduk di sofa tunggal dengan kedua kaki bersilang. Menatap lurus ke arahnya dengan manik yang menajam. Mata Aleta berkedip dua kali. Sebelum memaksa berbicara. "Bisakah kau bicara dengan papaku untuk menghentikan perjodohan ini?"

Ujung bibir Leon tersenyum. Tanpa melepaskan kedua mata dari Aleta, tangannya meraih benda pipih di meja dan menunjukkan layarnya pada Aleta.

Mata Aleta melebar melihat gambar dirinya yang tengah mengenakan gaun pengantin. Dan foto itu diambil beberapa saat yang lalu sebelum ia datang ke tempat ini.

"Kau terlihat cantik. Sepertinya akan lebih sempurna jika kau bisa berjalan dengan kedua kakimu sendiri. Besok." Pandangan Leon turun ke bawah. Ke kedua kaki Aleta.

Jawaban ringan Leon sudah cukup menegaskan bahwa pria itu tak akan menghentikan perjodohan ini. "Kalau begitu, bisakah pernikahan ini hanya menjadi sandiwara di hadapan keluargamu dan mamaku?"

Leon terdiam, menurunkan ponselnya ke meja dan kembali menatap kedua mata Aleta. Ujung bibirnya tersenyum geli dengan kegugupan yang masih tersirat di raut mungil dan polos Aleta. "Hanya sandiwara? Apakah itu artinya kau tak ingin aku meminta hakmu sebagai seorang istri?"

Aleta mengangguk. Terlalu malu menjelaskan apa yang diinginkannya. Sekaligus lega Leon bisa memahaminya dengan cepat.

"Kau tak ingin kutiduri?"

Wajah Aleta yang memerah mengangguk pelan. Napasnya tertahan dengan tatapan Leon yang semakin intens. Menunggu jawaban Leon yang sengaja mengulur waktu. Bermain-main dengan kegugupannya. Pria itu mengamati wajahnya. Lalu turun untuk menilai kedua kakinya.

"Kau pikir aku akan tertarik dengan gadis cacat sepertimu?" dengus Leon akhirnya dengan tatapan mencemooh saat kembali menatap raut Aleta.

Wajah Aleta yang pucat pasi membeku untui sesaat. Ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan cemoohan semacam itu. Tetapi tetap saja kata-kata itu berhasil menusuk tepat di dadanya. Mata Aleta berkedip, tersinggung, malu, sekaligus lega dengan jawaban tersebut.

"Baiklah. Hanya itu yang ingin kupastikan padamu." Kepala Aleta mengangguk singkat. Memutar kursi rodanya dan mendorongnya ke arah pintu. Setetes air mata jatuh ketika berkedip. Ya, tak ada siapa pun yang akan menginginkan dirinya dengan tubuh cacat seperti ini. 

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 3 (Bukan Keluarga Sempurna)

    Suara tawa Julia memenuhi ruang makan. Sementara Leon terkekeh, menahan tawa ketika Aleta tertunduk malu dengan cerita pria itu di meja makan. “Ya, aku tak akan meny alahkanmu, Aleta. Ada banyak orang yang salah paham dengan hubungan kami. Selain kau, memang hanya aku satu-satunya teman dekat yang dimiliki oleh Leon. Terutama karena aku wanita, dan aku menjadi satu-satunya wanita yang tak mungkin jatuh cinta pada manusia tak punya hati seperti Leon.”Leon mendengus tipis. “Tak mungkin, ya?” ejeknya. “Dan aku memiliki hati. Hanya bukan untukmu saja,” koreksinya menambahkan.Julia mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak akan memandangmu sebagai seorang teman yang layak dikasihi jika kemungkinan itu ada, Leon. Aku cukup tahu diri akan kesabaranku menghadapi karakter keras kepala sepertimu. Egoku tak sekuat itu untuk menerima pasangan egois, tak berperasaan, dan bodoh sepertimu. Kau sangat beruntung akhirnya menemukan wanita yang tepat untukmu. Dan ka

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 2 (Bukan Istri Pertama)

    Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu  Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 1 (Bukan Sang Pewaris)

    “Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak

  • Bukan Sang Pewaris   80. Ternyata Saling Merindukan (Ending)

    ‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka

  • Bukan Sang Pewaris   79. Cukup Untuk Kita Bertiga

    “Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph

  • Bukan Sang Pewaris   78. Keputusan Leon

    Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status