Tak lama kemudian ada dokter dan beberapa perawat yang masuk ke dalam ruangan tempat Ana berada.
"Edna, apa kamu merasakan sesuatu yang salah?"
Ana terlihat kebingungan saat melihat dokter tersebut dan dia dengan segera menjawab. "Maaf tapi saya bukan Edna. Saya mau pulang saja," katanya dengan suara pelan.
Ana tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang jelas, dia tidak ingin berada di sini lama-lama.
Wajah semua orang yang ada di ruangan itu terlihat syok. Claudia, wanita paruh baya yang berpenampilan anggun itu bahkan oleng dan hampir terjatuh andai saja tidak ditahan oleh Patrik.
Patrik melihat ke arah dokter dan memberikan isyarat untuk memeriksa adiknya dengan lebih detail.
"Nama kamu adalah Edna. Griselda Edna Hariman. Kamu tidak ingat?” tanya dokter.
Ana menggeleng, hendak menjelaskan bahwa dirinya bukan gadis yang dimaksud. “Saya—”
“Nyonya dan tuan, tolong keluar sebentar. Saya mau memeriksa Edna dengan lebih mendalam." Dokter yang tahu bahwa ada yang tidak beres dengan pasien ini langsung bertindak dengan siaga.
Awalnya Claudia terlihat keberatan, tapi karena isyarat dari Patrik maka wanita itu dengan berat hati keluar dari ruangan.
Ana yang mendengar nama belakang Hariman langsung teringat pada cerita Leona.
Ia ingat bahwa sebelum mengalami kecelakaan, Leona bercerita mengenai anak perempuan keluarga Hariman yang memberikan Leona sepatu mahal yang cantik.
Leona juga mengatakan bahwa keluarga Hariman adalah konglomerat yang memang sudah kaya raya dari dulu.
Ana tidak bertanya lebih lanjut bagaimana Leona bisa mengenal orang hebat semacam itu, tapi yang paling Ana ingat adalah wajah anak perempuan keluarga Hariman yang sama persis dengan Ana.
Mungkinkah Edna adalah gadis yang dimaksud oleh temannya itu?
Akan tetapi, bagaimana bisa dirinya ada di sini dan disalahpahami sebagai Edna? Kemana Edna yang asli?
Ribuan pertanyaan memenuhi kepala Ana hingga membuatnya pusing. Dokter mengajukan beberapa pertanyaan lagi, tapi Ana tak begitu mendengar hingga pandangannya kembali mengabur.
*
"Berdasarkan hasil pemeriksaan secara menyeluruh, sebenarnya tidak ada yang salah dengan Edna. Edna memang mengalami kecelakaan yang parah namun hal itu tidak mengakibatkan hilangnya ingatan." Dokter mulai menyampaikan hasil pemeriksaan Edna pada Patrik dan Claudia.
"Lalu kenapa anak saya seperti itu, dokter? Kenapa dia bilang dia bukan Edna?"
Claudia bingung dan cemas. Kalau memang Edna tidak kehilangan ingatannya mengapa dia mengatakan hal semacam itu?
"Ma, kita dengarkan dulu ucapan dokter yang selanjutnya." Patrik tetap mencoba untuk tenang walaupun hatinya sama seperti ibunya.
"Kondisi ini jauh lebih berbahaya karena berarti ada yang salah dengan kondisi psikologisnya. Edna memasang mekanisme pertahanan dengan melupakan sosok dirinya yang bernama Griselda Edna Hariman,” jelas dokter tersebut. “Bagi Edna, dirinya merasa tidak nyaman dan tidak puas dengan kehidupan sebagai Griselda Edna Hariman. Mekanisme pertahanan itu berhasil dibangun karena dia mengalami kecelakaan fatal yang sampai membuat syok."
Fakta mencengangkan yang diucapkan oleh dokter semakin membuat Claudia dan Patrik tidak habis pikir. Mengapa kondisi seperti ini dialami oleh Edna? Bukankah Edna bahagia saja selama ini?
"Patrik, apa mama ada salah dengan Edna? Apa mama selama ini tidak bisa jadi ibu yang baik untuk Edna? Mama terlalu kasarkah? Apa kasih sayang mama tidak bisa tersampaikan pada Edna?"
Claudia langsung meracau kemana-mana. Bagi dirinya, kondisi ini benar-benar merupakan neraka. Neraka yang lebih buruk dibanding saat dia diselingkuhi oleh suaminya.
"Ma, bukan begitu. Kehidupan Edna kan gak cuma seputar di keluarga ini, ada kehidupan lainnya di luar sana. Tugas kita sekarang adalah bagaimana agar Edna ingat dengan identitasnya dan merasa nyaman dengan identitas itu."
Claudia langsung memasang kilatan mata yang marah, merasa tidak terima.
"Pasti Jagad pelakunya!” sergah wanita itu. “Edna kecelakaan bersama dengan Jagad kan? Mama tidak akan memaafkan anak itu! Kecelakaan mereka ini pasti karena pertengkaran mereka. Mama yakin selama berpacaran, Edna pasti menderita!"
"Ma..." Patrik tidak tahu lagi harus berbuat dan mengatakan apa sekarang ini. Ia hanya mencoba untuk menenangkan ibunya yang histeris.
Dokter berusaha maklum. “Saat ini yang terpenting adalah membuat Edna kembali mengingat identitasnya. Mari saya terangkan lebih lanjut apa yang harus dilakukan."
Mereka pun akhirnya meninggalkan ruangan.
Di sisi lain, Ana ternyata sudah sadar dan tengah sibuk dengan pikirannya. Kondisi tubuhnya masih lemah sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk. Awalnya Ana pikir itu adalah wanita dan pria tadi. Tapi nyatanya yang datang adalah seorang pria asing.
“Kamu siapa?” tanya Ana bingung sekaligus cemas. Ia takut pria itu punya niat buruk terhadapnya.
"Anda sudah tidak bisa melarikan diri dari nasib takdir Anda,” katanya.
“Maksud—”
“Sekarang Anda bukan lagi Anandita Misellia Atmaja,” sela pria itu. Ia kemudian melanjutkan, “Tapi identitas baru anda adalah Griselda Edna Hariman. Anda adalah anak perempuan sekaligus anak kedua dari konglomerat Harjokusumo Hariman dan Claudia Irene Hariman. Kakak pertama Anda adalah Ivander Patrik Hariman. Claudia bukanlah ibu kandung anda melainkan ibu tiri anda.”
Ana sama sekali tidak bisa mencerna apa yang orang di depannya ini katakan. Bagi Ana, semua ucapan orang ini terdengar aneh dan tidak waras.
‘Aku harus kembali ke keluargaku,’ batin Ana. Meski kehidupannya sebelum ini mengenaskan, tapi itu lebih baik daripada bersama orang yang tak ia kenal sama sekali.
Saat Ana ingin pergi dari sana, ada seorang pria yang masuk ke dalam kamar rawat inap itu.
Ana mengernyit. Ia tahu benar siapa orang itu. Dia adalah pria yang mau memberikan Ana kompensasi karena mengira dirinya adalah Edna!
Sebentar, berarti Edna yang diceritakan oleh Leona adalah Edna yang sama dengan pacar pria ini?!
"Maksud kamu itu gak akan bisa dipahami oleh dia,” kata Jagad pada pria di sebelahnya.
Ia kemudian beralih pada Ana yang tampak linglung. “Ana dengar saya baik-baik. Saya dan Edna mengalami kejadian yang tidak menyenangkan–bahkan mengenaskan, hingga akhirnya Edna tidak bisa lagi ada di sini. Oleh karena itu, kamu harus menggantikan Edna.”
“A-apa? Kamu bilang apa?!”
Berbanding terbalik dengan Ana yang syok, Jagad justru tampak begitu tenang.
“Semua hal yang ada di kehidupan Edna adalah milik kamu sekarang. Saya yakin sebesar apapun tanggung jawab Edna, itu tidak semengerikan kehidupan kamu sebagai Ana.”
Mendadak kepala Ana terasa pusing kembali.
“Kalau kamu mau kembali lagi ke keluarga kamu itu silahkan saja. Hanya saja ada konsekuensi yang harus kamu tanggung. Sekarang Ana dinyatakan sudah meninggal dan pasti saat ini keluargamu sudah mulai menyiapkan pemakaman."
Ana membelalak ngeri, benar-benar terkejut mendengar informasi itu. Ia seketika merasa takut pada Jagad.
Pria ini bukan orang sembarangan. Dia bisa melakukan apapun karena dia punya uang dan kuasa. Ana sebagai orang di bawahnya bahkan diotak-atik kehidupannya saat sedang berjuang untuk hidup.
"Maaf. Tapi saya tidak tahu masalah apa yang anda alami dengan pacar anda. Kenapa saya harus mengikuti keinginan anda? Saya mau pergi saja dari sini."
Ana tidak mau ikut dalam intrik permainan orang kaya ini. Konglomerat akan selalu punya cara untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan. Ana tidak mau larut di dalam rencana jahat itu.
"Bukannya saya sudah bilang bahwa anda sudah mati? Anda itu sudah tidak dianggap lagi di keluarga itu."
"Bagaimana mungkin saya bisa dianggap mati padahal saya masih ada di sini!” kata Ana tidak terima.
"Itu karena jasad Anda memang ada di sana,” kata Jagad, masih dengan ketenangan yang sama. “Kematian anda sudah terbukti dengan adanya jasad. Anda tahu? Wajah anda sangat mirip bahkan sama persis dengan wajah pacar saya."
Ana menelan ludah, mencoba mencerna semuanya. Jadi maksud orang ini, Edna yang asli sudah tiada? Berarti orang ini sudah membunuh Edna yang asli, bukan?
Ana seketika gemetar. Apakah hidupnya memang terus ditakdirkan untuk mengalami kesialan seperti ini?
"Anda membunuh pacar anda sendiri? Apakah anda waras? Saya mau pergi dari sini. Sudah cukup saya berbohong pada keluarga Edna!"
Ana sangat yakin walaupun Edna bukanlah putri kandung dari wanita tadi, wanita tadi pasti sangat menyayangi Edna.
"Kalau anda melarikan diri sekarang, maka Anandita Misellia Atmaja akan benar-benar mati.”
Ucapan Jagad membuat Ana terpaku. Ia menatap pria itu dengan wajah mengeras. Tapi tampaknya Jagad tidak terpengaruh. Ia mendekat dan menatap Ana dengan ekspresi yang tidak terbaca.
“Hidup menjadi Griselda Edna Hariman tentu saja lebih baik daripada kehidupan anda di keluarga itu. Anda sudah melihat sendiri bagaimana keluarga Edna sangat menyayangi Edna. Pilihlah pilihan yang paling masuk akal, Ana."
"Kamu belum juga hamil, Edna?" Saat ini pertemuan keluarga Sastrawidjaja. Lebih tepatnya para wanita keluarga ini. Ana sudah tahu pertanyaan ini akan dia terima di perkumpulan keluarga ini. Namun tetap saja rasanya tidak nyaman. Ana masih bingung harus menjawab bagaimana. Tidak ada yang menemani dirinya untuk menjawab pertanyaan ini. Biasanya Edric yang akan menemani Ana untuk menjawab pertanyaan ini. Namun sekarang Ana harus menghadapi pertanyaan ini. "Edna, kamu kok diam saja?" Pandangan tante yang menatap Ana dengan tatapan tajam karena merasa diabaikan. "Ah, maaf tante. Aku lagi gak fokus jadi gak bisa menjawab pertanyaan tante dengan baik. Ya mohon doanya saja tante." Ana menjawab dengan diplomatis dan tidak menyinggung siapapun disini. "Ya ampun. Kamu ini padahal kesibukannya cuma kuliah tapi masa untuk memfokuskan hal seperti ini saja tidak bisa." Lagi-lagi ada saja kesalahan Ana yang terlihat di mata para tante ini. Ana menghela nafas lelah tapi lirih hingga hampir tidak
Tidak Ana sangka bahwa hubungannya dengan Edric sudah sejauh ini. Mereka bahkan sudah melakukan aktivitas yang sepantasnya hanya dilakukan oleh suami istri. Yah walaupun hati Ana berdebar saat akan melakukan, saat melakukan, dan setelah melakukan tapi tetap saja dirinya sadar bahwa ini semua hanyalah rencana Edric yang sempurna. Edric ingin punya keturunan demi bisa memperkuat posisinya di keluarga. Ana harus bersyukur karena Edric tidak mensyaratkan kriteria tertentu seperti perempuan atau laki-laki. Dengan hal itu saja sudah membuat Ana lega bukan main. Jika ada tambahan kriteria jenis kelamin tertentu tentu saja Ana bisa-bisa mengalami keguguran karena stress memikirkan jenis kelamin bayinya. "Aku dengar kamu udah mulai perkuliahan kamu dengan baik. Bagus deh kalau begitu." Patrik mengajak Ana untuk bertemu dengan tujuan yang Ana sendiri tidak paham. Walaupun mereka tidak pernah saling memberitahu bahwa mereka sudah paham kalau Edna yang asli sudah meninggal dan yang saat ini berp
Edric membuat gebrakan macam apa ini? Kenapa tiba-tiba memanggil sayang di depan teman barunya? Biasanya gak ada tuh mereka panggil sayang-sayang karena ya hubungan mereka memang gak sedekat itu. Ada yang aneh dan Ana khawatir akan sesuatu. "Ini teman sekelas aku. Namanya Sore. Sore, ini suami aku. Namanya Edric." Ana buru-buru menghilangkan kecanggungan yang muncul dengan memperkenalkan kedua orang ini. Kedua orang ini tidak saling mengenal hingga mungkin saja kecanggungan itu akan lebih kental atmosfernya dibanding yang Ana kira. "Sore""Edric""Yaudah kalau kamu mau main sama temanmu ya main aja. Kamu mau main di rumah ini atau di luar?" Setelah menyelesaikan basa-basinya kemudian Edric segera mengalihkan pembicaraan ke Ana. "Aku mau main di rumah saja sih. Di kamar pribadiku itu lebih tepatnya. Kamu sendiri ngapain jam segini udah pulang?" Ini masih sore dan tentu saja merupakan hal yang aneh kalau Edric sudah pulang. Apakah terjadi sesuatu? Memangnya terjadi apa sih di kantor?
Sore menatap Ana dengan tatapan heran dan penuh tanda tanya. "Maksudnya ekonomi kamu di bawah kami itu bagaimana? Duh lelucon ini benar-benar deh. Aku gak tahu kalau gaya bercandamu kayak gini. Edna, aku kasih tahu ya. Kalau bercandaan kamu kayak gini orang-orang justru akan menganggap kamu aneh dan gak bersyukur. Yah aku tahu kamu cuma bercanda tapi gak dengan beberapa orang di kampus ini. Yah ini mungkin ada kaitannya sama ekonomi menengah jadi mereka jadi lebih sensitif dan gampang tersinggung untuk hal yang sebenarnya biasa saja. Jadi aku sarankan kalau kamu mau temenan sama yang lain bercandanya jangan yang begitu. Nanti orang-orang gak mau temenan sama kamu dan malah nganggap kamu orang yang sombong sama gak punya empati. Tapi ya kalau kamu cuma mau temenan sama aku juga gakpapa kok. Aku tuh menerima semuanya dengan baik dan hati yang lapang. Jadi kamu gak perlu khawatir dengan semua itu." Sore tersenyum lebar. Ana menebak dibalik senyum yang lebar itu Sore kemungkinan menjalan
Ana pikir kuliah seperti ini adalah cara terbaik untuk mencari kesibukan jika tidak bekerja. Ana sudah tidak sanggup lagi jika harus bekerja di tempat penyihir yang tak lain dan tak bukan adalah mantan kekasih Edric. Orang itu benar-benar seperti hama yang menghambat langkah hidup Ana dan Edric. Yah walaupun orang itu adalah penyelamat tempat usaha Edric kan tetap saja yang untung itu adalah orang itu. "Edna, jadi kamu udah nikah ya." Seorang teman baru bernama Sore langsung menyapa Ana. Yah Ana sudah dengan Sore sejak zaman ospek dan sekarang mereka berteman akrab. Ana belum bisa memprediksi kapan mereka akan bertengkar ataupun tidak akur tapi yang penting Sore sekarang ini menjadi temannya. "Yah aku emang udah nikah. Satu tahun yang lalu aku nikahnya." Ini entah kemampuan sosialisasi Ana yang buruk atau bagaimana tapi orang yang bisa akrab dengan dirinya hanyalah Sore ini. Teman-temannya yang lain hanyalah sebatas teman kerja kelompok. Yah padahal setahu Ana dirinya sudah berusaha
"Semua urusan kamu lancar gak tadi?" Edric lagi-lagi datang terlebih dahulu dibanding Ana di rumah. Ana heran pekerjaan macam apa yang dikerjakan oleh Edric hingga dirinya bisa berada di rumah padahal ini kan masih sore."Lancar aja kok." Tadi Ana memang sengaja berbohong dengan bilang bahwa dirinya ada urusan dengan temannya. Ana pikir Edric akan bertanya macam-macam tapi ternyata Edric tidak bertanya apapun dan malah meminta Ana untuk menyelesaikan urusannya. Tadi Edric bahkan bilang kalau mau pulang bilang saja pada Edric untuk menjemput. Kalaupun Edric tidak bisa menjemput secara langsung maka akan ada orang lain yang menjemput Ana. Yah tapi lagi-lagi karena Ana takut merepotkan pada akhirnya Ana bilang dia akan pulang sendiri dan anehnya Edric tidak bertanya apapun bahkan tidak membantah sedikitpun. Edric tidak bertanya lagi dan segera membuat es kopi. Ana yang merasa situasi ini agak aneh, ya dari tadi pagi sih anehnya langsung mencoba bertanya pada Edric. "Edric, aku ada bikin