Share

Bab 3. Jangan Panggil Papa!

Ya, pemiliki suara itu sepertinya kaget melihat Ashera ada di mini market tempatnya berdiri saat ini.

Karena mendengar namanya disebut, Ashera pun menoleh dan melihat ke arah sumber suara.

"Ayah?" panggilnya lirih. Ashera tidak kalah terkejut, sama seperti pria itu.

Pria yang dipanggil ayah itu mengedarkan mata ke sekitar seolah dia ingin memastikan tidak ada yang mendengar Ashera memanggilnya ayah. Setelah merasa aman terkendali, pria itu kembali mengarahkan mata pada Ashera.

"Jangan penah memanggilku ayah! Kamu bukan anakku dan aku tidak pernah mempunyai putri sepertimu," ucap pria itu setengah berbisik seolah takut didengar oleh orang lain. Pria itu kembali mengedarkan mata.

Ashera terdiam. Manik matanya tidak berkedip menatap lekat dan dingin pria yang tidak pernah mengakui anak itu. Sebenarnya dia tidak kaget dengan penolakan itu, tetapi sebaliknya, Ashera mencibir dalam hati.

Pria itu adalah Kafi, mantan suami Zanna, ibunya. Kafi adalah ayah Ashera dan Aleysa. Sayangnya pria itu telah bercerai dengan Zanna, ibu Ashera sejak Ashera berumur 3 tahun dan Aleysa berumur 4 tahun. Alasan perceraian mereka tidak begitu jelas diketahui oleh Ashera dan Aleysa, bahkan sampai saat ini pemahaman kedua putri itu berbeda tentang alasan perceraian orang tua mereka.

Bagi Ashera, Kafi adalah bentuk ayah yang tidak bertanggung jawab yang telah menyakiti dan menelantarkan ibunya demi wanita lain, tapi bagi Aleysa sebaliknya. Zanna, ibunya yang telah menelantarkannya.

Ashera menghirup napas panjang dan menghempaskannya secara perlahan. Rasa yang bergejolak dalam hati ditekannya terlalu dalam.

"Aku sudah menjalankan tugasku, bagaimana dengan uangnya?" tanya Ashera.

Dia tidak peduli dengan larangan Kafi padanya untuk tidak memanggilnya ayah. Bagi Ashera, dia juga tidak membutuhkan sosok ayah seperti Kafi.

"Uangnya sudah aku transfer ke rumah sakit," jawab Kafi sembari memalingkan wajah menghindari tatapan Ashera.

"Rumah sakit?" Ashera kaget dan bingung. Dia juga merasa heran atas jawaban Kafi.

Kafi mengatakan telah melakukan transfer ke rumah sakit. Rumah sakit mana? Bahkan Ashera tidak pernah mengatakan dan menceritakan padanya juga pada Aleysa di mana ibunya dirawat saat ini.

"Anda telah membayarnya ke rumah sakit?” Ashera mencoba mengulang apa yang dikatakan oleh Kafi dengan sebuah pertanyaa sekedar mengulang.

Ashera sedikit memiliki keraguan atas apa yang dikatakan oleh Kafi. Ditatapnya lekat pria yang telah mencampakkan ibu dan dirinya selama 20 tahun.

Kafi mengalihkan mata ketika tatapan Ashera tepat mengenai manik matanya. Pria itu mengalihkan pandangnya ke arah lain, ke arah kasir mini market yang sedang menghitung barang belanjaan Ashera.

“Total semuanya lima puluh tiga ribu rupiah, Nona,” ucap kasir melihat Ashera yang masih memperhatikan Kafi.

“Biar aku saja yang membayarnya,” sahut Kafi.

Kafi menggunakan kesempatan ini untuk menghindari tatapan curiga Ashera, makanya dia mengatakan bila akan membayar semua tagihan Ashera, padahal dalam hati sama sekali tidak ingin mengeluarkan uang satu rupiah pun untuk Ashera.

“Tidak perlu, Tuan!” Ashera menahan tangan Kafi saat pria itu hendak mengeluarkan dompet. “Anda cukup memenuhi janji Anda padaku saja!” sambungnya menyindir dan mengingatkan Kafi pada janjinya.

Kafi terdiam. Dia canggung dan membisu, tiba-tiba sikapnya sedikit gemetar. Hanya saja dengan cepat pria itu mengalihkan dengan tersenyum.

“Sebaiknya kamu lekas kembali ke rumah sakit karena aku sudah membayarnya semua!” ucap Kafi sembari berlalu meninggalkan Ashera dengan tatapan yang tidak mau beralih darinya.

Entah mengapa Ashera merasa tidak yakin dengan perkataan pria itu, pria yang melarangnya memanggil ayah? Entah ayah macam apa dia? Di saat putrinya memangggil ayah, dia menolaknya, sedangkan ayah yang lain menginginkan anaknya memanggil dan mengakui sebagai ayah.

Setelah membayar tagihan belanjaan, Ashera berjalan ke luar untuk segera ke rumah sakit menenami ibunya. Sial! Saat dia membuka pintu mini market, saat itu juga hujan gerimis turun mengguyur bumi. Ashera menggerutu pelan karena ada saja yang menghalanginya untuk segera pergi ke rumah sakit.

Ashera harus menunggu hingga hujan sedikit reda. Meski gerimis, tapi lumayan deras dan bila dia tetap nekad menerobosnya, maka pakaiannya akan basah kuyup sehingga Ashera memilih untuk menunggu hingga sedikit reda.

“Halo, Ashera, kamu di mana?” Suara Trixi, sahabatnya dari dalam telepon selular Ashera yang bisa dikatakan jadul.

“Aku di mini market dekat rumah sakit. Ada apa?” jawab Ashera terdengar santai dan tenang.

“Ashera, apa yang kamu lakukan di sana? Cepat datang ke rumah sakit sekarang juga!”

“Trixi, ada apa? Apa yang terjadi pada ibuku?” Ashera mulai panik ketika suara Trixi terdengar cemas dan terkesan memaksanya untuk segera datang ke rumah sakit.

“Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Cepat kamu datang!” desak Trixi.

Ashera semakin tidak tenang dan panik. Dia tidak bisa menunggu hingga hujan reda. Setelah menutup panggilannya, Ashera langsung menerobos hujan yang mulai turun dengan deras. Ashera tidak peduli dengan pakaian dan tubuhnya yang basah karena guyuran air hujan. Suara Trixi lebih menuntut dia untuk segera ke rumah sakit.

Dengan tubuh basah dan kedinginan, bibirnya pun gemetar dan mulai membiru, Ashera berjalan memasuki area rumah sakit dan langkahnya semakin cepat menelusuri koridor menuju ruang perawatan ibunya, Zanna.

Jantungnya berdebar dengan cepat ketika langkah kakinya telah semakin mendekati ruang perawatan ibunya. Darah Ashera semakin berdesir deras ketika melihat beberapa perawat dan dokter sedang memenuhi ruang perawatan ibunya. Kaki Ashera langsung terasa lemas tidak berdaya ketika melihat sahabatnya, Trixi mendekap mulutnya sendiri dan tampak menahan tangis dengan arah pandang ke arah kerumunan tim medis.

“Ibu!” teriak Ashera langsung berlari mendekat.

“Shera!”

Melihat kedatangan Ashera dengan tubuh basah dan langsung berlari ke arah tempat tidur, Trixi langsung menyambutnya dan memeluknya erat. Dia mencegah Ashera mendekati ibunya karena perawat dan dokter sedang melakukan pertolongan.

“Trixi, apa yang terjadi pada ibuku?” tanya Ashera dalam isak tangisnya.

Trixi masih terus mendekap dan memeluk tubuh Ashera. Dia tidak mau melepaskannya karena khawatir Ashera akan histeris dan mengganggu tim medis dalam melaksanakan tugasnya.

“Ibumu mengalami syok, Shera,” jawab Trixi sedikit ragu, dia takut Ashera kaget mendengarnya.

Apa yang ditakutkan Trixi benar, setelah dia memberitahu apa yang terjadi pada ibunya, Ashera langsung menghentikan tangis dan merenggangkan pelukan mereka. Mata Ashera langsung menerobos dan menghujani Trixi dengan tatapan lekat meminta penjelasan dan merasa tidak percaya.

“Ashera, aku juga tidak tau kenapa ibumu bisa syok, tadinya baik-baik saja. Saat aku datang dan aku lihat ibumu lapar, dia meminta aku membelikan bubur untuknya, maka aku pergi meninggalkannya. Dan saat aku kembali, ibumu sudah kejang, dokter dan perawat juga sudah ada di sini,” jelas Trixi.

Tubuh Ashera saat itu semakin lemas, kakinya terasa tidak memiliki tulang lagi. Yang dimilikinya saat ini hanya ibunya, tidak ada lagi yang lain. Kafi dan Aleysa adalah orang lain, meski meraka keluarga. Demi kesembuhan dan pengobatan ibunya, Ashera merelakan mahkota kegadisannya hilang dalam rengkuhan Arion, tunangan Aleysa. Sekarang bila dia harus kehilangan nyawa ibunya juga, dunia ini tidak adil baginya.

Ashera menjatuhkan tubuhnya luruh di atas lantai rumah sakit yang dingin dan yang pastinya banyak kuman dan bakteri di sana, tapi dia tidak peduli. Hancur dan sakit hati dalam kehidupannya lebih mengkhawatirkan dari bakteri dan kuman yang menghinggapi tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status