Share

7. Martabat Tristan

Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. 

SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.

Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?

Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.

Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.

Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut Tristan yang hendak mengatakan sesuatu langsung kicep saat ditatap dengan tajam.

Wajah Rossa tidak ada ramah-ramahnya. Dia menatap lurus ke arah Tristan yang berdiri di pintu kamarnya. Posisi mereka saat ini saling berdiri di depan kamar masing-masing. Dan menatap wajah menyebalkan di depannya, Rossa langsung ingin mengamuk lagi.

Lama-lama rambutnya bisa memutih karena pengaruh Tristan. Tapi sudah terlanjur terjun. Rossa sudah memikirkan matang-matang sejak tadi bahwa dia akan tetap tinggal di apartemen ini. Duit di rekeningnya sudah tinggal 49 ribu, buat bayar hutang jelas tidak bisa. Mau ditarik juga gak bisa. Kurang seribu.

Gini banget ya jadi melarat di awal bulan.

“Lo…mau kemana?”

“Bukan urusan lo, kan?”

Rossa menjawab ketus. Berjalan ke arah rak sepatu dan mengambil kuncinya. Perutnya keroncongan karena belum diisi, dan dia lagi ngidam mie tek-tek, sate, dan jajanan pasar lainnya. Soalnya, tadi FYP tiktoknya makanan semua. Jadilah Rossa kelaparan brutal.

“Ros, mau kemana sih? Gue ini orang, kalo ditanya ya dijawab. Kalo mau keluar bilang, ntar lo kenapa-napa gue yang rugi.”

Tangannya di cegat, Rossa menatap Tristan tajam. Lelaki itu langsung melepas tangannya dan menelah ludah.

“Gue dan lo cuman sesama penghuni. Gak lebih. STOP NGURUSIN URUSAN GUE!”

“Tapi…”

“Tapi apa?”

Tristan menelan ludah. Lalu benar-benar melepaskan tangannya dari Rosa. Pintu di hadapannya pun tertutup dengan tidak ramah. Alias dibanding dengan full power. Gila. Kalo kek gini terus, jebakan Tristan mana bisa berhasil. Dia sedih, begitu juga adiknya.

***

Rossa tau jika di dekat apartemen-nya, ada street food yang buka malam-malam. Tapi dia harus berjalan 1 kilometer. Begitu tiba, bibir Rosa langsung sumringah karena masih banyak yang jualan, dan masih sedikit rame. Segera dia menuju stan penjual sate, membeli dua porsi dibungkus.

Tidak lupa cilok, mie tek-tek, dan kawan-kawan. Surganya jajanan mah  kalo ini. Melirik jam di tangannya, sudah hampir pukul 12 malam. Segera Rosa membeli item terakhir dan berjalan pulang. Tapi baru 300 meter berjalan pulang, Rossa merasa ada yang mengikutinya.

Nafasnya memburu. Dia tahu jalanan itu juga sedikit rawan, dan sering terjadi kekerasan seksual. Seharusnya pemerintah setempat lebih meningkatkan keamanan. Karena kesalahan itu bukan terletak pada orang yang jalan malam. Tapi para pelaku kejahatan itu.

Perasaan Rosa semakin tidak karuan. Mana dia tidak bawa ponsel. Benar saja, begitu melihat ke belakang, ada seorang lelaki yang mengikutinya. Rossa langsung lari, dia sedang tidak punya energi untuk melawan. Lelaki itu mengejarnya, wajahnya ditutupi masker.

Di tengah usahanya, Rosa mendadak berhenti. Di depan, ada seorang lelaki. Kini dia di kepung oleh dua orang. Sepertinya mereka itu satu komplotan.

“Dia mangsa gue.”

Lelaki yang lebih dulu mengejar Rossa berbicara dengan suara berat. Dari perawakannya, Rosa tahu lelaki itu sepertinya sudah memasuki usia 30-an. Dewasa. Ini bahaya, Rosa tidak bisa melawan mereka.

“Jangan mendekat.” Teriak Rosa panik, sambil mengacungkan tusuk satenya yang masih ada dagingnya. Rosa menatap miris satenya. Tapi setidaknya itu bisa melawan. Lelaki yang tadi menghadangnya di depan sudah pergi seolah tahu wilayah masing-masing.

“Manis sekali. Aku akan membelimu sate lagi jika malam ini kau…”

“TOLONG.”

“Dasar pembangkang. Harusnya kau menurut.”

Tangan Rosa sudah di cekal, dan di paksa untuk ikut. Rosa berusaha menggunakan kekuatannya, dia menyerang perut lelaki itu. Tapi malah tangannya yang sakit. Dia berusaha lagi untuk menendang aset lelaki tadi, tadi kakinya malah ditahan.

Senyuman nakal itu terdengar jelas.

“Cantik-cantik tapi bandel. Kau sepertinya juga liar di ranjang. Sekarang ikut denganku.”

“TOLONG…EMPHHH…” Rossa tidak bisa berteriak karena mulutnya disumpal. 

Bruk—tubuh lelaki itu terlempar ke depan. Rosa terlepas dan menabrak sesuatu yang keras tapi harum. Begitu melihat siapa yang menariknya, wajah Rosa langsung memerah ingin menangis. Ini kali pertama dia mengalami hal seperti ini.

“You okay?”

Tristan bertanya lembut. Tapi langsung berjalan ke depan, mengambil langkah untuk memukul lelaki mesum tadi.

“Sialan.”

Lelaki itu langsung kabur. Rosa diam mematung, kakinya masih lemas. Sate dan jajanannya sudah jatuh di jalan. Jauh dari itu, perasaan takutnya sedikit kambuh.

Tristan berbalik, menatap wajah Rosa yang panik. Apa dia bilang kan, Rosa saja yang bawel.

***

Rossa diam di sofa, sejak tadi Tristan mengomelinya panjang lebar kali tinggi. Dia juga tidak mengerti kenapa hanya menunduk dan terima saja. Seakan-akan dia ini adalah pacar Tristan.

“Gue udah bilang kan sama lo. Coba tadi gue gak dateng, lo…sialan, makanya lain kali bawa ponsel lah minimal. Keluar malam tapi gak bawa apa-apa. Jakarta keras bos.”

Krukkkkk

Sialnya, perut Rosa malah berbunyi lagi. Dobel-dobel sudah rasa malunya. Sambil memainkan jemarinya, Rosa terus menunduk. Membuat Tristan gemas, dia mengambil ponselnya dan memesan beberapa makanan.

“Lo ada alergi gak?”

“Udang.”

“Okey.”

Tidak lama, pesanan Tristan langsung datang. Chicken steak, dan pizza tersaji diatas meja. Aromanya langsung menusuk hidung Rosa, membuatnya perutnya semakin berontak brutal. Dia menelan ludah sambil menatap makanan itu.

“Makasih.”

“Buat apa?” Tristan menyipitkan matanya. Bibirnya tersenyum. Ini kesempatannya. “Oh, lo laper?”

Pake nanya lagi. Batin Rosa mulai kesal.

“Lo boleh makan.”

Mendengarnya, mata Rosa langsung berbinar dan hendak mengambil sendok. Tapi tertahan karena tangan Tristan terangkat di atas makanan. Rosa menatap lelaki itu bingung. Perasaannya mendadak tidak enak, pasti Tristan ada maunya.

“Lo bisa makan. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

One Kiss. Itu syaratnya.

WHAT? LO…”

“Eits, lo lapar dan mau makan kan? Percaya deh sama gue, lo gak bakal bisa beli makan malam begini.”

Sambil mengumpat dalam hati. Ini namanya kesempatan dalam kesempitan. Tapi Rossa membenarkan ucapan Tristan. Bukannya tidak ada gerai fast food yang buka 24 jam. Tapi…masalahnya, uangnya sudah habis tadi. Dan sisa di m-bankingnya juga gak bisa di transfer. Minimal harus sisa 50.000.

Apes banget kan.

“Gimana. One kiss doang kok. Masa lo gak bisa?”

Rossa masih diam. Sekali aja, kan? Kalau itu bisa membuat pria di depannya sedikit jinak, dan dia bisa mengisi perutnya yang sudah membombardir perutnya, gak masalah. Rossa juga gak punya pilihan lain.

“Oke.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status