Share

6. Berengsek

Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.

Dia selalu menerapkan hidup minimalis.

Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.

Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.

Untung bibirnya gak robek.

Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.

“Wah, ini bisa pemborosan ini. Lampu kok gede amat, harus diganti. Noted

Di samping itu, Rossa kembali melihat-lihat sekeliling. Ia cukup terperangah melihat beberapa perabotan yang sudah tersedia. Mereknya juga tidak sembarangan, bukan KW juga. Dapurnya lengkap, TV segeda gaban ada di ruang tengah juga. Pemilik sebelumnya sangat estetik.

Rosa melangkah membuka gorden itu, dan pemandangan kota itu terlihat jelas. Bibirnya tersenyum, ini adalah apartemen impiannya selama ini. Yang hanya bisa dilihat lewat film drakor (drama Korea) saat menjadi budak cinta dari para aktor tampan itu.

Tapi sekarang, view ini tepat di hadapannya sendiri.

I know you like it, right?”

Rosa memekik kaget begitu dia berbalik. Mulutnya melebar, matanya hampir keluar dari tempatnya, dan hidungnya mengembang sedikit. Lutut Rossa bahkan langsung lemas begitu melihat sosok lelaki mesum di hadapannya.

Tapi Rosa diam. Dia memejamkan matanya, berusaha berpikir jernih. Lalu begitu membuka matanya kembali, wajah Rosa semakin tidak terkendali. Sosok itu benar-benar nyata, bukan ilusinya saja. Sepertinya Rossa terlalu banyak kemakan berita mengenai apartemen yang di jual murah ternyata ada penghuninya. Bukan maksud mengatai, tapi itulah yang tadi Rosa pikirkan.

“Ekspresi muka lo kayak ketara banget nyindir, emang gue separah itu?”

“Kenapa lo bisa ada di sini?”

Rosa langsung ke intinya. Sosok di hadapannya ini memang Tristan yang asli, kakinya menapak di lantai dan ada bayangan. Jadi itu bukan mahluk halus yang menyerupai manusia laknat satu ini.

“Berarti lo gak baca kontraknya? Mulai hari ini gue juga bakal tinggal di sini, semua barang-barang gue udah tertata rapi duluan.”

Wajah Rosa membiru. Jiwanya seolah tercabut dan lepas terbang ke atas langit. Manusia yang paling ingin dia hindari mendadak akan tinggal di bawah atap yang sama dengannya? Mereka bisa kena gosip kumpul kebo. Apalagi jika mbaknya tau, habis sudah Rosa.

“Siapa yang memberi izin lo tinggal di sini hah? Keluar gak.”

Tristan menaikkan bahu, mengambil duduk di sofa dengan kalem walau sebenarnya dia sedikit takut melihat betapa horornya wajah Rossa saat ini.

“Lo belum baca kontrak?”

Tanpa babibu, Rosa mengambil ponsel dan membuka file kontrak dari emailnya. Baris demi baris Rosa baca, dan seketika mulutnya tercengang melihat satu lembar terakhir. Benar bahwa dia tidak akan tinggal sendiri, tapi berbagai. Dan jika salah satu pihak mengakhiri kontrak, maka akan kena denda dan uang tidak akan dikembalikan.

Tristan tersenyum sumbing melihat ekspresi wajah Rosa yang manis, walau menakutkan. Senyum cabulnya terbit memandangi tubuh di depannya. Bahkan Adik-nya pun mulai berdenyut-denyut minta dibelai, dielus manjah.

“Tidak. Ini tidak benar. Ini penipuan. File ini rekayasa, dan gue…gue.”

“Lo kenapa? Mau main enak-enak sekarang? Udah gak sabaran?”

Wajah Rossa semakin memerah.

“Ini penipuan.”

“Kan lo udah tanda tangan, kenapa masih ngotot bilang ini penipuan?”

Sambil menggigit bibir, Rossa menahan tangis yang entah kenapa mendadak ingin keluar. Seumur hidup baru kali ini Rossa chaos abis. Dia akui tidak membaca secara detail jenis kontrak yang ditandatangani beberapa hari lalu. Dia hanya melihat apartemennya, dan juga harganya. Jadi karena tergiur, Rossa langsung setuju.

“Tapi gue gak mau tinggal sama lo.”

Habis sudah pertahanan Rossa. Dia duduk di lantai, menutup wajahnya yang sudah memerah dan mulai menangis. Tristan Pun langsung berdiri. Panik, dan bingung harus apa.

“Ya Ampun, kok nangis? Please, stop. Nanti saya dikira ngapa-ngapain kamu, padahal ranjang kita masih rapi. Adik-ku juga masih tidur kok.”

Bukannya berhenti menangis. Rossa makin menangis dengan suara keras.

“Lo memang lelaki…”

“Iya, gue emang lelaki. Makanya malam itu kita bisa…”

Rossa makin depresot. Makin menangis keras. Membuat Tristan sontak menutup kedua mulutnya yang malah ingin tertawa melihat Rossa.

“Kenapa harus sama lo? Di antara banyaknya manusia di planet bumi, kenapa harus lo? Why, kenapa? Arghhh.” Rosa berteriak keras.

“Ya Ampun. Itu namanya jodoh, Ros. Lo terima ajakan nikah gue langsung kita ke pelaminan sore ini juga. Trus malamnya kita bisa merobohkan kasur dengan berbagai gaya. Mau apa? Doggy style, 69, free style pun okelah. Asal sama lo, apa sih yang enggak?” senyum Tristan mengembang dengan imajinasi nakalnya.

“Kenapa lo mesum banget? Kenapa…kenapa.” Rossa melepas sepatunya, dan memukul bahu Tristan kuat.

Rintihan kesakitan terdengar. Tristan kabur, sambil menghindar.

“Sini, lo harus dikasih pelajaran. Sialan, kenapa harus ada manusia kayak lo yang hidup. Dasar manusia mesum.”

“Ampun…ampun. Ros, gue gak tahan lari, gue janji gak bakal ngapa-ngapain lo kok. Serius. Demi apapun.” Tristan mengacungkan dua jarinya.

Rosa menarik nafas dalam-dalam, lalu melepaskan kerah Tristan. Dia hampir saja mengenalkan sepatunya pada wajah lelaki itu. Dia berjalan ke arah sofa dan berbaring di sana. Tubuhnya kehabisan energi mendadak. Dan Rossa juga menyesal kenapa harus seemosi ini, tidak seharusnya dia menangis.

Tapi titik kesabaran Rossa sudah di ujung tanduk. Dia tidak bisa bertahan lama jika sudah berhadapan dengan Tristan.

“Ini beneran gak?”

“Apa?”

“Gue harus tinggal sama lo?” Rossa bertanya dengan wajah sendu.

“Yes.”

“Padahal lo kan kaya, keturunan sultan dan CEO perusahaan. Kenapa harus berbagi apartemen dengan fakir miskin seperti gue? Apa sulit  ya ngerelain apartemen ini buat gue seorang? Lo bisa beli apartemen sebelah.”

Tristan menaikkan bahunya, dan melangkah memasuki areanya. Jangankan membeli satu, Tristan punya ratusan unit apartemen. Tapi apartemen yang ditinggali wanita yang bermalam dengannya itu terasa berbeda. Dan akan menyenangkan. Tristan menutup pintunya sambil tersenyum puas. Satu langkah setidaknya bisa diwujudkan juga.

***

Tangan Rosa sampai gemetar mengetik panjang lebar pada agen properti yang sudah membodohinya. Sudah ada sampai 15 kalimat. Tinggal menekan tombol send. Tapi ada jeda beberapa menit, sampai akhirnya Rossa melembar ponselnya ke kasur sebelah dan berbaring.

Kepalanya sedang dipenuhi satu sosok manusia paling menyebalkan di muka bumi ini. Melihat ke samping, Rossa menghela nafas panjang. Dia juga belum sempat beres-beres, tapi untungnya rumah sudah sedikit bersih.

Lama bergelut dengan pemikirannya, Rosa akhirnya menyerah. Lagipula dia bisa melihat dari sisi positifnya. Punya apartemen bagus dengan harga murah, bahkan sangat tidak masuk akal. Pemandangan yang selama ini dia nanti-nantikan. Paling penting, dia bisa lepas dari kumuhnya apartemen lamanya.

Rosa bangkit, dan mulai berkemas. Bahkan sampai tidak sadar ada sosok manusia yang sedang memperhatikannya sejak tadi dari sofa. Awalnya Rosa mengabaikan, tapi lama-lama jadi risih. Apalagi saat ini Tristan menatapnya sambil tersenyum.

“Lo bisa gak sih ikut berkontribusi sedikit? Setidaknya bantu beresin, atau ngepel kek. Gak ada hati nurani banget jadi manusia.”

Tristan tersenyum penuh maksud. Dia berdiri dan berjalan ke arah koper Rossa. Baru saja tangannya hendak membuka itu, tapi teriakan melengking sudah kembali terdengar.

Wajah Rossa memerah. Dia menarik koper itu menjauhi Tristan. Bisa gawat kalau sampai dia tahu isi kopernya.

Melihat ekspresi Rosa, bibir Tristan membentuk senyuman. Sekarang dia tahu, isi koper itu apa.

“Jangan…please jangan mendekat.” Rossa menggeleng panik saat Tristan melangkah mendekatinya dengan senyum jahanam sialan itu. “Please, jangan.”

“Padahal kita sudah pernah buka-bukaan. Kenapa masih harus malu?”

“Sialan. Lo bisa… TRISTAN BERHENTI.” 

Yang namanya Tristan mana bisa diperintah. Dia berusaha merebut koper itu dari tangan Rossa. Dan wanita itu berusaha menahan. Keduanya bergelut saling menarik.

“Lepasin.”

“Lo yang lepasin, sialan, cabul, berengsek.” Rosa berteriak marah berusaha mengambil kopernya. 

“Gak, gue mau lihat CD lo.”

“Sialan.”

krek 

Keduanya langsung berhenti. Rossa melebarkan matanya saat menatap kopernya yang terbelah dua. Dan paling sialnya, CD, bra dan asetnya yang lain berserak begitu saja di lantai. Wajahnya memerah, bahkan Tristan takut jika keluar asap saking merahnya. 

“BERENGSEK LO.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status