Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?
Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA. “Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi. “Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku. “Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi. “Boleh lah! Jemput ya? Aku tunggu di pertigaan dekat rumah.” Balasku. “Siappp!” Balasnya singkat. Daripada di rumah suntuk + penat, mending jalan jalan sama para bestie aku. Gegas aku bersiap siap. Mandi dulu tentunya. Setelah siap, aku pun segera berangkat. Ku lihat ibu ada di taman samping rumah. Aku pun menghampirinya untuk berpamitan. Meskipun aku sedang jengkel dengannya. Ku cium tangannya dan gegas berlari pergi. “Mau kemana Ren?” Tanya ibu setengah berteriak. Karena aku sudah sampai di depan pagar rumah. “Jalan jalan bentar, buk. Sama Dewi.” Jawabku sambil berteriak. Aku tahu itu tak sopan, tapi aku harus buru buru menghilangkan jejak. Kalau sampai ketahuan mbah kakung, bisa bisa batal deh rencana jalan jalannya. Masih bisa kudengar teriakan ibu yang menyuruhku kembali walaupun samar samar. Tapi aku tetap terus berlari ke pertigaan jalan tempatku janjian dengan Dewi tadi. Kemarahan mbah kakung? Itu urusan nanti. Yang jelas, sekarang aku akan pergi jalan jalan dengan teman temanku. Refreshing!! Kulihat Dewi sudah menungguku di pertigaan jalan. Bukan hanya sendiri, tapi dengan Santi dan Dian yang berboncengan menggunakan motor milik Santi. “Aman?” Tanya Santi melihatku datang dengan nafas tak beraturan. Teman temanku ini sudah tahu, jika mbah kakung tak memperbolehkanmu pergi sendiri tanpa ditemani sepupuku. Jadi setiap aku pergi dengan teman temanku ini, maka aku akan menyelinap dari mbah kakung. Kami berempat jalan jalan keliling kota. Tanpa arah tujuan yang jelas. Setelah merasa lelah dan juga haus, kami pun mencari tempat nokrong yang nyaman untuk kami. Setelah sampai, kami pun menepikan motor kami. Memarkirkan di tempat yang tersedia. Lekas kami masuk dan memilih tempat duduk. Pelayan resto pun segera datang membawakan buku menu. Kami segera memesan minum dan makanan kesukaan kami di resto ini. Tempat ini, adalah tempat langganan kami untuk berkumpul. Tak perlu menunggu lama. Pesanan kami pun terhidang lengkap di meja. Kami makan sambil bercanda dan bersenda gurau. Kadang kami pun sampai tertawa terbahak bahak. Mengundang perhatian para pengunjung yang lain. Inilah kami ketika kami sedang bersama. “Mbah kakung mau menjodohkanku dengan cucu sahabatnya.” Aku mulai bercerita pada ketiga sahabatku ini. “Serius?” Tanya Dian memastikan yang didengarnya. “Buat apa aku bercanda?” Jawabku kemudian. “Mbah mu itu kok otoriter sekali sih, Ren?” Ujar Santi. “Sust. Jangan keras keras ngomongmu San!” Ucap Dewi seraya menaruh telunjuknya di depan mulut. “Bisa saja di sini ada orang suruhannya mbahe Rena buat ngawasi.” Lanjut Dewi. “Kebanyakan nonton film kamu ,Wi.” Ujar Dian. “Kemungkinan itu bisa saja sih. Khan mbahnya Rena memang agak agak... gitulah!” Ujar Santi. “Agak agak? Agak apa maksudnya?” Protesku. “Agak aneh, Ren!” Jawab Santi. “Jangan gitu dong San! Gimana pun juga, aku ini sayang banget sama mbah kakungku.” Protesku lagi. “Ya kalau sayang, terima ajalah perjodohannya.” Jawab Dewi. “Betul sekali.” Jawab Santi dan Dian serempak. “Kasih solusi dong! Jangan malah bikin tambah pusing.” Ujarku. “Oke, Oke! Kita mulai serius nih sekarang.” Kata Santi “Lha, alasan kamu nolak apa?” Tanya Santi. “Aku bilang, aku mau menikah dengan orang yang aku cintai. Bukan orang asing yang belum aku kenal sama sekali. Gitu.” Ungkapku pada ketiga sahabatku ini. “Ha ha ha ha.....” Ketiga temanku tertawa serentak dan keras pula. Para pengunjung kafe yang lain pun menoleh ke arah kami. Pasti mereka mengira kami ini orang aneh dan tak ngerti adab di tempat umum seperti ini. Lalu, mereka bertiga ini, apanya yang lucu coba, dari perkataanku tadi. Kenapa pula mereka kompak tertawa. Apa mereka menertawakanku? Bodohnya aku. Ya pastilah Ren, mereka menertawakanmu!!! “Sudah puaskah kalian tertawanya?” Ketusku dengan muka yang cemberut pula. “Sorry Ren. Sorry!” Ucap Dewi. “Oke , mulai serius.” “Lagian kamu Ren, kenapa harus pakai alasan itu coba. Kamu lupa ya Ren?” Ujar Dewi. “Lupa apa?” Tanyaku benar benar tak tahu. “Kamu itu jomblo dari lahir Rena! Gimana mau menikah dengan orang yang dicinta? Memangnya kamu punya pacar?” Ucapan Dewi sedang meledekku sepertinya. Aku pun menjawab pertanyaan Dewi dengan gelengan kepala. “Nah, Itu dia! Kamu itu bukan cuman nggak punya pacar Rena! Kamu itu belum pernah punya pacar! Garis bawahi, Belum pernah! Ngerti!” Dewi ini sedang menerangkan padaku atau sedang memarahiku sih. Ku jawab pertanyaan Dewi, atau lebih tepatnya pernyataan Dewi, dengan anggukan kepala. “Jadi, kamu itu, sama aja ngasih alasan yang klise.” Lanjut Dewi. “Dengan alasan seperti itu, jelas sajalah nggak bakal diterima sama keluargamu. Terutama mbahmu! Orang yang terobsesi menepati janji masa lalunya itu. Cinta akan datang karena terbiasa. Itu anggapan mereka.” Dewi menjelaskan. “Terus, aku mesti gimana dong biar nggak jadi dijodohkan? Ini tuh sudah jamannya Industri 4.1, masa aku kembali ke jaman Datuk Maringgih sih!” Sesalku. “Hahahaha...” Ketiga temanku tertawa. “Ketawa, lagi!” “Ketawa aja terus! Silahkan kalian tertawa sepuasnya, di atas penderitaanku.” Ucapku sewot. “Maaf, Ren. Jangan ngambek dong. Habisnya, kamu pakai bawa bawa Datuk Maringgih segala.” Kata Dewi. “Kabur aja simple.” Ucap Dian. “Kabur, kalau sama pacar buat menghindari perjodohan, itu baru keren! Lha kalau sendirian sih kayak orang ilang, Ren!” Celetuk Santi. “Ngasih ide mbok ya dipikirkan akibatnya. Kalau Rena kabur, trus penyakit jantung mbahnya beneran kumat gimana?” Ucap Santi. Tumben dia waras. “Ya biarin aja. Orang mbahnya Rena juga seenaknya, nggak mikirin perasaan Rena kok.” Dian, sang pencetus ide, membela diri. “Udahlah Ren, terima aja dulu. Ajak ketemuan. Siapa tahu dia emang jodohmu. Orang tuakan nggak mungkin tega nyakitin anaknya.” Nasehat dari Santi yang semakin waras. “Kita berempat dari tadi ngomong panjang lebar kali tinggi plus ngalor ngidul. Tapi, ya Ren. Sebelum dilanjutkan pembicaraan penting kita ini, kenapa nggak lebih dulu kamu beritahu kita siapa yang dijodohkan dengan kamu itu? Barang kali salah satu di antara kami bertiga ini ada yang kenal. Kan lebih mudah kami ngasih kamu pertimbangan.” Terang Dewi. “Lho! Memangnya aku tadi belum ngasih tahu kalian?” Tanyaku. “Ya Allah, belum Ren. Kamu belum pikun kan Ren?” Tanya Santi. “ Lelaki itu namanya Ferdian. Cucu dari Kakek Hutomo, pemilik peternakan sapi terbesar di Jateng, katanya!.” Jelasku kemudian, seusai permintaaan mereka. “Wahh, kaya raya dong Ren!” Ucap Dian dengan nada takjub. “Apes, kamu Ren! Benar benar apesss!” Ujar Santi. “Apes gimana sih San? Jangan bikin aku jantungan deh!” Ucapku. “Kalau benar dia si Ferdian yang aku kenal, maka, lelaki yang dijodohkan denganmu itu bukan laki laki baik baik. Dia itu playboy. Sering gonta ganti cewek. Bahkan rumor yang beredar belakangan ini, katanya, salah satu ceweknya sedang hamil.” Jawab Santi menjelaskan kepadaku. “Bagus dong!”Celetukku.“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud