Share

Partner Yang Payah

“Papah cuma mau kamu ikut, selebihnya kalau kamu berhasil ya silahkan kejar mimpimu, kalau tidak berhasil ya kamu harus menyerah jadi pemimpin perusahaan ini.” Seorang pria berbicara serius pada anaknya yang dia jemput paksa di gunung papandayan setelah lama tidak pulang. Punya anak bujang satu rasa tidak punya anak karena jarang ada di rumah.

“Hmmmm …. Aku bukan anak kecil lagi, Pah.” Dia malu ayahnya datang ke papandayan untuk menjemputnya dan dipinta untuk meneruskan perusahaan, ayahnya sudah tua dan sudah ingin pensiun.

“Bukankah anak muda suka dengan tantangan. Maka menanglah jika ingin bebas, kalahlah jika ingin jadi penerus papa. Permintaan papa cuma ini!” Pria paruh baya ini ingin anaknya ikut sebuah acara televisi.

Setelah menyetujui tantangan itu, dia diberikan minuman lalu minuman tersebut membuat dia tak sadarkan diri dan berakhir tidur satu ranjang dengan seorang gadis yang tidak ia kenal.

*

“Oh Manda …. Lo lagi di mana ini?” Amanda memandang ke arah luar vila untuk mencari petunjuk di mana ia berada. Barangkali ia pernah melihat daerah ini di poster destinasi wisata. Sayang, sejauh mata memandang, ia hanya menemukan kesunyian. Di depan sana, matanya disuguhi pemandangan hamparan pasir pantai dan lautan lepas yang sangat bersih dan luas. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain, hanya ada hewan pantai seperti burung dan kepiting saja yang terlihat oleh netranya.

“Yang jelas, ini bukan Bali, bukan juga Lombok. Ini di mana, ya?” 

Kalau tahu lokasinya, ia bisa kabur. Sekarang bagaimana caranya kabur kalau ia tak tahu berada di pulau mana. Sesama manusia saja tak ada, apalagi pemukiman dan kendaraan. Perahu pun kelihatannya tidak ada. Padahal kalau ada perahu kayu kecil, ia bisa memberanikan diri untuk mendayung sampai di kota. Tapi bagaimana bila bertemu binatang buas? Bulu kuduk Amanda berdiri lantaran ketakutan dimakan hiu jika ia kabur melalui laut, dan takut dimakan singa bila ia menerobos hutan.

“Aku kepingin pulang …,” rintih Amanda sambil memeluk lututnya sendiri di tangga depan vila. Ia merasa kesepian dan pilu. Embusan angin pantai membuat matanya berair dan kebetulan ia juga ingin menangis. Sekarang bagaimana caranya membuat susana di sini menyenangkan bila tidak ada mal, gadget, uang dan teman-teman hangout-nya?

“Cuma ada jam doang yang digital. TV, hape dan yang lain gak ada. Gue nggak bisa tanda gadget.” Tadi ia sudah berkeliling dan memeriksa apa saja yang ada di vila ini. Ia ketergantungan dengan gadget. Pergi ke mana pun pasti membawa ponsel dan tablet. Bahkan tidur dan mandi saja ia selalu dekat dengan ponsel pintarnya. Lima menit tidak membuka ponsel, tangannya gatal, ingin menyentuh benda pipih itu untuk mencari tempat makan, liburan dan cek out belanjaan online.

“Pening kepalaku. Kalau malam nonton apa dong, kalau siang ngapain?” geutu Amanda seorang diri.

Sepertinya, ia hanya akan ditemani irama ombak, suara angin serta jeritan hewan nokturnal. Amanda juga khawatir pada serbuan nyamuk dan udara siang hari yang terik. Kulitnya bisa iritasi kalau digigit nyamuk dan belang-belang kalau terpapar sinar matahari. 

 Kringgg ….. Kringgg ….

Ada suara yang menarik indra pendengaran Amanda. “Apaan tuh yang bunyi?” 

Gadis itu segera masuk untuk memeriksa sumber suara. 

Amanda teringat pria tadi. Akankah orang itu baik dan bisa diajak kerja sama? Ia takut pria yang tidur dengannya tadi itu adalah orang yang jahat dan egois. Ada perasaan lega juga di hatinya lantaran sudah ingat bagaimana dia berakhir di tempat ini, yang ia berarti bukan korban pemerkosaan ataupun penculikan. Ia hanya terkena prank ayah sendiri dan tiba-tiba berakhir menjadi peserta reality show aneh ini.

Saat Amanda melangkahkan kaki ke dalam rumah, kedua netranya terpaku pada sosok asing yang berdiri di ambang pintu kamar. Ternyata pria yang tadi tidur bersamanya telah bangun.

Karena perhatiannya tertuju pada pria itu, tanpa sengaja Amanda menabrak sofa. Sudah pasti ia malu sekali karena ketahuan memperhatikan pria itu sampai tidak melihat jalan. 

Melihat Amanda nyaris jatuh, pria itu mendekat. “Kamu nggak apa-apa?”

“Eh, enggak. Aku baik-baik aja,” sahut Amanda sambil memperhatikan sosok pria itu. Ternyata pemuda itu berperawakan yang tinggi dan sangat atletis, mirip atlet basket. Saat netra Amanda melirik dari atas ke bawah, ia kagum melihat kulit sang pria yang sawo matang nan eksotis. otot dadanya terlihat jelas karena ia memakai kaus ketat. Mata wanita mana yang tidak terkesima melihat pria macho seperti ini? Amanda seperti melihat atlet atau artis pembawa acara alam seperti jejak petualang. Yang berbeda adalah wajahnya si pria ini terlihat sangat tampan dan sepertinya berdarah campuran bule karena ia memiliki manik mata berwarna biru.

“Kamu …?” Pria itu menunjuk Amanda seperti orang yang kaget karena melihat ada lawan jenis yang tinggal satu rumah dengannya. “Kamu siapa?” 

Amanda tidak segera menjawab dan berdiri mematung di samping sofa.

“Ini di mana?” tanya pria itu lagi.

“Kamu siapa dulu?” tanya Amanda balik. Ia tak mau menjawab karena penasaran makhluk tampan bak dewa ini siapa namanya.

“Saya Kemilau Senja, panggil saja Senja.” Pria itu mengucapkannya tanpa tersenyum dan tanpa meminta Amanda berjabat tangan pula. Nada bicaranya juga dingin.

Kemilau Senja …. O, jadi namanya Senja. Cakep juga. 

Amanda bergumam dalam hati sambil memperhatikan Senja lagi. Sosok Senja memang menggoda. Sayang, ia tipikal pria yang cuek.

“Senja, kamu baca ini sendiri!” Amanda pun berlagak sombong dengan memberikan isi kotak yang tadi ia baca.

Senja menerima kotak itu sambil melirik Amanda menyilangkan tangannya di depan dada sambil memalingkan wajah. Hanya dengan sekilas melihat saja, ia bisa membaca karakter Amanda. 

Ini cewek sombong banget. Kayaknya orangnya hedon dan manja. 

Senja mengeluarkan kertas dari dalam kotak. “Selamat datang di My Roommate.” Ia lanjut membaca tulisan itu. Sudah dipastikan ia berada dalam acara yang ditayangkan oleh MND TV.

“Jadi kita cuma berdua?” tanyanya karena hanya menemukan Amanda. Ada ciri khas mereka berdua sebagai peserta. Sebuah gelang berwarna keperakan melingkar di pergelangan tangan kiri mereka. Menilik bentuknya, sepertinya alat pelacak dan pendeteksi tubuh apakah sedang dalam keadaan baik atau tidak.

“Iya. Cuma kita berdua satu rumah dan satu kamar.” Amanda tidak menemukan kamar lain selain kamar yang ia tiduri bersama Senja tadi. 

“Nanti saya tidur di luar.” Senja tentu pria yang punya harga diri. Ia tidak akan mau tidur satu kasur dengan seorang gadis yang baru sekali ia kenal. Pacar saja bukan!

“Males banget gue satu kamar sama lo,” gumam Amanda pelan karena kesal dengan sikap Senja yang terus-menerus dingin. Baru kali ini ada pria yang cuek terhadapnya.

“Kamu bisik-bisik apa?” tanya Senja yang sedikit mendengar ucapan Amanda.

“Enggak, kok. Nggak usah formal gitu ngomongnya, lo gue aja.” Senja sepertinya seumuran dengannya, masa memakai bahasa formal? Ia risih. 

“Ehmm, kenalkan gue Amanda. Amanda Manuela Dermawan. Anak pemilik stasiun televisi yang mengadakan acara ini.” Amanda mengulurkan tangannya dan berlagak sombong karena punya stasiun televisi. Ia juga anak satu-satunya, otomatis semua harta akan jatuh padanya selaku anak tunggal. Siapa yang tidak akan sombong jika terlahir di keluarga kaya raya? Amanda pikir status Senja jauh di bawahnya.

Sialnya, Senja hanya melirik tangan itu tanpa berniat membalas. Benar prediksinya. Amanda sombong karena terlahir dari keluarga kaya raya.

“Eh jabatan tangan gue nggak dibales, dong,” gumam Amanda yang sadar jemari lentiknya sama sekali tak disentuh oleh Senja.

“Saya nggak tanya kamu asalnya dari keluarga mana,” sahut Senja sinis. “Mana mungkin anak pemilik stasiun televisi ikut acara beginian?” 

Setelah mengucapkan itu, Senja berpikir ulang. Ada sebuah keanehan yang harus ia selidiki. Secara logis, mana mungkin orang kaya mau ikut acara berhadiah.

“Ada kok yang ikut. Ini buktinya gue ikut.” Amanda menunjuk dirinya sendiri.

“Kenapa kamu ikut? Bukannya diam di kantor dan menikmati uang papamu lebih enak?” Senja mengangkat satu alisnya sambil melirik sinis. Ia curiga jangan-jangan Amanda cuma penipu.

Ish! Songong banget ini cowok. Pake ngeremehin gue segala.

Amanda jelas kesal karena tuduhan miring itu. “Gue lagi pengen sesuatu dan papi ngasih syarat ikut acara ini.”

Ia pun balas menatap Senja dengan sinis. “Kalo lo, kenapa ikut acara ini? Butuh duit hadiahnya?”

“Enak saja. Saya tidak butuh uang!” Jelas Senja langsung menggelengkan kepalanya.

“Lalu?” Amanda menjadi penasaran dengan sosok Senja yang dingin ini.

“Saya ingin kebebasan.” 

“Bebas ke kelab malam dan gonta-ganti pasangan gitu?” tebak Amanda.

“Bukan lah. Memangnya kamu? Bebas ala saya itu tidak terjun ke dunia bisnis lagi. Saya ingin berpindah-pindah tempat dan tinggal dekat alam. Saya tidak suka nuansa perkotaan.” Senja menjelaskan dari A-Z.

“Ooooo ….” Amanda menjawabnya hanya dengan satu kata.

Kring …. Kring ….! 

Terdengar lagi bunyi yang menarik perhatian mereka berdua. Untung ada suara itu. Kalau tidak, mungkin keduanya berakhir dengan adu mulut paling sengit lantaran ego mereka sama-sama tinggi.

“Eh itu bunyi apaan?” tanya Amanda penasaran. Ia ingin tahu apakah ada tugas atau penjelasan lain.

“Sepertinya dari jam digital itu.” Senja menunjuk jam berbentuk persegi empat yang menempel di dinding. Bila diperhatikan hanya terlihat seperti jam biasa. Namun, layar jam itu menayangkan sederet tulisan. Kemungkinan sebuah tantangan atau tugas yang harus mereka kerjakan. Pasti panitia sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka berdua.

“Ayo baca dulu,” ucap Senja.

“Hai Amanda dan Senja. Tantangan pertama akan dilaksanakan nanti siang. Silahkan sarapan dan beres-beres rumah dulu. Semuanya harus dikerjakan bersama. Selamat menikmati!”

“Sarapan? Emang sarapan apa? Ada roti dan susu tidak, ya?” Si anak manja Amanda tidak doyan daging dan sayur saat sarapan. Sudah kebiasaannya setiap pagi menyantap roti yang diolesi oleh selai rasa apapun.

“Coba lihat ke dapur,” ajak Senja yang langsung menderap ke dapur

“Semoga sarapannya dikasih yang enak!” Ini adalah harapan Amanda yang pertama saat tinggal di sini.

“Cuma ada telur dan beras. Sepertinya hanya cukup untuk sekali makan saja.” Senja sudah memeriksa kulkas dan yang ia temukan hanya dua butir telur dan beras saja.

Amanda langsung kecewa. Ia tidak terlalu suka nasi. Jika terpaksa makan juga, seringnya nasi merah. “Emmm, tapi aku nggak bisa sarapan nasi. Nanti suka sakit perut, uh.”

“Kamu makan saja telurnya.” Ini saran dari Senja.

“Diapain? Dimasak?” tanya Amanda bingung. Masa ia harus memasak sendiri?

Pertanyaan itu kontan membuat kening Senja berkerut. Songong banget ini cewek. 

“Iya! Masa sih dimakan mentah!” 

“Gue nggak bisa masak, Senja.” Amanda tidak bisa apa-apa kecuali bersenang-senang. Ia selalu dibantu oleh pelayan.

Tentu saja kamu nggak bisa masak. Dasar cewek manja! gerutu Senja dalam hati. Senja berbeda 120’ dengan Amanda. Ia bisa masak, bisa bela diri, bisa naik gunung dan segalanya. “Ya udah, saya yang masak.”

“Jago juga ternyata.” Amanda sedikit mengagumi Senja saat melihat pria itu berkutat di dapur. Sosoknya terlihat seksi bak Chef Juna saat masak.

Beberapa waktu kemudian, sarapan mereka pun siap.

“Ayo makan!” ajak Senja sambil menunjuk meja makan. Tidak tersedia banyak bumbu sehingga ia hanya bisa mengolah telur menjadi telur dadar.

“Emmm …. Gue makan telurnya aja. Nasinya buat lo semua.” Amanda menggeser piring yang berisikan nasi.

“Makan juga nasinya. Kalau enggak, nanti kamu cepet laper,” kilah Senja. Mana mungkin kenyang kalau hanya makan satu telur dadar saja?

“Nggak papa. Gue nggak bisa makan nasi pagi-pagi soalnya. Gue bisa akan bolak balik ke kamar mandi buat kalau jam segini udah makan nasi.”

Senja tidak menjawab. Ia mengunyah nasi tanpa memedulikan Amanda. Kini, gadis itulah yang dibuat penasaran.

“Jadi gimana ceritanya bisa tiba-tiba mau ikut acara ini?” tanya Amanda setelah beberapa saat berdiam diri. Ia sampai menghentikan kegiatan mengunyah telur dadar.

“Kamu tau kan alasan saya karena ingin bebas. Ayah minta saya pulang hari itu karena empat hari saya ke Bromo.” Saat itu Senja baru turun gunung. Ayahnya menelepon untuk bilang ada hal yang genting. Saat ia datang, ternyata tidak penting.

“Beliau menawarkan saya untuk tidak bergabung dengannya lagi di perusahaan dan bebas pergi ke mana saja, termasuk menjadi fotografer.” Awalnya jelas Senja menolak, tapi setelah berpikir panjang dan mengingat ia tidak mau terjun di perusahaan lagi, ia pun sepakat untuk ikut acara ini.

“Kalau saya memenangkan acara ini bersama partner saya, dia bilang keinginan itu akan dikabulkan,”  jelas Senja lagi.

“Jadi fotografer cewek seksi, ya?” tanya Amanda polos. Bukankah pekerjaan fotografer memotret objek mereka? Tidak mustahil suatu saat pria itu mengambil gambar orang bugil, sedang melakukan adegan dewasa, atau hal lain.

“Enak saja. Alam lah!” protes Senja. Jelas ia tidak suka memotret hal yang aneh-aneh, cukup alam dan semua ciptaan Tuhan yang indah.

“Apanya yang mau difoto?” Amanda sedikit meremehkan profesi tersebut karena menjadi bos jelas lebih enak.

“Hewan, pemandangan, dan masih banyak lagi Favoritku lautan dan terumbu karang.”

“Ooo ….” Amanda tidak berniat bertanya lebih lanjut. Telur dadarnya telah habis. “Ini piring bekas pakainya dikemanain?” 

“Dicuci dan keringkan, simpan lagi ke tempatnya.” Senja saja setelah makan selalu mencuci piring sendiri. Ia tidak mau merepotkan ART. Karena terbiasa naik gunung, segalanya diurus sendiri. Mulai dari masak hingga mencuci peralatan bekas pakai.

“Cuci? Seumur hidupku gak pernah yang namanya cuci piring. Nanti semua nail artnya bisa rusak. Yang ada juga kulit tanganku pecah-pecah akibat kena sabun pencuci piring,” kilah Amanda.

“Lalu kamu bisanya apa?” tanya Senja sambil melirik Amanda sinis. Anak manja memang tidak serba bisa.

“Tidak ada, hanya menghamburkan uang,” sahut Amanda santai.

Benar, prediksi Senja tidak ada yang meleset. “Astaga! Partnerku payah sekali!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status