Ruang kerja Xavier Anderson malam itu terasa seperti medan perang yang sunyi sebelum badai.Tirai jendela ditutup rapat, hanya lampu gantung di atas meja besar yang menyinari ruangan dengan cahaya kuning redup.Di atas meja, peta-peta, foto-foto, dan dokumen berserakan, sebagian ditandai dengan lingkaran merah dan garis panah yang tampak seperti rencana pertempuran.Xavier berdiri membelakangi pintu dengan kedua tangannya terkepal di belakang punggung.Pintu terbuka dengan cepat, lalu Mark masuk bersama Ryan dan beberapa orang kepercayaan lainnya. Mereka semua berpakaian hitam, wajah mereka serius dan penuh kesiapan.“Tuan, semua orang yang Anda minta sudah hadir,” lapor Mark sambil memberi hormat singkat. “Kami siap menerima instruksi.”Xavier berbalik. Sorot matanya tajam seperti pisau, penuh kemarahan yang terpendam.“Bagus,” katanya singkat.Ia lalu melangkah menuju meja dan menatap setiap pria yang berdiri di hadapannya.“Dengarkan aku baik-baik. Apa yang terjadi hari ini bukan s
Suasana di rumah persembunyian terasa begitu hening malam itu, terlalu hening untuk hati yang penuh dengan ketakutan.Lampu-lampu redup menciptakan bayangan panjang di dinding, seperti mengintai dari setiap sudut.Kayla duduk di ujung ranjang, tubuhnya terbungkus selimut tebal, namun ia tetap menggigil.Tangannya memegangi perutnya yang membesar, sementara matanya kosong, tak berhenti memandang ke depan tanpa fokus.“Tidak … tidak …,” gumam Kayla pelan, kepalanya menggeleng berulang kali. Nafasnya terengah-engah, dan air mata tak henti jatuh membasahi pipi.“Xavier! Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Xavier! Xavier ….!”Tak lama, pintu kamar terbuka dan Xavier langsung menghampiri istrinya yang tampaknya mengalami mimpi buruk.“Kayla?” suaranya rendah dan penuh kekhawatiran. “Kayla, bangun, hey. Aku di sini, Sayang.” Xavier menepuk-nepuk pipi Kayla yang tampak terengah-engah.Ia meletakkan cangkir di meja, lalu berlutut di depan istrinya. “Sayang, lihat aku.”Kayla tersentak kecil mend
Mobil SUV hitam itu melaju kencang di jalanan gelap yang sepi. Lampu-lampu jalan yang jarang membuat suasana semakin mencekam.Di dalam mobil, Kayla duduk diam sambil memegangi perutnya yang semakin membesar. Hujan yang masih menetes di luar jendela menambah dinginnya udara malam.Kayla menoleh sekilas ke arah Xavier yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya menggenggam erat paha, jelas sedang menahan emosi.“Xavier?” Kayla memecah keheningan dengan suara lirih. “Ke mana kau membawaku? Kita sudah melewati kota. Ini … terasa begitu jauh.”Xavier menoleh, sorot matanya sedikit melembut meski masih ada kekhawatiran yang jelas.“Ke tempat yang hanya aku dan Ryan yang tahu,” jawabnya tenang, meski nadanya penuh ketegasan.“Rumah persembunyian ini sudah kupersiapkan sejak lama, untuk situasi seperti ini.”Kayla menggigit bibirnya. “Apakah … apakah ini benar-benar perlu? Apa kita tak bisa tetap di rumah? Aku merasa seperti … seperti pelarian.”Xavi
Hujan deras mengguyur malam itu, membuat suasana di rumah megah keluarga Anderson terasa semakin kelam.Halaman depan yang biasanya terang kini dipenuhi suara gemuruh hujan dan kilatan petir sesekali yang menyambar langit.Xavier berdiri di ruang kerja dengan ekspresi tegang, mengamati layar ponselnya yang penuh laporan dari para pengawal.Ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak pagi tadi—perasaan yang menekan dadanya tanpa sebab yang jelas.Pintu ruang kerja diketuk cepat, lalu terbuka. Ryan, kepala pengawal Xavier, masuk dengan wajah pucat dan napas terengah. Di tangannya ada sebuah amplop putih yang basah oleh hujan.“Tuan Xavier, kami menemukan ini,” katanya tergesa, menyerahkan amplop tersebut.Xavier menyipitkan mata, mengambil amplop itu. “Apa ini?” tanyanya dingin.Ryan menelan ludah, jelas gugup ketika melihat sebuah amplop di depan rumah.“Salah satu pengawal kami menemukannya terselip di bawah wiper kaca depan mobil Anda, Tuan. Tidak ada yang melihat siapa yang m
“Gandakan pengamanan di gerbang utama. Tidak ada yang boleh masuk tanpa izin langsung dariku,” Xavier memerintahkan dengan suara dingin.“Periksa semua tamu, bahkan jika itu orang yang Kayla kenal sekalipun. Aku tidak peduli siapa mereka. Aku ingin laporan setiap jam.”“Baik, Tuan Xavier,” suara sang kepala pengawal terdengar dari ponsel sebelum sambungan terputus.Kayla merasakan bulu kuduknya berdiri melihat penjagaan ketat yang dilakukan oleh Xavier. Dia lalu melangkah perlahan mendekat, gaun rumah yang dia kenakan berkibar lembut saat dia berjalan.“Xavier, apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanyanya dengan suara hati-hati. “Rumah ini sudah terasa seperti benteng atau penjara.”Xavier menoleh, mata abu-abunya yang tajam melunak sedikit saat melihat istrinya.Ia segera menghampirinya dan tangannya otomatis terulur untuk menyentuh perut Kayla, sebuah kebiasaan yang akhir-akhir ini selalu dia lakukan.“Sayang, aku tahu ini terasa berat untukmu,” katanya dengan lembut namun tegas.“Ta
“Aku datang untuk bicara,” kata Xavier dengan suara datarnya. Dia datang ke rumah Anthony dengan mata yang berkilat tajam menatap sang ayah.Anthony berputar perlahan di kursinya menatap wajah Xavier dengan tatapan datarnya.“Bicara? Dengan wajah seperti itu? Kedengarannya kita akan berdebat.”“Bukan berdebat.” Xavier merapikan jasnya, meski ketegangan jelas terlihat di tubuhnya.“Aku datang untuk memperingatkanmu. Berhenti mengendalikan Kayla. Berhenti mencoba menyentuh bayiku.”Alis Anthony terangkat lalu tersenyum dingin. “Ah, kabar itu benar. Bayi itu … perempuan.” Suaranya serupa es yang menusuk.Xavier mengepalkan tangannya mendengar ucapan Anthony. “Jenis kelaminnya bukan urusanmu.”“Bukan urusanku?!” Anthony menghentakkan tangannya ke meja.“Dia akan menjadi cucuku! Aku yang memimpin keluarga ini! Aku yang menentukan siapa yang layak menjadi pewaris Anderson!”“Dan kau pikir hanya anak laki-laki yang layak?!” Xavier membalas tak kalah tajam. “Tradisi kuno itu sudah tak ada art