Dinara pulang ke rumah dengan perasaan lesu, seharian ini pekerjaannya banyak sekaki. Gerald menyuruhnya macam-macam, bahkan harus membersihkan ruangan CEO tiga kali sehari.
"Mama sudah pulang?" tanya Azka yang sudah rapi berpakaian, sepertinya anak laki-laki itu baru selesai mandi. "Iya, Nak. Kamu baru selesai mandi, ya? Sudah makan atau belum?" Azka menggeleng sambil menundukkan kepala, tangannya memegangi perut dengan bibir mencebik. "Nggak ada makanan di rumah, Ma. Papa belum pulang, nenek juga nggak masak." "Loh, kok nggak ada makanan? Tadi mama masak banyak, Nak. Ada ayam goreng kesukaan kamu juga," kata Dinara. Azka hanya mengedikkan bahu, Dinara langsung menggandeng putranya untuk masuk. Dalam keadaan tubuh lelah, ia harus memasak. Hanya ada telur dan kacang panjang di rumah. Dinara menumisnya jadi satu, kemudian memanggil Azka setelah masakannya matang. "Enak banget!" pekik Azka. Anak laki-laki itu makan lahap, dua kali ia menambah nasi. Rasa lelah Dinara langsung hilang melihat putranya makan dengan riang, Azka memang alasannya agar tetap kuat menjalani hidup. "Kamu sudah masak, Din? Masakanmu tadi dibawa Reno ke kantor, katanya mau bawa bekal," celetuk Bu Yuyun yang baru saja pulang dari rumah tentangga. "Semuanya, Ma?" tanya Dinara dengan mata melotot. "Iya, kenapa melotot begitu? Nggak suka?" Bu Yuyun balik memelototi menantunya. "Anakku butuh banyak makan biar punya tenaga, dia kerja dan pasti capek!" Dinara menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa kesal, otaknya langsung mendidih membayangkan tangan lancang suaminya yang mengambil ayam goreng putranya. Ayam itu ia beli dengan uangnya sendiri, karena mana mungkin uang belanja dari Reno cukup? Hanya seperempat kilo, Dinara ingin Azka makan protein, tetapi dengan tega Reno merampasnya. "Besok Mama masakin ayam lagi, ya, Nak," bisik Dinara sambil mengelus lembut rambut putranya. "Iya, Ma. Apapun masakan Mama, aku suka." Azka terus makan dengan lahap, membuat batin Dinara trenyuh. Wanita itu semakin bertekad kuat untuk memberikan kehidupan yang lebih layak, ia tidak mau mengeluh dan memilih berusaha sendiri. Suara deru motor terdengar memasuki halaman, Bu Yuyun bergegas menyambut putranya yang baru pulang dari kantor. Reno langsung masuk kamar setelah memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada ibunya. Namun, niatnya berganti pakaian terhenti saat melihat ponsel Dinara berdering. "Siapa yang menelepon? Kok mau diangkat sudah mati?" gumamnya. Reno membuka ponsel itu, dadanya bergemuruh mendapati nama seorang pria terpampang di daftar panggilan tak terjawab. "Dinara ...!" teriak pria itu dengan suara lantang. Dinara yang masih mencuci piring tak ayal tersentak, ia langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari ke kamar. "Kenapa teriak-teriak, sih, Mas?" tanyanya setelah berdiri di hadapan Reno. "Ini siapa, hah?! Pak Gerald itu siapa ...?!" Reno menyodorkan ponsel di depan wajah Dinara, sementara wanita itu hanya menanggapi santai. "Pak Gerald River, anak laki-laki Pak Renaldy River, pemilik perusahaan tempatku bekerja. River Coorporation," jelas Dinara. Reno mengernyitkan dahi, Dinara segera mengambil alih ponselnya dan memasukkan ke dalam saku. "Periksa saja di g****e kalau nggak percaya, Mas. Nama Pak Renaldy River ada di sana, informasi pribadi dan tentang perusahaannya juga ada. Termasuk informasi tentang putranya yang akan mewarisi River Coorporation." "Berarti dia bosmu? Apa yang kemarin kemejanya kena tumpahan kopi?" tanya Reno yang langsung diangguki oleh Dinara. Pria itu terhenyak, kemudian kembali bertanya, "kenapa dia menelepon staf sepertimu? Apa kau membuat masalah lagi?" "Nggak tahu, Mas. Kayaknya mau komplain kemejanya yang salah saat ku cuci," jawab Dinara asal, ia tidak mau jujur karena takut Reno berpikir yang tidak-tidak. Padahal Dinara yakin atasannya menelepon karena ingin bertanya kesiapan untuk agenda besok, beruntung tadi Reno belum sempat mengangkat panggilan. Dinara tidak bermaksud berbohong, apalagi berkhianat. Ia hanya khawatir kalau Reno marah dan terdengar ke telinga Azka, putra kesayangannya bisa sedih dan mentalnya terganggu. "Dasar ceroboh! Baru pertama kerja sudah buat banyak masalah. Pokoknya kamu harus selesaikan sendiri, awas kalau minta uangku untuk mengganti kemeja mahal itu!" sentak Reno. Wanita itu mengangguk lega, beruntung suaminya langsung percaya. Pria itu kembali masuk kamar dan mengganti pakaian, lalu menuju dapur untuk mengambil makanan. Ia tidak lagi peduli pada Dinara, kesempatan ini digunakan Dinara untuk membalas pesan dari Gerald, ia mengatakan sudah siap untuk besok dan akan datang jam enam pagi seperti perintah atasannya. • Malam harinya. Entah jam berapa, Dinara terbangun karena merasa haus. Sayup-sayup telinganya mendengar suara suaminya dan seorang wanita. Dinara ingat betul bahwa ia sempat mematikan lampu sebelum tidur, tetapi kenapa seperti ada cahaya? Perlahan-lahan wanita itu membalikkan badan. Membuat Reno langsung diam untuk beberapa saat. Dinara merasakan tangan Reno dikibaskan di depan wajahnya, setelah beberapa saat pria itu sepertinya percaya kalau ia masih terlelap. "Maaf, Sayang. Tadi istriku gerak, aku diam dulu karena takut dia bangun," bisik Reno yang sontak membuat Dinara meradang. Siapa yang dipanggil sayang? Netranya sedikit mengintip, ternyata Reno tengah melakukan video call dengan seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu memakai lingerie berwana merah, sangat kontras dengan kulit putihnya. "Apa Mas Reno selingkuh?" batin Dinara dengan perasaan nyeri tak terkira. Meskipun ia kesal dengan Reno yang sering memperlakukannya kasar, tetapi hatinya sakit saat dikhianati. Dinara merasa tidak berguna, padahal ia setia meskipun dirinya kerap tidak dianggap. "Kapan kamu menceraikan Dinara, Mas? Aku sudah nggak sabar menikah dan hidup bahagia sama kamu," kata wanita di seberang telepon itu. "Secepatnya, Sayang. Aku harus membuat alasan yang masuk akal, biar kita nggak ketahuan kalau menjalin hubungan gelap dan aku nggak disalahkan. Aku mau ... Dinara lah yang terlihat salah di mata orang lain," bisik Reno. Dinara menekan dada dengan sebelah tangan, matanya terpejam erat mendengar tawa dari dua manusia tak punya hati itu. Apakah Reno akan membuat fitnah untuknya? Ah, kejam sekali! "Aku lelah gini-gini terus. Tiga bulan kita backstreet, Mas!" gerutu wanita itu. Dinara kembali menajamkan gendang telinganya. "Oh, ternyata ini alasan Mas Reno nggak nyentuh aku selama tiga bulan terakhir ini?! Ternyata dia sudah punya wanita lain. Baiklah ... aku akan menikmati drama kalian," batinnya. Hatinya perih tak terperi, pedih mendapati kesetiaannya tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Apakah dirinya tidak berharga? Hingga tidak pantas dicintai dengan tulus? Dari rahimnya sudah lahir seorang putra yang sejak dulu diidam-idamkan Reno, tetapi itu tidak cukup membuat Reno puas dan menetap. Siapa yang salah di sini? Dirinya, atau Reno yang tidak bisa bersyukur? Pikiran Dinara terus berkecamuk, berperang antara hari dan akal sehatnya. "Tunggu pembalasan dariku! Aku bukan wanita yang bisa ditindas. Kalian salah besar telah memantik api amarahku!" pekiknya, dalam hati.Gerald menatap jendela besar di ruang kerjanya. Sudah berbulan-bulan ia mencoba melupakan Dinara, tetapi bayangan wanita itu terus menghantui pikirannya. Sejak Dinara meninggalkan pekerjaannya, Gerald merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah ia sadari sangat berarti baginya. Bukan hanya staf yang setia dan profesional, tetapi juga seseorang yang membuat hatinya lebih hidup. Hari itu, Gerald memutuskan untuk berhenti menghindar dari kenyataan. Ia mencari tahu keberadaan Dinara melalui seorang kolega yang pernah dekat dengannya. Ketika akhirnya ia menemukan alamat Dinara di sebuah kota kecil, hatinya berdebar. Ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki semuanya. Sesampainya di kota itu, Gerald melihat Dinara dari kejauhan. Wanita itu tampak sederhana, mengenakan gaun panjang. Dinara sedang menuntun seorang anak kecil, yang kemudian Gerald ketahui adalah Azka. Gerald berhenti sejenak, mengamati mereka. “Dinara!” panggil Gerald dengan suara bergetar ketika akhirnya
Gerald melangkah cepat keluar dari kantor, benaknya dipenuhi kecemasan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang tak tertahankan di dadanya. Dia tahu bahwa hubungan dengan Dinara hanyalah kesepakatan sementara, tetapi saat bayangan Dinara menghilang dari pandangannya, rasa takut menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah Nada, Gerald mengetuk pintu dengan penuh harap, tapi tidak ada jawaban. Ketika suara detak jam di dalam rumah itu teramat jelas, Gerald merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Dinara!” teriaknya, berusaha mengatasi rasa panik yang mulai menyergapnya. “Kau di mana?” Tak ada sahutan. Hanya kesunyian yang mengisi ruang. Gerald merasa kakinya mulai lemas. Ia berbalik dan melihat ke arah jalan setapak yang sudah gelap. “Dia benar-benar pergi,” bisiknya, suaranya serak. Gerald meremas rambutnya, kebingungan dan ketidakpastian membanjiri pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya wanit
Bella masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya melayang saat ia menatap bayangan dirinya di kaca lemari. Pandangannya kosong, tapi di balik tatapan itu pikirannya dipenuhi bayangan tentang malam-malamnya bersama Arga. Ia ingat betul suasana di hotel, malam panjang yang mereka habiskan bersama, yang kini justru membuatnya terjebak. Arga, pria yang pernah ia anggap hanya sebagai teman dekat, ternyata menyimpan maksud lain. Bella baru menyadari betapa buruknya situasi itu ketika melihat video yang direkam Arga tanpa sepengetahuannya. Sebuah bukti yang membuatnya tak bisa berbuat banyak, sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi dan harga dirinya. “Kalau kamu menolak, Bella, maka video ini akan tersebar, dan aku yakin semua orang akan tahu siapa kamu sebenarnya.” Ancaman Arga terngiang di telinganya. Bella mengepalkan tangan, menahan perasaan takut yang terus menghantuinya. Bagaimana bisa ia begitu lengah? Kini, dirinya terjebak dalam permainan Arga,
Pagi harinya, di ruangan yang masih terasa sunyi, Dokter datang dengan kabar yang membuat Dinara sedikit menghela napas lega.“Baik, Bu Dinara, saya sudah tinjau hasil pemeriksaan,” ucap Dokter itu sambil menatap Dinara dengan senyum tipis. “Kondisi Ibu sudah membaik. Ibu boleh pulang hari ini.”Wajah Dinara seketika bercahaya. “Terima kasih, Dok,” balasnya lirih.Gerald yang berdiri di belakang Dokter hanya diam, menyimak. Begitu Dokter pergi, Dinara segera turun dari tempat tidur dan mulai merapikan barang-barangnya, memasukkan barang-barang ke dalam tas tanpa banyak bicara. Gerald mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Saya bisa naik taksi sendiri,” ujar Dinara saat mereka selesai berkemas.“Kamu masih lemah,” jawab Gerald singkat, mengambil tas Dinara dan berjalan ke arah pintu tanpa memedulikan penolakannya. “Aku yang antar kamu pulang.”Dinara mendengus kesal, tapi akhirnya hanya bisa mengikuti. Baginya, perdebatan panjang hanya akan membuatnya semakin lama di dekat Gera
Malam itu, di kamar rumah sakit yang sepi, seorang petugas datang membawa nampan berisi makanan untuk Dinara. Gerald mengambil alih nampan dari petugas, lalu duduk di tepi ranjang, menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke bibir Dinara. Setiap kali Dinara membuka mulut, wajahnya tampak menegang, jelas bahwa ini adalah sesuatu yang tidak mudah baginya. Namun, Gerald tetap telaten, tak mengindahkan pandangan tajam Dinara yang seolah ingin menghancurkan segala harapan yang ia miliki. Dinara akhirnya berbicara, suaranya parau dan penuh kepedihan, “Saya rindu anak saya, Pak ….” Ia menelan ludah, mencoba menguasai dirinya meski air mata nyaris tumpah. “Anda tahu, Pak Gerald? Saya nggak pernah mau ada di sini, di tempat ini. Dan ini semua karena Anda.” Nada suaranya semakin tajam, mengandung kemarahan yang mendalam. “Kalau Anda nggak pernah menyentuh saya, kalau Anda nggak pernah … melecehkan saya, saya nggak akan berakhir begini." Gerald berhenti sejenak, sesendok makanan ter
Gerald terdiam lama di tempatnya setelah panggilan itu berakhir. Sebagian dirinya masih terpaku pada suara lembut yang baru saja ia dengar, suara yang pernah ia rindukan selama bertahun-tahun. Ashley. Nama itu adalah bagian dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang dari hidupnya. Dalam diam, kenangan-kenangan bersama Ashley mulai menyeruak di benaknya. Masa-masa kuliah di luar negeri, di mana mereka berdua selalu bersama, adalah salah satu fase terbaik dalam hidupnya. Mereka dulu tak terpisahkan. Saling mendukung, saling menyemangati untuk meraih mimpi-mimpi besar mereka. "Apakah masih ada harapan untuk kami?" batinnya bertanya tanpa sadar. Ia mengingat senyum Ashley, tawa lepasnya saat mereka menghabiskan waktu di kampus atau saat menjelajahi kota-kota baru. Mereka pernah begitu yakin bahwa mereka akan menjalani masa depan bersama, bahwa mereka akan kembali ke Indonesia sebagai pasangan yang kuat. Namun, semuanya berubah saat Ashley memutuskan untuk meraih mimpinya seb