Share

Bukber di Rumah Mertua
Bukber di Rumah Mertua
Penulis: Evie Yuzuma

Bab 1

“Andra, itu istri kamu suruh ke rumah buat bantu-bantu Mama! Kakak-kakak kamu mau pada datang buat acara buka bersama!” celoteh Marni---sang ibu.

“Tari lagi gak enak badan, Ma! Dia dari pagi tiduran aja!” bella Andra. 

“Alah, kamu itu makin ke sini makin kayak kerbau dicucuk hidungnya saja! Memangnya apa bagusnya Tari, Ndra … sore nanti mama ngundang Ivana juga buat datang!” ucap Marni. 

“Ma, sudahlah … lupakan obsesi mama! Andra udah nikah, Ma! Ivana juga pasti udah bisa terima semua ini!” tukas lelaki bertubuh jangkung itu sambil mengikuti langkah mamanya yang berjalan menuju kamar tidurnya. 

“Kamu tuh pasti kena pelet, apa-apa Tari, apa-apa Tari … Ivana tuh wanita karir, Ndra … selain bisa jadi istri, dia juga bisa bantu menuhin kebutuhannya sendiri! Daripada istri kamu itu yang bisanya cuma ngabisin uang suami! Jatah buat mama saja semakin hari semakin sedikit … pasti habis buat gaya hidupnya yang sok elit!” ujarnya. 

Andra mengacak rambut kesal. Sementara langkah Marni sudah tiba di depan pintu kamar. Dia menggedor keras kemudian mendorongnya. 

“Dasar istri pemalas! Jam segini kerja tiduran doang! Kasian anak saya terjebak muka sok polos kayak gini, Ya Tuhaaan!” Marni menggeleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang.

“Eh, ada Mama? Maaf Ma, Tari lagi gak enak badan!” Wanita berparas lembut itu menyibak selimut. Kepalanya terasa berat, mungkin karena tadi dia telat sahur makanya kondisinya seperti itu. 

“Sore nanti kakak-kakaknya Andra mau pada ke rumah buat bukber! Kamu sekarang ikut mama, bantuin Bi Inah masak! Kebanyakan tidur juga bikin penyakit!” ujar Marni sambil melengos pergi.

Wanita dengan gelang emas yang bergemerincing itu berhenti. Sekilas menoleh ke menantunya kembali. 

“Mama tunggu sekarang! Gak usah banyak alasan!” ujarnya. Kemudian kembali mengayun langkah menuju ruang tengah diikuti Andra. 

Hastari bangkit dan mencoba mengabaikan sakit kepala yang menimpanya. Kemudian berjalan tertatih ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia melihat pantulan wajahnya pada kaca wastafel, sudah terlihat lebih segar. 

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Rupanya selepas shalat zuhur tadi dia ketiduran. 

Dia kembali ke kamar dan mengambil kerudung yang tergantung pada kapstok belakang pintu. Kemudian memakainya dan mematut diri di depan cermin. Wajahnya memang tampak sedikit pucat. 

Diraihnya tas kecil yang menggantung untuk menyimpan gawai dan uang yang akan dibawanya. Hastari berjalan menuju ibu mertua dan suaminya yang tengah mengobrol di ruang tengah, Andra menoleh padanya sambil menatap khawatir. 

“Sayang memangnya sudah baikan?” tanyanya. Tari mengangguk. 

“Gak apa, Mas! Sambil ngabuburit! Lagi pula nanti cuma bantuin Bi Inah!” ucap Tari sambil memasang senyum. 

“Tapi Mas masih harus bantu warga kerja bakti sedikit lagi! Gak enak juga absent terus, mumpung libur jadi mau bantu sampai selesai!” ucap Andra.

“Iya, Mas gak apa-apa nanti nyusul aja ke rumah mama … Tari ikut berangkat bareng mama aja, ya!” ucapnya sambil mencium punggung tangan Andra. 

“Hati-hati ya, Sayang! Kalau lemes gak usah dipaksakan!” ucap Andra sambil mengusap lembut pucuk kepala sang istri. 

Tari mengangguk. Andra menoleh pada ibunya yang tampak sibuk membalas WAG keluarga. Di mana Tari sudah beberapa hari lalu keluar dari grup itu. 

“Ingat ya, Ma yang Andra tadi minta! Andra gak mau dia datang! Andra gak mau lukai perasaan istri Andra!” ucapnya serius. 

Marni menoleh sekilas. Wajahnya datar dan tidak memberikan jawaban apapun. Dia beralih menatap sang menantu kemudian berdiri sambil meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.

“Ayo, nanti keburu sore!” ujarnya sambil melangkah mendahului sang menantu keluar. Hastari mengikutinya dalam diam. 

*** 

“Neng, kerjain ini aja … kupas buah-buahan!” Inah sang ART memberikan satu panci besar berisi buah segar untuk membuat sop buah buat buka nanti. 

“Iya, Bi!” ucap Tari. 

“Gak usah capek-capek juga … biar bibi kerjain yang berat nanti!” ucapnya sambil mengangkat rebusan gula pasir yang dicampur daun pandan untuk disiram pada sop buah nanti. 

“Masih banyak, Bi kerjaannya?” Tari menoleh pada Inah. Wanita paruh baya itu mengangguk, sudut matanya menoleh pada beberapa masakan yang baru separuh dia selesai menyiapkannya. 

“Hari ini mau masak rendang daging kesukaan Den Hans, terus mau masak sop tulang iga kesukaan Neng Melati. Nah mau buat capcay jamur juga buat cucu-cucunya Nyonya, Neng! Bikin salad, bikin gorengan sama sambel juga gak kelewat!” ucap Inah sambil menunjuk bahan-bahan yang sudah setengah jalan. 

“Bibi, tolong anterin paketan ini ke rumah Bu Isma! Kemarin belanja online barengan tadi dia nelpon minta dianterin!” Marni melongo dari ruang tengah sambil menenteng plastik berwarna hitam. 

“Rumah Bu Isma yang di cluster Mawar, Nya?” Inah memastikan. Marni mengangguk sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. 

“Iya, nanti pulangnya ke minimarket belikan pear sama apel kesukaan Caca sama Rana!” ucapnya sambil mengulurkan uang dan plastik. Inah menerimanya dengan ragu sambil melirik pada Tari.

“T-tapi Nya, ini masih banyak yang belum selesai … rumah Bu Isma kan setengah jam kalau naik ojek, kalau mampir mini market mungkin bisa dua jam baru sampai sini lagi!” Inah tampak bingung.

“Udah lah, biar aja Tari yang ngerjain … lagian udah kamu siapin juga kan semuanya! Tinggal bikin gitu doang gampang!” ujar Marni. 

Inah akhirnya dengan berat meninggalkan Tari yang berkutat dengan pekerjaan sendirian. 

“Tari, awas ya kalau sampai masakannya gak enak! Kamu itu udah gak bisa apa-apa kalau masak aja gak bisa udah deh gak usah jadi istrinya Andra!” pedasnya kalimat yang terlontar. Tari hanya beristighfar tanpa menyahuti perkataan sang Ibu mertua. 

*** 

Maghrib menjelang. Di luar Marni tampak sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Hans dengan istrinya sudah duduk juga di meja makan. Begitupun Melati dengan Pandi sang suami. 

Caca dan Rana berlarian sambil tertawa-tawa. Mereka sudah rapi untuk menyambut berbuka. Sementara Tari masih terduduk di dapur. Lelah yang dia rasakan sangat menjadi. Sudah tidak semangat lagi melihat segitu banyak makanan. Yang ada mual dan pusing yang dia rasakan. 

“Neng, kenapa?” Inah mendekatinya sambil menatap iba. 

“Pusing, Bi!” jawabnya. 

“Istirahat aja di kamar tamu, udah bibi beresin!” ujarnya. 

“Ya udah, Tari mandi dulu!” Hastari bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Namun sialnya, dia lupa membawa pakaian ganti. Meminjam pada Ibu mertuanya sangat tidak mungkin. Kalau pulang juga sudah tidak sempat. 

Selesai mandi dia bergegas menuju ke ruang keluarga di mana semua orang tengah berkumpul di sana. Namun sudut netranya menangkap sosok seseorang yang waktu itu dia lihat fotonya di kamar Andra sewaktu sebelum pindah rumah. 

“Mela, Hans … Ivana ini baik banget, udah ditikung sama orang sok polos gitu juga masih saja bersedia memenuhi undangan mama!” ujarnya sambil melirik sekilas pada Tari yang masih mencoba menguasai diri. 

“Ivana ini menantu idaman mama banget padahal … mogalah Andra segera sadar dan menyesali keputusannya! Menikahi benalu hanya membuat hidup Andra terbebani!” ujarnya semakin pedas. 

Tanpa mereka sadari. Ada sosok seseorang tampak menatap kesal berdiri diambang pintu. Andra ternyata sudah berdiri di sana sejak tadi. Dia melangkah menuju kumpulan keluarga yang tengah menunggunya. 

“Mama! Cukup, Ma! Tari tidak salah apa-apa sama kalian! Aku yang memilihnya untuk mejadi istri!” ujarnya. 

“Andra, coba lihat ini siapa yang datang! Kamu masa gak bisa bedakan mana berlian mana cuma emas imitasi! Ivana ini tidak ada kurangnya! Mama nunggu momen ini buat meminta kamu menikahinya! Mama hanya akan merestui pernikahanmu jika itu dengan Ivana!” ujar Marni. 

Hans dan Melati menatap Tari dengan tatapan sama-sama mengintimidasi. Keduanya memang selalu mendukung semua ucapan sang Ibu mau salah ataupun benar agar keinginan mereka bisa terpenuhi. 

“Sudahlah, Ma! Buat apa bikin acara keluarga kalau hanya untuk memojokan istriku!” Andra tampak geram. Dia melangkah mendekati Hastari. 

“Sayang, ayo pulang!” ujarnya sambil menggamit jemari sang istri. 

“Andra! Kalau kamu memang benar-benar memilih dia … maka kamu akan mama coret dari daftar warisan keluarga!” Marni memekik kesal. 

Andra menghentikan langkah. Hastari menatap sang suami ada perasaan takut jika Andra akan berbalik dan mencampakannya. Andra melepaskan genggaman tangannya kemudian melangkah mendekati sang Ibu. Mata Tari sudah berkaca-kaca, mungkin pernikahannya hanya akan bertahan setengah bulan saja. 

Andra mengulurkan tangan dan mencium lengan mamanya. Kemdian menyalami kakak-kakaknya. Tetes bening sudah terjatuh di mata Tari. Marni tersenyum penuh kemenangan. 

“Maafkan Andra, Ma! Selamat tinggal semuanya! Andra akan tetap melanjutkan pernikahan ini! Karena sejak ijab qabul waktu itu, Andra bukan hanya berjanji pada ayahnya Tari akan menjaganya. Namun dalam hati sudah berjanji pada Allah untuk melaksanakan ibadah terpanjang ini bersamanya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status