BUKBER DI RUMAH MERTUA (5)
Hastari tersandar lemas pada sofa. Sepeninggal wanita itu, pikirannya seakan carut marut. Terlebih wanita itu menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan sang suami. Memang sangat jelas juga itu adalah foto Andra sewaktu kuliah dulu. Namun apakah benar Andra bisa berbuat serendah itu? Menghamili seorang wanita kemudian meninggalkannya?
Hastari teringat betul sosok Andra yang kalem, santun dan tampan itu dengan gaya khasnya waktu kuliah dulu. Mereka kuliah dalam satu kampus yang sama tapi beda tingkatan. Pada waktu Hastari naik ke semester tiga, Andra sudah berada pada semester akhir kuliahnya.
“Tari, ayo ikut!” Rara menarik tangannya yang sedang menawarkan jualan online pada teman sekelasnya.
“Kemana, Ra?” Hastari bertanya sambil membereskan aksesoris gawai yang tadi dia hamparkan di meja.
“Udah gak usah beresin dulu, nanti keburu motor kamu di apa-apain!” ucap Rara.
“Eh, motor aku? Emang ada maling yang mau ngambil motor butut kayak gitu?” tanya Hastari, tapi tangannya tetap sibuk memindahkan semua aksesoris gawai yang tadi dia hamparkan ke dalam tas gendong yang selalu dibawanya.
“Ayo, ih! Cepetan!” Rara tampak tidak sabar.
“Iya, bentar!” ujar Hastari.
Tari bergegas mengikuti Rara menuju parkiran.
“Alhamdulilah, Ra … tuh, motorku masih ada! Kamu salah lihat kali!” ucap Tari dengan mata berbinar.
“Mana ada aku salah lihat, orang motor kamu kalau parkir pasti di pojok terpisah sendiri … udah kayak anak ilang!” ujarnya tak terima disebut salah lihat oleh temannya.
“Tadi tuh ada cowok di sini, Ri! Sumpah aku gak bohong!” ujar Rara.
Hastari berjalan mendekat pada sepeda motor tuanya. Sepeda motor yang susah payah dibelikan oleh sang ayah hanya demi agar dia bisa berangkat menimba ilmu.
“Apa ini?” Tari mengambil satu buah plastik hitam yang menggantung di sepeda motornya.
Rara berjalan cepat menghampiri dan turut menengok ke dalam plastik yang sedang dibuka Tari.
“Coba buka, Ri!” Rara sangat bersemangat ketika tampak di dalamnya ada sebuah benda berbentuk kotak persegi panjang.
Hastari dengan ragu membuka kotak yang diikat pita pink itu.
“Wah! Cokelat, Ri! Ini sih cokelat dengan kualitas premium!” Rara mengambil satu batang cokelat yang ada di dalam kotak persegi itu. Masih ada beberapa lagi di sana.
“Siapa ya, Ra yang nyimpen ini di sini?” Tari tampak bingung. Rara pun turut mengerutkan dahi mencoba menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi dengan sahabatnya ini.
“Mungkin cowok itu naksir kamu, Ri! Tapi dia mau sok romantis gitu ala-ala secret admirer gitu lah!” ujar Rara sambil hendak memasukan cokelat itu ke dalam saku kemejanya.
Tari secepat kilat mengambil cokelat itu dari tangan sahabatnya.
“Jangan maen ambil dulu, siapa tau cuma salah simpen! Sini rapiin lagi!” Tari menyimpannya kembali ke tempat semula.
“Yah, gak seru ah!” cebik Rara kesal.
“Udah, ayo balik kelas! Aku mau lanjutin jualan!” ucap Tari.
“Ke kelas tuh belajar, bukan jualan!” ujar Rara mencebik lagi, tapi tetap mengekori langkah sahabatnya itu kembali ke dalam kelas.
Sejak hari itu, Tari sering sekali mendapati barang-barang sudah tergantung pada sepeda motornya. Kadang cokelat, kadang camilan, kadang bunga. Kadang dalam paper bag yang bagus, tapi sering juga hanya keresek hitam yang jadi pembungkusnya. Memang tidak setiap hari, tapi sangat sering dan dia belum bisa menemukan pelakunya.
Hingga pada suatu hari, dia menatap seorang lelaki sedang berjalan santai di area parkiran. Di tangannya menenteng sebuah paper bag. Benar saja, lelaki itu menyimpan barang bawaannya pada sepeda motornya. Sejak saat itulah Tari mulai mencari tahu dalam diam siapa dia?
Gunandra Herlambang dialah lelaki yang suka menyimpan barang-barang mahal itu diam-diam dengan maksud dan tujuan yang belum diketahui dengan jelas. Setelah dicari tahu ternyata lelaki bernama Gunandra Herlambang itu ialah putra dari Tuan Herlambang dengan Nona Zumarnis yang memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar, tempat di mana ayah Tari dulu bekerja sebagai cleaning service.
Baru saja beberapa minggu Tari mengetahui semuanya. Dan diam-diam dia mengagumi sang pemilik paras rupawan tersebut, tapi takdir tidak memberikan kesempatan untuknya mengenal lelaki itu. Sebuah keadaan yang membuatnya harus menghapus semua mimpinya untuk kuliah hingga selesai. Sebuah kehidupan mengerikan yang akhirnya membuat dia hampir kehilangan kehormatan dirinya.
Tari menarik napas panjang. Pahit getir dunia yang menurutnya adalah dunia hitam itu menyisakan bekas mendalam di kehidupannya. Di mana semua orang akhirnya memandangnya rendah dan menganggapnya bukan wanita baik-baik.
“Ah, kehidupan itu sudah selesai, tapi hati ini masih selalu ngilu saat mengingatnya …,” gumamnya dalam dada.
Tari memejamkan mata, berulang-ulang untuk mengusir semua bayangan yang kembali menghantui pikirannya.
“Assalamu’alaikum!”
Suara salam bersama daun pintu yang perlahan terbuka membuat seluruh kesadarannya berkumpul kembali. Tari bangkit dan menghampiri sang suami yang baru saja tiba.
“Wa’alaikumsalam!”
Tari menghampiri Andra dan meraih tangannya. Kemudian membawakan tas kerja ke kamar. Setelah itu dia kembali menghampiri sang suami yang tampak penat dan kelelahan.
“Mas, kok aku gak denger suara mobilnya? Aku sampai terkejut tadi ada yang buka pintu!” Tari mencoba berbicara dan bersikap seperti biasa. Meskipun sejak malam Andra mendiamkannya, serta pikirannya masih tak karuan sejak kedatangan wanita hamil tadi.
Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Senyum yang sejak malam tadi menghilang itu sudah kembali.
“Mobil itu dibeli pakai uang perusahaan, jadi Mas kembalikan!” ujar Andra.
“Oh, gitu!” ujar Tari sambil kembali menjatuhkan pantatnya pada sofa.
“Iya, Sayang!” ujar Andra sambil ikut duduk pada sofa yang berseberangan dengan sang istri. Dia memejamkan mata, tubuh lemasnya dia sandarkan pada sofa. Kedua tangan memijit pelipisnya.
“Mas, capek banget! Sini biar aku pijitin!” ujar Tari sambil berjalan dan pindah pada sofa di samping sang suami. Dia tidak hendak bertanya sekarang. Tari bermaksud menyelidikinya dulu diam-diam.
Andra membiarkan tangan lembut sang istri memijat pelipis dan kepalanya yang terasa berat. Berat dengan semua problematika yang dia hadapi saat ini.
“Mas, udah gak marah sama aku?” tanya Tari. Kali ini tangannya berpindah memijat pada bagian bahu. Andra tampak mengulas senyum.
“Mas gak marah, Sayang!” ujar Andra sambil sekilas menatap wajah sang istri yang duduk di sampingnya.
“Kalau gak marah, kenapa dari semalem diam?” Tari kembali bertanya.
“Mas diam, hanya karena takut kebawa emosi atas perasaan Mas sendiri!” ujarnya.
“Apa aku boleh cerita sekarang, Mas?” tanya Tari hendak menjelaskan semuanya pada Andra. Pastinya tentang lelaki itu.
“Mas mandi dulu kalau gitu! Nanti biar ceritanya santai sambil rebahan!” ujarnya sambil beringsut berdiri.
Tari mengangguk. Kemudian mengikutinya ke kamar untuk menyiapkan pakaian ganti. Tari melihat gawainya yang batternya hampir habis. Sementara itu, charger miliknya ada di ruang tengah hingga akhirnya dia lebih memilih mencari charger milik Andra pada tas kerjanya. Namun matanya membulat ketika mendapati beberapa lembar foto terselip di sana.
“W-wanita ini ‘kan?” ucapnya terbata.
Nyonya Zumarnis alias Marni tengah duduk pada sofa di ruang tengah rumahnya. Di tangannya menggenggam gawai. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang.“Hans, apa semua berjalan lancar?”Salah satu kakinya menumpang. Tubuhnya bersandar santai.“Sudah, Ma! Andra sudah dipecat tanpa pesangon!”Terdengar suara dari seberang telepon menjawabnya.“Apa kamu tidak coba membujuknya Kembali?”“Sudah, Ma! Mama tahu sendiri ‘kan Andra gimana? Didikan Papa yang melekat dalam otaknya susah hilang! Dia tetap lebih memilih wanita itu!"“Lagi satu,
Alhamdulillah akhirnya bisa update lagi. Yuk ajak temannya buat tapi love pada cerita ini. Love kenceng, daily update, ya! ???DIPANDANG SEBELAH MATA (7)Belum apa-apa hati Tari sudah terasa nyeri. Berarti wanita itu tidak mengada-ada. Bahkan suaminya sendiri pun mengakui pernah ada hubungan dengan wanita itu.“Kenapa diam?”Andra memperhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba berubah. Wanita itu menggeleng. Ada tetesan bening yang berjatuhan di pipinya.“Aku mau ke kamar dulu … capek, Mas!” Wanita itu beringsut berdiri meninggalkan suaminya.“Sayang!”Andra memanggilnya, tetapi Tari tidak lagi menoleh dan langsung menghilang dibalik pintu kamar. Andra tepekur sendirian.“Ada apa dengan Tari? Kenapa dia seperti itu?&rd
Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana.Seringai merendahkan itu terlontar seketika, bahkan sebelum ada tegur sapa.“Tuan Andra yang terhormat, apakah gerangan yang membawa Anda kemari? Apakah Anda sedang mencari pekerjaan?” Hans menyeringai sambil bersedekap penuh kesombongan.Asril yang hendak menyapa mendadak salah tingkah. Dia hanya mematung menatap perubahan raut wajah Andra.“Bapak Hans, saya bermaksud bertemu dengan rekan saya---Pak Asril, bukan dengan Anda!” Andra masih mencoba melindungi harga dirinya. Meskipun memang benar apa yang dituduhkan oleh Hans---kakaknya.Hans tertawa. Ke
DIPANDANG SEBELAH MATA (9)"Astagfirullah ...."“Kemana istriku, Ya Allah?”Andra masih terduduk lemas di lantai dapur sambil bersandar pada dinding rumahnya ketika terdengar derit pintu depan. Dia bangkit dan berjalan gontai menuju ke ruang tengah.“Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam!”Mata Andra membulat. Dia memburu wanita dengan gamis krem yang berdiri sambil menenteng plastik di tangan kanannya. Andra berhambur memeluknya.“Sayang, kamu habis dari mana?” Andra mencakup kedua pipi istrinya setelah melepas pelukannya.“Maafin aku, Mas! Aku habis dari rumah ibu! Tadi aku coba hubungi kamu tapi gak diangkat terus!” ucap Tari tampak merasa bersalah.“Kamu habis dari rumah Ibu? Kenapa Ibu?” An
Hans berdecak kesal. Dia melempar gawai mahalnya sembarang. Emosinya bukan tanpa alasan melainkan setelah mendapat info dari Sesil sore tadi.[Mas Hans, nomor istrinya Andra sejak siang gak bisa dihubungi! Sudah kukirim foto yang tadi itu tapi hanya centang satu sampai sekarang!] tulis Sesil.[Coba lagi nanti! Terus ponsel Andra masih ada di kamu ‘kan? Kasih ke saya nanti!] balasnya.[Aku cuma ambil nomor istrinya saja, setelah itu ponselnya kubuang di pinggir jalan depan kantor tadi! Aku takut terlacak dan disangka maling nanti!] tulis Sesil.[Sesil, kenapa harus dibuang … kan bisa tinggal copot sim cardnya saja sama matikan gps!] geram Hans.[Gak ada bayaran untuk mengambil
“Ya Allah, semoga Mas Andra bisa menerima penjelasanku tentang Hans, di masa laluku! Namun kalau dia marah, lalu tidak terima dengan semua ini?”Setelah hatinya merasa yakin. Tari mulai berbicara.“Mas … Mas … aku mulai ceritanya, ya!”Namun masih sepi, tidak ada sahutan.“Mas ….” Tari menepuk lembut pipi Andra. Rupanya lelaki itu tertidur di pangkuannya.Tari menatap wajah sang suami, tampak bulu-bulu janggut halus yang tumbuh di sekiatr dagu itu mulai memanjang. Wajahnya tampak tenang dan sudah semakin dewasa sekarang.Ada perasaan hangat dalam hati Tari ketika membayangkan semua kenan
Rencana Tari untuk bercerita akhirnya tertunda. Dia pun tertidur bersandar pada pinggir sofa. Mereka berdua membiarkan televisi menontonnya.Tepukan lembut pada pipi Tari membuatnya terbangun, tampak wajah Andra sang suami dalam jarak beberapa senti tengah menatapnya.“Sayang, ayo kita shalat isya sama tarawih dulu!” ucap Andra.Tari mengerjap beberapa kali mengumpulkan kesadarannya. Lehernya terasa pegal karena bersandar pada sofa dan tertidur dengan posisi tidak benar.“Kenapa, Sayang?” Andra menoleh pada sang istri yang tampak meringis.“Pegel, Mas!”“Mau dipijitin?”“Gak usah, shalat dulu aja!”“Nanti sekalian, ya!” Andra mengerling menggoda sang istri.
"Dari nomor kamu, Mas!” ucap Tari sambil menunjukkan layar ponselnya.Tari segera mengangkatnya.“Hallo, assalamu’alaikum!” Terdengar suara seorang perempuan dari seberang sana.“Wa’alaikumsalam! Maaf ini siapa, ya?”Sekilas Tari melirik ke arah suaminya yang sedang menatap lekat.“Saya Aisha, maaf saya menemukan ponsel ini tergeletak di tepi jalan! Berkali-kali hubungi ke nomor ini tapi gak aktif! Alhamdulilah sekarang terhubung! Bisa kasihkan alamat untuk mengantarnya?” jelas Aisha panjang lebar.Tari menoleh pada Andra.“Mas, ponsel kamu ada yang nemuin … ini minta alamat!” ucap Tari sambil menoleh pada Andra.“Sini, biar mas yang ngomong!” ujar Andra sambil meminta ponsel itu p