Share

Bab 6: Kebermanfaatan

Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.

Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.

Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.

“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.

Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.

Paduka pamit dahulu. Sampai jumpa.”

“Eh, ada Mas Shadox. Pagi mas,” komentar salah satu asisten yang baru bangun tidur di lab X-106 ini. Aku hanya melambaikan tanganku.

“Oh ya, Mas Shadox kemarin dicari Pak Zahari. Katanya kalau ketemu tolong kabari beliau,” ucap asisten itu. Aku menghembuskan nafas berat, dosenku tidak pernah lelah mencari mahasiswanya yang hilang ya.

“Bilang saja ke beliau Mas Shadox tidak ada di lab, Legendaria,” komentarku. Asisten yang setengah sadar itu langsung melek. Dia langsung berdiri.

“Yang serius Mas!?” kalimat itu seperti teguran. Aku menganggukkan kepala. Dia tampak berpikir, seakan mencari kalimat pembantah dari pinta yang ku ajukan.

“Saya akan diam saja kalau begitu. Saya tidak ingin berbohong. Kasihan kakak,” komentarnya lagi. Aku menganggukkan kepala sebagai persetujuan atas pilihannya. Tidak apa, selama dia tidak mengatakan apapun terkait keberadaanku di lab ini.

“Selama tidak memberitahukan aku di lab, aku tidak masalah apa yang kamu lakukan, Legendaria,” jawabku datar.

“Smile ditanya juga sama calon pembimbing beliau setiap kali dia bimbingan. ‘Shad dimana? Satu jurusan bingung kenapa dia jadi susah dihubungi.’ kata Kak Smile waktu meniru ucapan pembimbing beliau,” komentarnya lagi. Aku menaikkan sebelah alisku.

“Siapa pembimbingnya?” tanyaku.

“Pak Arianto dan Prof Hari mas,” jawab Legendaria, “itu dari Pak Arianto yang tanya.”

“Beliau wajar khawatir sih,” komentarku, “bukan akan membuatku peduli sih.”

Legendaria menghembuskan nafas berat. Dia lalu membalikkan wajahnya. Ada sebuah kekecewaan yang tersirat dari wajah laki-laki itu.

“Entah apa yang akan membangunkanmu, Mas Shad,” ucapnya seraya berjalan keluar lab. Sepertinya dia membasuh wajahnya, mengingat dia baru bangun tidur.

“Yang membangunkanku ya?” gumamku sebelum kembali mengerjakan pekerjaanku. Aku melihat ke daftar kontak yang aku kirim soal untuk praktikum pertama. Mulai aku mengetikkan satu pesan untuk mereka semua. Mungkin ada jawabannya, tapi masih enggan untuk mengakuinya. Mungkin saja, dia jawabannya.

“Apabila kesulitan mengerjakan soal, silahkan kalian cari salah satu praktikan yang saya kirim pranala ke jawaban.”

Kalimat itu aku kirimkan ke semua perwakilan kelompok. Entah mereka akan peduli atau tidak, bukan urusanku. Toh, pada akhirnya, jika mereka tidak bisa menjelaskan, sia-sia mereka bisa menjawab nanti. Aku adalah satu-satunya asisten dengan 7 kelompok, sementara rata-rata hanya 4 atau 5 kelompok. Hanya aku yang diberi 7 karena waktuku yang paling luang, lebih tepatnya, aku yang memaksakan supaya terlihat luang.

Aku menyempatkan diri untuk mempublikasikan tulisan terbaruku, seperti biasa. Ada puluhan pesan yang terkumpul dalam kotak masukku, menanyakan berbagai hal berkaitan dengan kepenulisan. Dulu, sempat beberapa komunitas mengundang, tetapi aku menolak karena itu akan membongkar identitasku. Lebih baik seperti ini, setidaknya mereka memberikan pengertian akan pintaku untuk tidak membuka diri.

“Melarikan diri dari kenyataan itu membosankan ya,” gumamku seraya mempublikasikan rilis terbaruku. Tawaran penerbitan sudah ku terima, dengan syarat identitas asliku tidak boleh dibuka.

Dox, lu kayaknya perlu pacar deh. Kerja mulu. Lu gak mau berakhir di pemakaman toh?” komentar Faux. Aku menggelengkan kepala.

Itu berseberangan dengan norma,” jawabku datar. Faux menaikkan sebelah alisnya.

Norma apa? Toh teman-temanmu yang lulus duluan pada pacaran b aja,” tanyanya lagi.

Entahlah. Aku hanya memegang sisa masa laluku yang masih menjagaku ke titik ini,” jawabku tak pasti. Norma apa? Agama? Mungkin itu. Aku sudah tidak tahu lagi. Toh nyatanya aku sudah meninggalkan semuanya.

Agama, Mas,” komentar salah satu asisten junior. Faux langsung ber-oh ria. Aku hanya mendecih, kesal dengan cara menjawabnya.

Agamis banget tenyata temanku ini,” komentarnya dengan tawa keras. Hah, lucu sekali, Faux.

Ya oke aja sih kalo gitu. Cuma lu skripsi aja ga progress sampe tuh dosen-dosen ngeburu,” sindirnya. Aku menatap laki-laki itu tajam. Apakah masalah bagi dia jika aku tidak lulus tepat waktu?

Karena aku gak mengerjakan terus enak menyindir, begitu? Ingat itu toefl masih gak tuntas. Kan malu-maluin gak lulus gara-gara toefl kurang dari 470,” sindirku balik. Faux tertawa, namun aku tahu dia sedikit tersinggung. Bukan, sangat tersinggung.

Udah, garap aja dulu skripsimu. Ini malah bersedia ngambil tuh sampe tujuh kelompok.”

Aku mendesah kesal. Dia benar-benar mencoba memancing emosiku dengan mengangkat topik skripsi, yang jelas aku tidak sukai sedikitpun. Dasar teman laknat.

Kenapa? Aku sudah lama dalam hal ini, Faux. Aku membantu asisten yang rata-rata kebanyakan kelas semester ini,” komentarku balik. Dia tidak berkomentar lagi dan memutuskan untuk berhenti menggangguku.

Tapi setidaknya, carilah sesuatu yang memotivasi dirimu. Setauku, wanita paling memberikan emosi kuat pada pria,” komentarnya seraya menjauh.

“Pacar ya?” komentarku menatap ke langit laboratorium. Aku hanya menghela nafas. Dalam kisah-kisah yang ku tuliskan maupun yang ku baca, roman itu indah. Nyatanya, roman itu melemahkan, menyakitkan. Mungkin termasuk kisah hidupku, yang sedikit sekali roman dan justru berakhir mengerikan.

“Bulan berwarna darah dalam kesedihan,” komentarku. Aku kembali melihat ke layar laptopku, dengan naskah yang baru selesai. Penerbit memintanya dalam waktu dekat untuk mereka lakukan pemeriksaan oleh pihak editor.

“Warna cerita itu seperti putaran, layaknya kehidupan,” ucapku pelan. Aku melihat ke koleksi karyaku. Beberapa sedih, lainnya senang. Beberapa menegangkan, lainnya mengharukan.

“Kehidupan kita acapkali tidak sedramatis kisah-kisah yang dituliskan. Itulah nyatanya,” komentarku. Salah satu cerita lama aku buka kembali. Kisah yang hanya aku coret setelah berbicara dengan narasumber-narasumber yang tidak lazim pasca aku kerja praktik.

Manusia itu sebenarnya luar biasa. Kita saja yang membatasinya,” komentar narasumberku itu kala dia menutup kisahnya.

Jujur, kalau bukan karena saya mahasiswa FTEI, saya akan meragukan kredibilitas kisah anda,” komentarku. Dia tersenyum.

Orang pasti akan meragukannya. Maka dari itu, semua percakapan ini selalu saya simpan,” ucap beliau seraya menunjukkan sekumpulan percakapan dengan beberapa orang.

Nama orang itu disebut dalam semua diskusi itu. Saat saya mewawancarai narasumber lain, saya juga dapat informasi untuk desa-desa pengabdian dia, dan saya rasa cukup valid,” komentarku lagi dengan senyuman simpul. Beliau hanya menganggukkan kepala beliau.

Terima kasih banyak, Pak Azhar.”

“Manusia itu luar biasa, hanya dibatasi oleh diri mereka sendiri,” ucapku pelan. Bagaimanapun, itu adalah kebenaran. Aku tidak bersemangat menyelesaikan skripsi meski aku mampu, adalah tanda nyata kalimat itu.

“Bukan tidak mampu, tetapi tidak ingin,” komentarku lagi. Ya, aku hanya tidak ingin. Kalau aku lulus, tidak ada lagi tempat di luar sana.

Terima kasih atas pekerjaanmu di sini. Saya turut berduka mengetahui situasimu. Jika perlu tempat kerja, saya selalu siap menerima,” ucap Pak Azhar kala aku bertemu dengan beliau di restoran itu.

Azhar gitu kan, rebut bibit paling bagus terus. Gimana mau kebagian aku,” keluh temannya yang duduk di sampingnya, “aku juga selalu terbuka kok. Aku bisa tebak kinerjamu dari cara kamu berbicara dan bersikap.”

“Apa bapak akan menerima saya apapun yang terjadi?” gumamku pelan. Aku kembali berpikir. Jam di laptop menunjukkan bahwasanya waktu saat ini 11:22.

“Sudah siang ya,” komentarku pelan. Aku melihat Legendaria masuk. Dia berjalan ke meja kerjanya yang berada di seberangku.

“Saya tidak akan memaksakan apapun pilihan mas. Maaf jika saya dan Smile memaksa mas untuk mengambil kos. Setiap melihat mas memaksakan diri selama ini, kami melihat kakak kami,” ucap Legendaria. Aku menganggukkan kepalaku, mengerti.

“Aku tidak sebanding dengan kakakmu,” komentarku datar.

“Kakak kami pasti akan bilang sebanding. Hanya beda langkah saja. Anda dengan riset, dia dengan pengabdian,” balasnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tidak merasa pantas dibandingkan dengan laki-laki itu.

“Risetku tidak memberikan kebermanfaatan setara dengan yang dia lakukan dalam pengabdian massalnya. Skripsiku hanyalah mainan belaka, karena aku tidak ingin melepas tempat ini,” komentarku jujur.

“Apa karena Mas Shadox takut?” tanya Legendaria. Dia sepertinya tidak mau berdebat masalah kebermanfaatan.

“Takut karena masa lalu? Iya. Kamu adalah satu dari beberapa orang yang benar-benar tahu siapa aku,” jawabku. Legendaria menghela nafas berat, namun tidak memberikan jawaban.

“Pernah tahu kutukan penulis?” tanyaku kepada Legendaria.

“Aku pernah baca. Mitos penulis adalah apa yang dituliskannya bisa menjadi kenyataan kehidupannya kelak,” jawab Legendaria, “itu tidak terbukti.”

“Benar. Hanya saja, aku merasa demikian meski aku menentangnya. Kalau kakakmu masih memiliki kalian, aku tidak punya siapapun untuk berpaling,” komentarku, “lebih buruk malah.”

Legendaria berdiri dan memutar kursiku, lalu memegang kerahku. Sorotan matanya terlihat sangat tajam.

“Jangan tenggelam dalam kehancuran. Itu satu hal yang aku tahu dari kakakku. Seberapapun luka di hadapanmu, Kakak harus terus berjuang sampai panggilan tiba.”

“Huh. Aku diceramahi adik sang legenda sekarang,” komentarku sarkastis. Dia melepas kerahku.

“Itu pengingat. Aku gak tau apa yang Mas Shadox pikirkan, tetapi jangan harap aku tinggal diam kala mas menyembunyikan luka. Kami berdua sudah terlalu banyak luka selama di lab ini, tapi kami menolak menyerah. Kami harap mas juga demikian.”

“Heh,” komentarku datar. Dia tidak mengalami semua yang ku hadapi. Masih lebih baik ditinggal daripada dicampakkan.

“Karena aku tahu kebermanfaatan riset mas itulah aku bersedia membantu mas. Mas harap ingat, bahwa baik riset maupun skripsi mas itu adalah satu tumpu masa depan teknologi. Kalau aku bisa teknologi itu, aku sudah bantu mas,” ucapnya lagi sebelum kembali ke pekerjaannya. Oh, jadi karena bermanfaat saja ya…

Aku memutuskan untuk pulang karena mood ku berubah hambar setelah percakapan kami. Sebuah pesan masuk kala aku menaiki motor.

“Mas Yahya. Saya harap riset mas bisa diuji coba di perusahaan hari kamis ini ya. Bu Kaynara ingin melihat eksekusinya langsung.”

Anak iblis!”

Mati saja! Kamu itu mempermalukan keluarga!”

Pergi!”

Menyebalkan. Apa mati lebih enak?

Entahlah. Aku harus selesaikan urusanku ini dulu. Kematianku bisa menunggu sebentar, setidaknya. Toh, mereka tidak akan benar-benar kehilangan. Ketiadaanku hanya akan menunda perubahan di dunia ini untuk sesaat, itu saja.

“Bahkan, perubahan lebih cepat terjadi kala pionir yang tak diakui telah mati, seperti dia.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status