Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.
āAku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?ā tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.
āKala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,ā ucapku lemah.
āApakah aku melakukan hal yang benar?ā gumamku.
Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.
āPaduka pamit dahulu. Sampai jumpa.ā
āEh, ada Mas Shadox. Pagi mas,ā komentar salah satu asisten yang baru bangun tidur di lab X-106 ini. Aku hanya melambaikan tanganku.
āOh ya, Mas Shadox kemarin dicari Pak Zahari. Katanya kalau ketemu tolong kabari beliau,ā ucap asisten itu. Aku menghembuskan nafas berat, dosenku tidak pernah lelah mencari mahasiswanya yang hilang ya.
āBilang saja ke beliau Mas Shadox tidak ada di lab, Legendaria,ā komentarku. Asisten yang setengah sadar itu langsung melek. Dia langsung berdiri.
āYang serius Mas!?ā kalimat itu seperti teguran. Aku menganggukkan kepala. Dia tampak berpikir, seakan mencari kalimat pembantah dari pinta yang ku ajukan.
āSaya akan diam saja kalau begitu. Saya tidak ingin berbohong. Kasihan kakak,ā komentarnya lagi. Aku menganggukkan kepala sebagai persetujuan atas pilihannya. Tidak apa, selama dia tidak mengatakan apapun terkait keberadaanku di lab ini.
āSelama tidak memberitahukan aku di lab, aku tidak masalah apa yang kamu lakukan, Legendaria,ā jawabku datar.
āSmile ditanya juga sama calon pembimbing beliau setiap kali dia bimbingan. āShad dimana? Satu jurusan bingung kenapa dia jadi susah dihubungi.ā kata Kak Smile waktu meniru ucapan pembimbing beliau,ā komentarnya lagi. Aku menaikkan sebelah alisku.
āSiapa pembimbingnya?ā tanyaku.
āPak Arianto dan Prof Hari mas,ā jawab Legendaria, āitu dari Pak Arianto yang tanya.ā
āBeliau wajar khawatir sih,ā komentarku, ābukan akan membuatku peduli sih.ā
Legendaria menghembuskan nafas berat. Dia lalu membalikkan wajahnya. Ada sebuah kekecewaan yang tersirat dari wajah laki-laki itu.
āEntah apa yang akan membangunkanmu, Mas Shad,ā ucapnya seraya berjalan keluar lab. Sepertinya dia membasuh wajahnya, mengingat dia baru bangun tidur.
āYang membangunkanku ya?ā gumamku sebelum kembali mengerjakan pekerjaanku. Aku melihat ke daftar kontak yang aku kirim soal untuk praktikum pertama. Mulai aku mengetikkan satu pesan untuk mereka semua. Mungkin ada jawabannya, tapi masih enggan untuk mengakuinya. Mungkin saja, dia jawabannya.
āApabila kesulitan mengerjakan soal, silahkan kalian cari salah satu praktikan yang saya kirim pranala ke jawaban.ā
Kalimat itu aku kirimkan ke semua perwakilan kelompok. Entah mereka akan peduli atau tidak, bukan urusanku. Toh, pada akhirnya, jika mereka tidak bisa menjelaskan, sia-sia mereka bisa menjawab nanti. Aku adalah satu-satunya asisten dengan 7 kelompok, sementara rata-rata hanya 4 atau 5 kelompok. Hanya aku yang diberi 7 karena waktuku yang paling luang, lebih tepatnya, aku yang memaksakan supaya terlihat luang.
Aku menyempatkan diri untuk mempublikasikan tulisan terbaruku, seperti biasa. Ada puluhan pesan yang terkumpul dalam kotak masukku, menanyakan berbagai hal berkaitan dengan kepenulisan. Dulu, sempat beberapa komunitas mengundang, tetapi aku menolak karena itu akan membongkar identitasku. Lebih baik seperti ini, setidaknya mereka memberikan pengertian akan pintaku untuk tidak membuka diri.
āMelarikan diri dari kenyataan itu membosankan ya,ā gumamku seraya mempublikasikan rilis terbaruku. Tawaran penerbitan sudah ku terima, dengan syarat identitas asliku tidak boleh dibuka.
āDox, lu kayaknya perlu pacar deh. Kerja mulu. Lu gak mau berakhir di pemakaman toh?ā komentar Faux. Aku menggelengkan kepala.
āItu berseberangan dengan norma,ā jawabku datar. Faux menaikkan sebelah alisnya.
āNorma apa? Toh teman-temanmu yang lulus duluan pada pacaran b aja,ā tanyanya lagi.
āEntahlah. Aku hanya memegang sisa masa laluku yang masih menjagaku ke titik ini,ā jawabku tak pasti. Norma apa? Agama? Mungkin itu. Aku sudah tidak tahu lagi. Toh nyatanya aku sudah meninggalkan semuanya.
āAgama, Mas,ā komentar salah satu asisten junior. Faux langsung ber-oh ria. Aku hanya mendecih, kesal dengan cara menjawabnya.
āAgamis banget tenyata temanku ini,ā komentarnya dengan tawa keras. Hah, lucu sekali, Faux.
āYa oke aja sih kalo gitu. Cuma lu skripsi aja ga progress sampe tuh dosen-dosen ngeburu,ā sindirnya. Aku menatap laki-laki itu tajam. Apakah masalah bagi dia jika aku tidak lulus tepat waktu?
āKarena aku gak mengerjakan terus enak menyindir, begitu? Ingat itu toefl masih gak tuntas. Kan malu-maluin gak lulus gara-gara toefl kurang dari 470,ā sindirku balik. Faux tertawa, namun aku tahu dia sedikit tersinggung. Bukan, sangat tersinggung.
āUdah, garap aja dulu skripsimu. Ini malah bersedia ngambil tuh sampe tujuh kelompok.ā
Aku mendesah kesal. Dia benar-benar mencoba memancing emosiku dengan mengangkat topik skripsi, yang jelas aku tidak sukai sedikitpun. Dasar teman laknat.
āKenapa? Aku sudah lama dalam hal ini, Faux. Aku membantu asisten yang rata-rata kebanyakan kelas semester ini,ā komentarku balik. Dia tidak berkomentar lagi dan memutuskan untuk berhenti menggangguku.
āTapi setidaknya, carilah sesuatu yang memotivasi dirimu. Setauku, wanita paling memberikan emosi kuat pada pria,ā komentarnya seraya menjauh.
āPacar ya?ā komentarku menatap ke langit laboratorium. Aku hanya menghela nafas. Dalam kisah-kisah yang ku tuliskan maupun yang ku baca, roman itu indah. Nyatanya, roman itu melemahkan, menyakitkan. Mungkin termasuk kisah hidupku, yang sedikit sekali roman dan justru berakhir mengerikan.
āBulan berwarna darah dalam kesedihan,ā komentarku. Aku kembali melihat ke layar laptopku, dengan naskah yang baru selesai. Penerbit memintanya dalam waktu dekat untuk mereka lakukan pemeriksaan oleh pihak editor.
āWarna cerita itu seperti putaran, layaknya kehidupan,ā ucapku pelan. Aku melihat ke koleksi karyaku. Beberapa sedih, lainnya senang. Beberapa menegangkan, lainnya mengharukan.
āKehidupan kita acapkali tidak sedramatis kisah-kisah yang dituliskan. Itulah nyatanya,ā komentarku. Salah satu cerita lama aku buka kembali. Kisah yang hanya aku coret setelah berbicara dengan narasumber-narasumber yang tidak lazim pasca aku kerja praktik.
āManusia itu sebenarnya luar biasa. Kita saja yang membatasinya,ā komentar narasumberku itu kala dia menutup kisahnya.
āJujur, kalau bukan karena saya mahasiswa FTEI, saya akan meragukan kredibilitas kisah anda,ā komentarku. Dia tersenyum.
āOrang pasti akan meragukannya. Maka dari itu, semua percakapan ini selalu saya simpan,ā ucap beliau seraya menunjukkan sekumpulan percakapan dengan beberapa orang.
āNama orang itu disebut dalam semua diskusi itu. Saat saya mewawancarai narasumber lain, saya juga dapat informasi untuk desa-desa pengabdian dia, dan saya rasa cukup valid,ā komentarku lagi dengan senyuman simpul. Beliau hanya menganggukkan kepala beliau.
āTerima kasih banyak, Pak Azhar.ā
āManusia itu luar biasa, hanya dibatasi oleh diri mereka sendiri,ā ucapku pelan. Bagaimanapun, itu adalah kebenaran. Aku tidak bersemangat menyelesaikan skripsi meski aku mampu, adalah tanda nyata kalimat itu.
āBukan tidak mampu, tetapi tidak ingin,ā komentarku lagi. Ya, aku hanya tidak ingin. Kalau aku lulus, tidak ada lagi tempat di luar sana.
āTerima kasih atas pekerjaanmu di sini. Saya turut berduka mengetahui situasimu. Jika perlu tempat kerja, saya selalu siap menerima,ā ucap Pak Azhar kala aku bertemu dengan beliau di restoran itu.
āAzhar gitu kan, rebut bibit paling bagus terus. Gimana mau kebagian aku,ā keluh temannya yang duduk di sampingnya, āaku juga selalu terbuka kok. Aku bisa tebak kinerjamu dari cara kamu berbicara dan bersikap.ā
āApa bapak akan menerima saya apapun yang terjadi?ā gumamku pelan. Aku kembali berpikir. Jam di laptop menunjukkan bahwasanya waktu saat ini 11:22.
āSudah siang ya,ā komentarku pelan. Aku melihat Legendaria masuk. Dia berjalan ke meja kerjanya yang berada di seberangku.
āSaya tidak akan memaksakan apapun pilihan mas. Maaf jika saya dan Smile memaksa mas untuk mengambil kos. Setiap melihat mas memaksakan diri selama ini, kami melihat kakak kami,ā ucap Legendaria. Aku menganggukkan kepalaku, mengerti.
āAku tidak sebanding dengan kakakmu,ā komentarku datar.
āKakak kami pasti akan bilang sebanding. Hanya beda langkah saja. Anda dengan riset, dia dengan pengabdian,ā balasnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tidak merasa pantas dibandingkan dengan laki-laki itu.
āRisetku tidak memberikan kebermanfaatan setara dengan yang dia lakukan dalam pengabdian massalnya. Skripsiku hanyalah mainan belaka, karena aku tidak ingin melepas tempat ini,ā komentarku jujur.
āApa karena Mas Shadox takut?ā tanya Legendaria. Dia sepertinya tidak mau berdebat masalah kebermanfaatan.
āTakut karena masa lalu? Iya. Kamu adalah satu dari beberapa orang yang benar-benar tahu siapa aku,ā jawabku. Legendaria menghela nafas berat, namun tidak memberikan jawaban.
āPernah tahu kutukan penulis?ā tanyaku kepada Legendaria.
āAku pernah baca. Mitos penulis adalah apa yang dituliskannya bisa menjadi kenyataan kehidupannya kelak,ā jawab Legendaria, āitu tidak terbukti.ā
āBenar. Hanya saja, aku merasa demikian meski aku menentangnya. Kalau kakakmu masih memiliki kalian, aku tidak punya siapapun untuk berpaling,ā komentarku, ālebih buruk malah.ā
Legendaria berdiri dan memutar kursiku, lalu memegang kerahku. Sorotan matanya terlihat sangat tajam.
āJangan tenggelam dalam kehancuran. Itu satu hal yang aku tahu dari kakakku. Seberapapun luka di hadapanmu, Kakak harus terus berjuang sampai panggilan tiba.ā
āHuh. Aku diceramahi adik sang legenda sekarang,ā komentarku sarkastis. Dia melepas kerahku.
āItu pengingat. Aku gak tau apa yang Mas Shadox pikirkan, tetapi jangan harap aku tinggal diam kala mas menyembunyikan luka. Kami berdua sudah terlalu banyak luka selama di lab ini, tapi kami menolak menyerah. Kami harap mas juga demikian.ā
āHeh,ā komentarku datar. Dia tidak mengalami semua yang ku hadapi. Masih lebih baik ditinggal daripada dicampakkan.
āKarena aku tahu kebermanfaatan riset mas itulah aku bersedia membantu mas. Mas harap ingat, bahwa baik riset maupun skripsi mas itu adalah satu tumpu masa depan teknologi. Kalau aku bisa teknologi itu, aku sudah bantu mas,ā ucapnya lagi sebelum kembali ke pekerjaannya. Oh, jadi karena bermanfaat saja yaā¦
Aku memutuskan untuk pulang karena mood ku berubah hambar setelah percakapan kami. Sebuah pesan masuk kala aku menaiki motor.
āMas Yahya. Saya harap riset mas bisa diuji coba di perusahaan hari kamis ini ya. Bu Kaynara ingin melihat eksekusinya langsung.ā
āAnak iblis!ā
āMati saja! Kamu itu mempermalukan keluarga!ā
āPergi!ā
Menyebalkan. Apa mati lebih enak?
Entahlah. Aku harus selesaikan urusanku ini dulu. Kematianku bisa menunggu sebentar, setidaknya. Toh, mereka tidak akan benar-benar kehilangan. Ketiadaanku hanya akan menunda perubahan di dunia ini untuk sesaat, itu saja.
āBahkan, perubahan lebih cepat terjadi kala pionir yang tak diakui telah mati, seperti dia.ā
Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca š@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel
“Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri
“Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,
“Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu
“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter
Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,