Kecelakaan helikopter yang dialami Yusuf Haridra Bhranta dan Naysila Valerie Dewawarman, menyebabkan keduanya terlibat konflik yang berujung pada saling mengabaikan. Seiring waktu, mereka akhirnya bisa berdamai dan mulai akrab. Hingga sama-sama saling jatuh hati. Masalah di tempat proyek menjadikan pikiran Yusuf bercabang. Hubungannya dengan Naysila juga mengalami kendala berat. Sanggupkah mereka menjalani semua ujian kehidupan? Akankah keduanya bersatu, atau justru berpisah?
Lihat lebih banyak01
"Merunduk!" seru Yusuf Haridra Bhranta, sambil merunduk dan menutupi kepala dengan kedua tangannya.
"Argh!" pekik Naysila Valerie Dewawarman, saat badannya berguncang akibat hempasan kuat.
Helikopter berputar-putar tidak terkendali, sebelum akhirnya terjatuh dalam posisi miring ke kiri. Baling-baling patah dan berhamburan menghantam apa pun yang berada di sekitar lokasi.
Pekikan kelima orang di dalam helikopter, bergema di hutan yang sepi. Butiran salju yang turun deras, menjadikan area kanan helikopter seketika tertutup.
Yusuf meringis ketika mengangkat tangan kanannya yang terkena pecahan kaca. Meskipun terhalang baju lengan panjang dan jas tebal, pecahan kaca tetap menembus dan melukai pundak hingga lengannya.
Yusuf melepaskan sabuk pengaman. Lalu, dia mencoba membuka pintu, tetapi tidak bisa. Yusuf menendangi kaca yang bolong untuk memperbesar lubang, kemudian dia berusaha keluar dengan tergesa-gesa.
Asap dari bagian belakang helikopter, menjadikan Yusuf harus bertindak cepat. Dia berpindah ke pintu pilot, lalu berteriak agar Hao Dustin membuka kuncinya. Namun, ternyata pintu tetap terkunci.
Yusuf membuka ikat pinggangnya, dan mengulurkan benda itu ke lubang yang tadi dibuatnya.
"Nay, pegang sabuknya!" titah Yusuf.
Naysila mengerjakan permintaan pengawal PBK lapis tiga yang berdiri di luar. Naysila mendesis kala tangan kirinya sulit digerakkan.
"Bang, susah. Tanganku sakit," rengek Naysila.
Yusuf terdiam sejenak, kemudian dia melongok ke jendela. "Zil, kamu dorong Naysila," ungkapnya.
"Tanganku kayaknya keseleo, Bang. Sakit juga," jawab Zijl Narthana, anggota tim 7 PC.
"Dorong pakai bahu. Aku tarik. Pintunya nggak bisa dibuka dan kalian harus segera keluar," papar Yusuf.
Zijl menggeser badan hingga bisa mendorong Naysila menggunakan bahu dan lengannya. Mengabaikan rasa sakit, Zijl terus berusaha hingga Naysila bisa menggapai jendela.
Yusuf menarik tangan kanan Naysila. Kemudian dia memindahkan kedua tangannya ke ketiak sang nona, supaya bisa mengeluarkan Naysila dan menyeretnya menjauh beberapa meter.
Yusuf kembali ke helikopter untuk membantu Zijl keluar. Kemudian mereka bekerjasama menarik Hao Dustin, dari kaca jendela yang berhasil dibuka sang pilot.
"Everett pingsan," tukas Hao Dustin. "Aku mau coba menariknya," lanjutnya sembari berbalik dan menarik tali yang tadi diikatkannya ke kopilot.
Ketiga pria tersebut berusaha keras menarik Tian Everett. Setelah kopilot keluar, Hao Dustin menggotongnya di punggung dan bergegas menyambangi Naysila, yang telah berpindah ke bawah pohon besar.
Yusuf masuk lagi ke dalam untuk mengambil barang bawaan mereka. Yusuf juga menyambar tiga botol minuman di kursi belakang, dan dua lainnya di depan.
Zijl membantu Yusuf memindahkan semua barang ke dekat pohon. Sedangkan Hao Dustin berusaha meminta bantuan ke menara kontrol bandara terdekat. Namun, sinyal yang buruk menjadikan laporan itu terputus-putus.
"Asapnya menebal. Lari!" jerit Yusuf sembari menarik tangan kanan Hao Dustin.
Baru beberapa langkah keduanya menjauh, letusan terdengar dari bagian ekor helikopter. Yusuf dan Hao Dustin segera menelungkup agar tidak terkena apa pun yang beterbangan di atas.
Naysila menjerit sambil membulatkan mata. Zijl terperangah sesaat, sebelum lari untuk mencapai tempat kedua rekannya berada.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Zijl.
"Ya," balas Yusuf sembari bangkit duduk. "Kita ke sana," ajaknya sambil berdiri, dan menarik Hao Dustin.
Selama belasan menit berikutnya, keempat orang tersebut masih termamgu sambil memandangi helikopter yang tengah terbakar.
Mereka sudah mencoba mencari bantuan, tetapi tempat itu tidak mendapatkan sinyal dan akhirnya semua ponsel tidak berfungsi.
Yusuf mengecek arloji di tangan kiri, kemudian dia menengadah untuk memastikan posisi matahari yang terhalang kabut.
"Sudah hampir jam 3 sore. Kita harus mencari tempat menginap," cakap Yusuf sambil memerhatikan sekeliling. "Kalau tetap di sini, aku khawatir akan ada hewan buas, karena di sini area terbuka," lanjutnya.
"Kita harus ke mana?" tanya Zijl.
Yusuf menunjuk layar ponselnya. "Ikuti arah di kompas. Kalau hitunganku akurat, jarak tempat ini ke area proyek sekitar 50 kilometer barat daya. Berarti kita mengarah ke sana. Mungkin saja ada permukiman di sekitar sini."
"Speak Mandarin, please," sela Hao Dustin yang tidak memahami bahasa Indonesia.
Yusuf menerangkan rencananya menggunakan bahasa Mandarin yang fasih. Dia sudah menguasai bahasa itu semenjak beberapa tahun silam.
Yusuf adalah salah satu pengawal PBK angkatan pertama. Awalnya dia ditempatkan di keluarga Baskara Gardapati Ganendra. Namun, karena saat itu tengah berlangsung perang saudara di lima klan, akhirnya Yusuf dipindahkan ke pasukan pengawal keluarga Adhitama.
Bersama puluhan sahabatnya yang bertugas di klan Adhitama atau Bun, Yusuf beberapa kali ikut perang klan itu melawan klan Han, yang bekerjasama dengan mafia China.
Klan Adhitama didukung tiga klan lainnya. Yakni Cheung, Zheung dan Vong. Mereka yang dibantu tim PBK dan PG, berhasil mengalahkan klan Han.
Yusuf dan semua anggota pengawal keluarga Adhitama, diminta bos masing-masing untuk belajar bahasa Mandarin.
Ternyata kebisaan itu membantu karier Yusuf dan rekan-rekannya, karena untuk wilayah China dan sekitarnya, menjadi tanggung jawab mereka yang menjadi pengawas pengawal maupun penjaga keamanan, yang berasal dari PBK dan PB.
Yusuf dan Hao Dustin membuat tandu darurat. Setelah menaikkan Tian Everett ke tandu, mereka menggotong tandu dan jalan menuju arah yang ditunjukkan kompas.
Zijl yang menemani Naysila jalan di depan, terpaksa menggunakan kedua tangannya yang sakit untuk membawa tas travel miliknya dan Yusuf.
Naysila beberapa kali tersandung akar pohon yang tertutup salju. Saat mereka berhenti untuk beristirahat, Yusuf mencari dahan panjang dan membuat tongkat, yang diberikannya pada sang nona.
Sebab mengejar waktu sebelum matahari tenggelam, mereka segera melanjutkan perjalanan seusai beristirahat 15 menit.
Naysila menggunakan tongkat untuk mengetahui akar pohon. Dia sekali-sekali akan berhenti untuk menandai batang pohon besar dengan pita merah, yang ditancapkan dengan paku kecil.
"Ada rumah!" seru Zijl sambil menunjuk ke bangunan di ujung jalan yang mereka lalui.
"Tetap tenang. Kita harus pastikan sekitarnya aman," cakap Yusuf.
"Bentar. Aku cari kayu dulu buat senjata," ujar Zijl.
"Cari empat, Zil."
"Okay."
Yusuf meneruskan langkah sembari memindai sekeliling. Terbiasa waspada menjadikannya terus bersiaga atas berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Kelompok itu berhenti beberapa meter di depan gubuk kecil. Setelah menurunkan tandu, Yusuf dan Hao Dustin mengambil kayu yang diberikan Zijl.
Kedua pria tersebut mengitari gubuk, lalu membuka pintunya yang tidak terkunci. Yusuf dan Hao Dustin sama-sama menyalakan senter kecil yang mereka ambil dari saku jaket.
Yusuf memberi kode agar Hao Dustin tetap di tempat, sedangkan dia memasuki area dalam gubuk yang terbagi dalam tiga ruangan.
Setelah memastikan keamanannya, Yusuf dan Hao Dustin kembali keluar untuk menggotong tandu. Naysila mengikuti di belakang bersama Zijl.
Setelah meletakkan tandu, Yusuf duduk sambil menyandar ke dinding. Dia menjulurkan kakinya yang pegal, lalu mengusap wajahnya dengan saputangan yang diambil dari saku celananya.
Naysila membuka pintu di bagian kanan. Dia memandanfi ruangan kecil yang kemungkinan adalah kamar. Setelah meletakkan kedua tasnya ke lantai, Naysila keluar untuk mengecek ke belakang.
Gadis berjaket tebal abu-abu, berdecih ketika tidak bisa menemukan toilet. Naysila mencoba membuka pintu terakhir, tetapi sulit.
"Mau ngapain?" tanya Yusuf yang menyusul gadis itu.
"Aku kebelet, tapi nggak ada toilet di sini," jelas Naysila.
"Biar aku yang cek keluar. Kamu tunggu aja."
Naysila mengangguk mengiakan. Dia bergeser ke kanan supaya Yusuf bisa membuka pintu. Angin kencang berembus menerpa keduanya, sesaat setelah pintu itu terbuka.
"Memang nggak ada kamar mandi," ujar Yusuf setelah mengamati sekitar.
"Terus, gimana?" tanya Naysila.
"Itu kayaknya sumur. Aku lihat dulu." Yusuf hendak maju, tetapi dicegah Naysila.
"Jangan, Bang. Bisa saja airnya nggak layak pakai."
"Ehm, ya." Yusuf memandangi sang gadis. "Air di botolmu masih ada?" tanyanya.
"Ada separuh lagi."
"Pakai itu. Nanti aku buat api. Kita masak salju, biar jadi air."
67Seunit mobil MPV biru melesat di jalan bebas hambatan. Pengemudinya memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, supaya bisa segera tiba di rest area. Sesampainya di sana, seorang penumpang turun dan jalan tergesa-gesa menuju toilet. Rumi menyusul, sembari membawa tas travel merah. Yusuf keluar dari bagian pengemudi. Disusul Radeya, Yazan dan Justin yang turun dari kursi tengah serta belakang. Keempat pria berseragam safari hitam, mengayunkan tungkai menuju salah satu kantin di seputar rest area. Sekian menit berlalu, Naysila dan Rumi menyambangi keempat lelaki. Mereka duduk berdampingan di kursi sebelah kanan Yusuf, lalu mengambil gelas di meja dan menyedot jus masing-masing, yang sudah dipesankan Yusuf. "Deya dan Yazan, kalian yakin mau ikut diklat level dua bulan Agustus nanti?" tanya Yusuf, sembari memandangi kedua bersaudara di kursi seberang. "Ya, Bang. Om Linggha minta kami kembali dinas di PBK, karena Kak Kimora dan Bang Niko bentar lagi pulang ke Indonesia," jawab Radeya
66Jalinan waktu terus bergulir. Yusuf telah kembali ke rumahnya, seusai beristirahat seminggu di kediaman orang tuanya. Kelvan dan Malya pindah sementara ke rumah Yusuf, untuk membantu mengawasi pria tersebut. Keduanya juga aktif membantu Yusuf dan Naysila mempersiapkan segala sesuatunya, untuk menyambut acara pernikahan yang kian dekat. Siang menjelang sore itu, Yusuf dan Naysila bescerta Kelvan dan Malya, telah berada di ruang kerja butik Renata. Pasangan calon pengantin tersebut melakukan fitting pertama, ketiga pakaian yang akan dikenakan saat akad, resepsi pertama dan kedua. Yusuf memandangi Naysila yang berpose bak model sambil dipotret Johnny, fotografer andalan tim WO. Naysila tampak sangat berbeda saat menggunakan setelan kebaya putih tulang, dan dua gaun lainnya. "Kak Nay, pakai kebaya tadi, kelihatan kayak orang Jawa asli," seloroh Malya, sesaat setelah Naysila kembali dari ruang ganti. "Iyakah?" tanya Naysila. "Hu um." Malya memperlihatkan foto di layar ponselnya. "
65Hari berganti. Siang itu, bandara Shanghai dipenuhi ratusan orang berkemeja berbagai warna, sesuai dengan tujuan masing-masing. Rombongan Indonesia mengenakan baju biru. Tim Australia menggunakan kemeja krem. Kelompok Eropa memakai baju hijau. Terakhir, tim Kanada mengenakan baju abu-abu. Chyou dan seluruh pengantar, menyalami rombongan Indonesia yang akan bertolak terlebih dahulu menggunakan pesawat carteran besar. Setelahnya, rombongan pimpinan Chairil bergerak keluar ruang tunggu khusus pesawat pribadi dan carteran, untuk menuju pesawat. Chyou dan yang lainnya memandangi saat pesawat boeing itu berpacu di landasan, kemudian menanjak dan mengangkasa Belasan menit berlalu, giliran tim Australia, Kanada dan Eropa yang bergerak menuju tiga pesawat pribadi. Tim Australia menaiki pesawat milik keluarga Arvhasatya. Kelompok Eropa menggunakan pesawat milik keluarga Baltissen. Sedangkan regu Kanada menumpang di pesawat milik Sultan Pramudya. Chyou menarik napas dalam-dalam dan men
64Naysila menyuapi Yusuf sembari membatin, jika dirinya harus bersikap tegas pada lelaki tersebut, agar mau istirahat total. Naysila mengeluh dalam hati, karena dirinya harus benar-benar mengawasi Yusuf saat di Jakarta nanti. Naysila khawatir pria kesayangannya itu akan memaksa bekerja, karena merasa tidak enak hati cuti terlalu lama. Naysila memikirkan rencana untuk meminta bantuan kedua Adik Yusuf, buat mengawasi Abang mereka secara maksimal. Sebab tidak mungkin Naysila bisa menemani pria tersebut sepanjang waktu. Sekian menit berlalu, Naysila tengah berbalas pesan dengan asistennya di kantor, ketika Yusuf memanggil dan memintanya berpindah duduk ke kasur. Gadis bermata besar itu tertegun sesaat, sebelum berdiri dan berpindah ke tepi kasur. Naysila duduk menyandar ke belakang dan membiarkan Yusuf memeluk pinggangnya.Naysila membelai rambut lelakinya sambil mengamati Yusuf yang tengah memejamkan mata. Dia mengulum senyuman, karena ternyata pria tersebut akan bersikap manja bila
63"Argh!" jerit Kwan Cheng, saat lehernya dicekik oleh Wirya. "W, tahan!" pekik Alvaro. "Wir, lepas!" seru Yanuar. "Kan! Kubilang juga apa!" desis Zulfi sembari berlari mendatangi sahabatnya. Yusuf dan rekan-rekannya turut merubungi direktur utama PBK. Mereka memandangi ketika Alvaro dan Zulfi bekerjasama melepaskan cengkeraman Wirya. Setelah Kwan Cheng terlepas, Yoga dan Yanuar segera memeganginya, sebelum dibaringkan ke tanah. Aswin bergegas memberikan minuman pada Kwan Cheng yang gemetaran. "Istigfar!" titah Alvaro sambil memegangi pundak kanan Wirya. "Wir, ikuti aku. Inhale dan exhale," pinta Zulfi, sebelum menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Ulangi," pintanya yang dikerjakan Wirya. "Panggil kedua pawangnya!" titah Haryono. Nanang berbalik dan lari kencang menuju kelompok pengejar hantu. Tidak berselang lama Nanang kembali bersama Zein dan Hendri. "Kumat!" geram Zein sambil memelototi Wirya yang balas mendeliknya tajam. Hendri mengembangkan kedua tangan dan m
62Alvaro dan semua Power Rangers yang tergabung dalam kelompok satu, berlari kencang sembari memegangi kedua tongkat besi dengan erat. Yanuar menyusul sambil membidikkan busurnya. Dia melepaskan anak panah pada Kwan Cheng, yang segera menghindar sambil memaki. Zulfi dan Yoga memacu kaki mereka untuk mendahului Yanuar. Mereka berpencar silang. Zulfi berpindah ke kanan, sedangkan Yoga ke kiri. Haryono, Andri, Galang, Mardi, Aswin, dan Jaka, berhenti di depan kelompok Breck. Mereka memancing kelompok lawan agar bergerak maju, supaya bisa masuk dalam perangkap. Said, Satrio, Salman, Haikal dan Hamid berjibaku di sayap kanan. Sementara Fajar, Nugraha, Edwin, Hans dan Idris, bekerjasama menjatuhkan lawan mereka di sayap kiri. Wirya maju sambil memutar-murar tombak berujung pengait. Dia melakukan salto dua kali, sebelum berhenti di depan Garrick Huang. Tanpa mengatakan apa pun, Wirya langsung menyerang musuh bebuyutan keluarga empat klan. Dia sudah mempelajari teknik rumit wushu yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen