Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.
Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.
Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap. Mereka adalah pria di awal 30-an atau akhir 20-an, dari penampilan mereka.
“Kenapa kembali ke kota ini, bukannya ibukota lebih enak, Azhar?” tanya orang pertama.
“Bosan. Tau kan isinya ibukota itu bisnis dan politik pusat, Arrow?” balas orang kedua dengan pertanyaan balik.
“Heh. Bacotan para tikus dasi mah bosenin,” komentar orang pertama.
Aku memutuskan untuk berhenti menguping dan menyelesaikan mengambil makananku dan kembali ke meja. Panggilan yang diberikan kepada orang pertama dalam dialog tadi membekas di ingatanku. Azhar. Azhar. Masa sih CEO perusahaan terkenal itu? Ah lupakan saja.
Aku kembali duduk dengan tenang, menikmati momen makan bersama kami. Jujur, aku dan Riris sepakat kalau kami seperti nyamuk kala Alsya bersama kekasihnya. Sebagai teman, kami mendukung relasi mereka, namun aku jujur terganggu karena aku jomblo.
“Jadi, kapan wawancaranya?” tanyaku kepada Alsya.
“Hari selasa katanya, di kantor cabang kota sini,” jawab Alsya.
“Semangat ya, aku yakin kamu sukses,” balas Riris.
“Makasih ya,” jawab Alsya dengan senyumannya.
“Aku juga semangatin kamu kok Sya, pasti berhasil,” ucapku memberikan semangat.
“Alsya pasti bisa dong,” ucap Kak Daniel. Alsya terlihat terharu.
“Makasih banget,” ucap Alsya dengan airmata yang berjatuhan.
“Oh ya, aku benci ngerusak suasana, tapi jawaban buat soal pra-praktikum si sialan sudah aku kirim,” ucap Kak Daniel. Aku langsung terkejut mendengarnya dan membuka ponselku cepat. Ada foto yang dikirim oleh Kak Daniel. Sesuatu firasat tak enak masuk ke benakku, namun aku abaikan.
“Dari temanku yang jago program,” komentar Kak Daniel, “tuh si sialan gak tau kalo timnya banyak yang gak jago,” lanjutnya. Kami menganggukkan kepala, setuju. Kami pun mencakapkan beberapa hal kecil disela pesta kecil kami. Setelah selesai, kami pun pulang ke tempat Alsya.
“Terima kasih ya Sya buat traktirannya,” ucapku kala aku menaiki motorku untuk pulang ke kos. Aku dan Riris berpamitan duluan.
Saat tiba, aku melihat Kak Yahya sibuk dengan laptopnya. Namun, saat aku berjalan menuju pintu, sebuah kalimatnya mengejutkanku.
“Katakan, gadis, benarkah dikau yang paduka lihat di kemegahan itu?” tanyanya. Aku menaikkan sebelah alisku, heran.
“Maksud paduka?” tanyaku ragu. Apa yang dimaksud Kak Yahya?
“Ah, mungkin hanya rasaku saja, ‘si sialan yang kirim’,” komentarnya seakan mengutip pembicaraan. Tunggu, jangan bilang kalau-
“Daniel Anton, semester 3 Teknik Komputer FTEI,” komentarnya lagi. Rasanya, detik itu dunia runtuh di hadapanku. Dia telah mengetahui siapa aku. Wajahnya sangat datar, namun keseriusan tersirat dari matanya, tanpa menatapku.
“Dikau, gadis, adalah lengkapnya Zihan Azizah, satu kelompok dengan dia. Apa paduka salah?” tanyanya kepadaku. Aku hanya bisa menelan air ludah. Rasanya berat mengatakan iya.
“Bumi dan langit tak jauh berbeda ya,” jawabnya dengan sebuah senyuman kecil, seakan dia menang. Dia lalu menatap ke arahku, datar.
“Apa yang dikau katakan pada mereka tentangku pasca temu pertama kita?” tanyanya datar. Aku masih terdiam.
“Apakah dikau katakan, bahwasanya paduka adalah sang penulis?” tanyanya lagi. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Apakah dikau katakan, bahwasanya paduka adalah sang penghakim?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala.
“Kenapa?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Kenapa aku tidak mengatakan kepada Riris maupun Alsya? Kenapa aku merahasiakan dia ada di sini? Aku masih tidak tahu.
“A...ku... tidak tahu,” ucapku sedikit terpatah
“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyanya kepadaku. Aku terdiam. Tidak satu patah kata bisa keluar. Atmosfer yang dia ciptakan mencekikku.
“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapnya lemah. Dia menggelengkan kepala.
“Tapi, dikau tak berkata apapun kala itu, hanya anggukan yang memancing murka diri. Namun, dikau telah merahasiakan paduka. Sekali ini, aku perkenan semua kembali dalam bayangan,” komentarnya, “terima kasih.”
“Terima kasih,” balasku pula. Rasanya sesak. Hanya itu yang bisa terucap dari lidahku. Entah kenapa, hubungan kami yang baru dimulai, perkenalan singkat yang berbeda ini, sudah diambang kehancuran. Sekarang aku ingat, firasat buruk itu. Itu saat keluar firasat yang aneh, tetapi, apakah ini yang dimaksud?
“Selamat berjuang merebut tempat kalian kembali dari kematian,” komentarnya lagi. Dia lalu menunjukkan sebuah lembar penilaian kepadaku, yang telah dinolkan di seluruh kolom nama dalam kelompokku.
“Paduka rasa janggal kala temu perdana kita. Namun, paduka abaikan. Kala sekilas mendengar kalian di tempat itu, paduka sadar siapa dikau sesungguhnya. Seharusnya, nilai ini akhir,” ucapnya. Dia lalu menghapus nilai nol di kelompokku.
“Untuk kala pertama, aku merasakan percakapan menyenangkan dari dikau, maka perkenan ini sebagai kesempatan kalian. Silahkan katakan pada mereka, peringatan ini,” ucapnya lagi dengan tatapan serius.
“Tidak perlu dikau simpan. Katakan saja pada mereka siapa aku. Lagipula, aku tidak akan lama mengembara. Sampai nanti,” ucapnya mengakhir sepihak dialog itu dan menyimpan lembar nilai itu lagi. Dia lalu kembali menulis, namun wajah seriusnya menandakan dia ingin tidak diganggu.
Dengan perasaan bersalah, aku berjalan ke kamarku di lantai dua. Aku tutup pintu itu dengan sedikit kencang, membuang potongan emosi yang berkecamuk dalam dadaku. Dengan berat aku membuka ponselku, memulai percakapan di grup Trio Bebek.
Zihan: Ada yang ingin ku sampaikan.
Alsya: Ada apa Zih?
Riris: Ada apa?
Zihan: Aku tahu siapa Shadox penulis dan Shadox asisten kita.
Alsya: Apa!? SERIUS. SHADOX PENULIS!?
Zihan: Mereka orang yang sama.
Riris: HEH. SERIUS!?
Alsya: APA!? GAK CANDA KAN!?
Zihan: Dan dia ada saat kita makan tadi.
Riris: YANG BENER.
Alsya: TRUS!?
Zihan: Kita dinolkan. Dia mendengar percakapan kita.
Riris: HEH HEH.
Alsya: APA!? APA!?
Zihan: Dia beri kita kesempatan, dihapusnya nol itu.
Alsya: KOK KAMU BISA TAU SEMUA INI!?
Zihan: Dia satu-satunya penghuni selain aku di kos ku yang lumayan jauh dari kampus-kampus.
Alsya: HEH, YANG BENER.
Zihan: Apa perlu aku foto orangnya?
Alsya: SERIUSAN
Riris: BUKTIIN
Alsya: KALO NGEBUAL KAMI BULLY SEBULAN
Riris: IYA. GAK LUCU CANDAAN LU SOALNYA ZIH.
Aku menghela nafas berat. Keluar dari kamar menuju teras untuk bertemu dengannya yang sedang sibuk. Pakaian laboratorium dia kenakan, yang akan meyakinkan mereka.
“Kak Yahya,” ucapku pelan. Dia melihat ke arahku.
“Ada apa?” tanyanya datar.
“Izin memoto, sebagai bukti percakapan kita,” jawabku pelan. Dia menghela nafas.
“Apa susah manusia percaya ke sesamanya?” tanyanya, tidak ditujukan kepada siapapun.
“Silahkan,” izinnya kepadaku. Aku memotonya.
“Terima kasih, Kak Yahya,” ucapku. Dia menghela nafas.
“Tempatkan sesuai tempatnya. Aku hanya orang lain dalam keramaian di sini. Yahya saja,” tegurnya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Terima kasih… Yahya,” ucapku kaku. Dia menganggukkan kepalanya. Aku pun permisi dan meninggalkannya ke pekerjaannya. Foto itu aku kirim ke grup.
[Zihan mengirim foto]
Alsya: HEH. BENERAN ITU DIA NJIR. TULISAN SHADOX DI PAKAIANNYA ITU LHO.
Riris: IYA. GA PERCAYA AKU.
Zihan: Gak jadi di bully kan?
Riris: Kok dia tau itu kita?
Zihan: Dia kenal sama Kak Daniel.
Alsya: Bener sih... Kak Daniel dulu dapat dia sebelumnya.
Zihan: Kita teledor.
Aku melihat Riris mengirim pesan ke grup kelompok praktikum. Dia menjelaskan dengan dua bahasa karena ada Kak Chen dan Kak Anastasia.
Chen: STUPID DANIEL. LOOK WHAT YOU ALMOST GOT US INTO.
Karim: AKU KOK KESERET JUGA. AKU MAU LULUS IH ☹
Anastasia: PLEASE. PLEASE. I DO NOT WANT THIS NIGHTMARE TO GET WORSE. I JUST WANT TO FINISH THIS PRACTICE AND CONTINUE TO THE RESEARCH BRANCH STUDY IN CALM.
Haris: Alhamdulillah masih diperkenan. Makasih infonya, Rahma. Makasih usaha negosiasinya, Zihan.
Alif: Iya. Setidaknya masih bisa berjalan lancar untuk kita.
Daniel: I DON’T EXPECT HIM TO BE THERE IN THE FIRST PLACE!
Aku melihat mereka lanjut ribut dalam diskusi mereka. Namun, aku memutuskan untuk menutup ponselku. Rasa bersalah masih menghinggapi benakku. Aku memutuskan untuk salat ashar, waktunya nyaris habis. Biarlah rasa bersalah ini sebagai teguran bagiku. Setelah maghrib dan isya, aku memutuskan untuk istirahat dari drama hari itu.
Pada hari minggu pagi, aku melihat sesuatu tertempel di depan kamarku. Sebuah kertas dengan coretan. Aku mengambil kertas itu.
“Maafkan paduka jikalau dikau terluka. Paduka hanya kecewa. Jangan dikau cari paduka. Sekat akan membatasimu.”
Aku hanya menghela nafas berat. Kenapa sekarang dia yang minta maaf?
“Kamu tidak perlu minta maaf kak,” gumamku pelan. Aku ambil kertas itu dan kembali ke kamar. Iseng, aku membalik kertasnya saat akan meletakkannya di meja belajarku, yang mengejutkanku. Di sana, ada sebuah pranala.
Aku segera mengetikkan pranala itu di ponselku. Begitu laman itu terbuka penuh, aku melihat banyak teks, yang merupakan semua jawaban pertanyaan yang dia berikan kepadaku. Aku menutup mulutku yang ingin teriak tidak percaya.
“Kenapa dia memberi ini?” gumamku pelan. Aku hanya bisa terdiam dan ragu, apakah bisa aku membagikan ini? Apa yang sebenarnya ada di benakmu, Kak Yahya?
Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.
Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.
“Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber
Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai
Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal
“Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.
“Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli
“Hari ini kami mengabarkan sebuah pertunjukkan publik dari gedung utama perusahaan Hasna Augmented Technologies. Di hadapan kami saat ini terlihat teknologi terbaru yang akan dirilis dalam waktu dekat untuk penggunaan publik,” ucap sang wartawan dari televisi. Aku mencoba memperhatikan televisi dengan teliti, mencari keberadaan Kak Yahya. Laki-laki itu tampak di sisi kiri dari alat yang mereka presentasikan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?” gumamku mengingat insiden itu. Jujur, itu membuatku sedikit bersemu, namun aku menggelengkan kepalanya. Kak Yahya menjelaskan dengan telaten, namun nama publik setiap anggota tim yang ditampilkan tidak menampilkan nama Yahya. Hanya Shad sebagai nama dia. “Shad,” ucapku menyebut nama yang tertulis di layar. Demonstrasi alat itu adalah alat yang videonya dua hari lalu ditunjukkan kepada kelasku waktu beliau menggantikan Prof