"Jangan sekarang ya, Rum. Kita masih dalam suasana berduka. Tapi aku janji nanti akan aku ceritakan semua padamu dan Ibu.""Kami ingin penjelasan sekarang juga, Mas Banyu! Iya kan, Bu?""Iya, Banyu, jelaskan sekarang! Siapa dia?""Dia ... Dia istri Ayah," jawabku yang membuat Arumi dan Ibu tersentak kaget."Apa maksudmu, Banyu? Kamu bercanda, kan?""Tidak, Bu. Dia memang istri simpanan Ayah." Ibu menangis dan berteriak histeris."Tega kamu, Yah. Biadab! Suami tak tahu di untung! Pengkhianat!""Sudah, Bu. Maafkan Ayah. Ayah sudah tidak bersama kita lagi. Setiap manusia pernah melakukan khilaf. Kita maafkan Ayah ya, Bu, supaya Ayah tenang di sana." Kubiarkan Ibu menangis sepuasnya di pelukanku."Kenapa Ayahmu tega membohongi Ibu, mengkhianati Ibu, Banyu? Ibu pikir Ayah suami baik-baik. Tapi ternyata ... Jadi ini alasan Ayah jarang di rumah. Kenapa Ibu tidak menyadarinya sama sekali. Ibu kembali menangis sambil memukul-mukul dadaku meluapkan kemarahannya pada orang yang sudah tidak ada.
"Banyu minta maaf, Bu. Kali ini Banyu terpaksa jadi anak durhaka. Banyu akan mempertahankan Syahdu untuk tetap tinggal di rumah ini. Syahdu akan jadi tanggung jawab Banyu.""Kamu lebih memilih perempuan yang baru saja kamu kenal dan sudah merebut Ayahmu itu, Banyu, daripada Ibu dan istrimu?!""Ibu dan Arumi yang tidak punya hati. Lihat Syahdu, Bu. Dia seorang perempuan cacat yang layak kita kasihani. Tolong mengertilah, buka sedikit saja hati kalian buat dia. Banyu mohon.""Anak tak tau diri kamu, Banyu!""Maafkan Banyu, Bu. Dan aku juga sudah putuskan, Rum. Untuk sementara aku tidak akan kembali ke Jepang. Aku mau berhenti kuliah dulu, Bu, Rum. Atau mungkin untuk selamanya.""Karena perempuan jalang itu juga kan, Mas? Mas Banyu tidak mau meninggalkan dia! Iya, kan?""Jaga ucapanmu, Rum. Dia bukan perempuan jalang. Dia punya nama. Syahdu namanya! Kamu harusnya bisa lihat situasi. Ayah sudah nggak ada. Siapa yang akan membiayai kuliahku di Jepang. Aku juga memikirkan Ibu dan adikku. Ak
"Baiklah, Bu. Kalau itu keputusan Ibu. Sebentar ya, Banyu mau keluar dulu cari makan.""Nggak perlu! Syahdu yang akan menyiapkan sarapan kita. Ini tugas pertama buat dia sebagai pembantu di rumah ini!""Syahdu belum bisa, Bu. Harus di ajarin dulu. Dan tidak sekarang. Belajarnya mulai besok saja. Sudah, kita DO makanan saja.""Syahdu, kamu lapar, kan?!" tanya Ibu dengan nada membentak."Iya, perutku keroncongan," jawab Syahdu sambil memegangi perutnya."Pergi ke dapur! Bikin mie instan dan telur ceplok sekalian buat kita semua!" perintah Ibu."Biasanya yang bikinin Mbok Nah. Syahdu nggak bisa.""Nggak ada Mbok Nah disini! Mulai sekarang kamu yang akan jadi Mbok Nah di sini!" bentak Ibu."Mas Banyu, Syahdu mau pulang. Syahdu mau Mbok Nah. Syahdu laper.""Tuh, urus ibu tirimu itu, Banyu!" perintah Ibu."Baik kalau kalian tidak mau, biar Banyu yang ngajari Syahdu. Ayo, Syahdu, Mas Banyu ajarin cara bikin mie dan ceplok telor." Syahdu akhirnya membuntutiku menuju dapur, lamat-lamat masih
"Sayang, Tante, cantik-cantik begitu di jadiin pembantu. Kupinjem ya, Tant, buat model di agencyku.""Dia itu perempuan begini, Ngga," ucap Ibu sambil memiringkan jari telunjuk di dahinya."Ibu! Apa-apaan, sih!" Sungguh, aku tak rela Syahdu dicemooh Ibu."Sinting maksud Tante?" tanya Rangga yang sepertinya justru semakin penasaran dengan Syahdu."Iya.""Tapi nggak pa pa, Tante, aku cuma butuh wajah dan tubuhnya. Suka dengan wajah innocent nya. Lihatin deh, Tant. Dia dalam pose begitu saja sudah terlihat fotogenic apalagi kalau dipoles dan diarahin dikit.""Rangga ... Rangga ... matamu itu normal nggak sih. Perempuan model begitu kamu bilang fotogenic. Coba kamu lihatinnya dari deket sana. Jangan-jangan matamu siwer," cibir Arumi.Tapi jujur saja, apa yang dikatakan Rangga itu memang benar. Wajah dan tubuh Syahdu itu memang fotogenic."Nggak usah repot-repot, Ngga. Syahdu akan tetap jadi pembantu di sini. Kamu kayak nggak ada perempuan lain aja. Pembantu mau kamu embat juga," ujarku, m
Pagi buta bergegas aku menuruni tangga, netraku menyapu sekeliling ruangan mencari Syahdu yang biasanya jam segini sedang bersih-bersih di ruang tengah. Tapi pagi ini tak kelihatan batang hidungnya. Kususuri semua ruangan dan halaman tetap tak ada."Masak iya jam segini Syahdu belum bangun, tidak biasanya." Lalu aku menuju kamarnya, ternyata dia masih tertidur, meringkuk dengan tubuh menggigil."Syahdu! Ya Allah tubuhnya panas sekali. Syahdu, kamu sakit?" Sambil kupegang dahinya yang panas, kubangunkan Syahdu pelan. "Dinda! Jangan sakiti Dinda!" Dengan suara parau buru-buru dia mendekap Dinda yang terbaring di sampingnya."Siapa yang mau menyakiti Dinda, Syahdu? Ini Mas Banyu. Kamu mimpi buruk ya?" Dia hanya menggelengkan kepala dengan tatapan seperti ketakutan. "Aku nggak mau kehilangan Dinda, jangan sakiti dia!""Iya, tidak ada yang akan menyakiti Dinda. Apa yang kamu rasakan? Pusing? Kamu kecapekan ya. Hari ini kamu istirahat dulu. Nggak usah ngerjain kerjaan rumah. Sebentar, Mas
POV Syahdu Satu tahun kemudian "Mama, Dinda pengin didongengin.""Sst ... jangan berisik, adik sudah bobok.""Tapi Dinda nggak bisa bobok kalau nggak didongengin.""Sini, mama usap-usap punggung Dinda ya biar bisa bobok."Dinda ... Putriku yang selalu menemani hidupku dalam suka dan duka. Ikut terlunta-lunta bersamaku terbawa kejamnya arus kehidupan. Wajah-wajah biadab itu sedikit pun tak akan pernah kubiarkan beranjak dari ingatanku. Terlintas kembali peristiwa setahun yang lalu...Tubuhku yang sudah lemah lunglai dengan kepala pusing tak karuan tertindih tubuh penjajah harga diriku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menangis histeris."Diem kamu, Syahdu. Semakin kamu nangis kenceng, aku akan semakin kasar padamu!" ancam laki-laki biadab itu yang terus saja melampiaskan hasrat setannya tak peduli rintihan kesakitanku sambil terus menampar mulutku.Tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Tubuhnya terkulai di atasku. Seseorang telah memukul kepalanya dengan benda keras. Tampak
"Hus! Kamu diajak rembugan malah bikin tambah ruwet saja. Ya sudah kamu cari orang di rumah sakit ini, mungkin ada orang yang mau nampung mereka. Kalau nggak ada udah buang lagi saja di jalanan. Selama ini nyatanya dia bisa hidup di jalanan, kan. Baik-baik saja.""Saya nggak tega, Dok.""Atau taruh di panti asuhan atau panti jompo saja, Dit.""Tapi, Dok, itu bukan tempat yang tepat buat mereka. Jiwa kemanusiaan saya meronta-ronta ini, Dok. Biar mereka kubawa ya.""Kamu jangan bercanda, Dit.""Kali ini saya nggak bercanda, Dok. Saya serius. Mana tega saya membuang perempuan dengan kekurangan seperti itu dan punya anak kecil lagi.""Kamu masih mahasiswa, mana bisa menghidupi mereka, ngasih makan mereka?""Yang penting saya nggak punya istri kan, Dok. Saya masih bebas. Soal makan gampang. Masih cukup kalau buat bertiga. Kan saya dapat gaji dari Dokter.""Kamu nggak bisa bersenang-senang lagi, dong.""Nggak pa pa daripada saya kepikiran mereka terus, terlunta-lunta di jalanan. Mana bisa s
"Gimana, Nak Adit?""Gimana ya, Pak. Saya sebenarnya belum siap menikah. Terlalu muda bagi saya untuk punya istri. Belum bisa terikat, masih pengin menikmati kebebasan. Atau gimana kalau mereka saya titipin di sini saja, Pak? Saya yang akan menanggung hidup mereka, cuma tinggalnya biar di sini saja, di rumah Pak RT.""Waduh, Nak Adit. Kalau yang mau dititipin itu wujudnya masih anak-anak Bapak dengan senang hati menerima dia. Atau kalaupun gadis itu wujudnya buluk gitu, Bapak juga nggak masalah. Tapi ini wujudnya bikin jantung berdebar-debar. Bisa-bisa nanti terjadi perang dunia ketiga di rumah Bapak.""Ada-ada aja Pak RT. Baru ngadepi perempuan model begini udah klepek-klepek. Di mata Adit, nih perempuan biasa saja. Sudah, nanti saya yang jelasin sama Bu RT, Pak.""Nggak, Nak Adit. Bapak yang takut tergoda, takut khilaf. Sudah yang paling pas, Nak Adit saja yang menikahi perempuan ini.""Berarti mau nggak mau saya harus menikah saat ini juga. Ya sudah, Pak, saya minta tolong bantuin