Share

10. Kehilangan

last update Last Updated: 2022-07-10 20:34:35

Ternyata itulah pertemuan terakhirku dengan Ayah. Di hadapanku dan karenaku Ayah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Kebencianku pada Ayah yang berapi-api seketika luntur. Pada kenyataannya aku tetap merasa kehilangan. Ada rasa sedih yang mendalam, rasa bersalah dan menyesal.

"Maafkan Banyu, Yah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah."

Dan Ibu yang terlihat begitu shock. Menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Bahkan Ibu sama sekali tak menyadari keberadaan Syahdu dan Dinda di antara kami.

Syahdu yang begitu terpuruk, menangis tanpa jeda. Bukan karena kepergian Ayah tapi karena kehilangan Mbok Nah, sosok yang sudah dianggap Syahdu seperti seorang ibu. Entah kemana Mbok Nah pergi. Aku sudah tidak punya waktu untuk mencarinya karena harus mengurus Ayah.

Dengan terpaksa Syahdu dan Dinda akhirnya kubawa pulang ke rumah tanpa tahu, bagaimana aku akan menjelaskan pada Ibu dan Arumi.

"Siapa perempuan dan anak ini, Mas?" Cerca Arumi menatap curiga Syahdu yang masih saja menangis sambil menggendong Syahdu dan selalu mengikutiku.

"Ceritanya panjang, Rum. Nanti ya kuceritakan. Kita urus dulu pemakaman Ayah.

Kuantar Syahdu ke kamar, "Kamu istirahat di kamar saja ya, Syahdu. Kasihan Dinda kecapekan. Mas Banyu tinggal dulu. Ini makanan buat Syahdu dan Dinda. Dimakan ya." Kututup pintu kamar dan meninggalkannya untuk kembali mengurus jenazah ayah dan menyapa teman-teman serta kolega Ayah, tetangga juga kerabat.

Setelah menyolatkan almarhum Ayah dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, kami semua kembali ke rumah dengan kesedihan mendalam. Kupapah Ibu yang masih enggan untuk bangun dari nisan Ayah dengan tubuh yang lemah dan mata membengkak karena airmata yang tak berhenti berderai. Hari yang sangat berat bagi kami semua dan malam itu setelah semua kerabat pulang, kamu semua langsung terlelap karena kelelahan.

Pagi buta kudengar suara ribut-ribut di luar kamar. Seperti suara Ibu yang berteriak-teriak.

"Mas, itu kenapa Ibu?" tanya Arumi yang baru saja bangun.

"Nggak tahu, Rum. Ayo kita lihat." Kami buru-buru beranjak keluar kamar.

"Siapa kamu? Berani-beraninya masuk di rumah ini! Jawab! Dari tadi ditanya cuma diam saja! Kamu tuli dan bisu?!" bentak Ibu pada perempuan di depannya yang ternyata Syahdu.

"Ibu! Sabar, Bu. Akan aku jelaskan." Melihat kedatanganku tiba-tiba Syahdu berlari dan dengan polosnya langsung mendekapku erat.

"Mas Banyu, Syahdu takut. Dari tadi perempuan itu bentak-bentak Syahdu," lirih Syahdu yang membuat mata Arumi terbelalak melotot ke arah kami lalu buru-buru menarik tubuh Syahdu dari pelukanku.

"Apa-apaan kamu! Main peluk saja suami orang!" teriak Arumi yang sepertinya tak dihiraukan Syahdu karena Syahdu kembali memelukku.

"Eh, nekat kamu ya! Lepaskan suamiku! Perempuan tak tahu diri! Kurang ajar kamu. Lepaskan!"

"Nggak mau! Ini Mas Banyuku!" pelukan Syahdu justru semakin erat dan aku tak berkeming, tak tahu apa yang harus kulakukan.

"Mas Banyu, jangan diam saja! Lepaskan perempuan itu!"

"Siapa perempuan ini, Banyu? Berani sekali dia peluk-peluk kamu." tanya Ibu.

"Syahdu, lepas dulu," aku mencoba melepas pelukan Syahdu tapi dia justru semakin memelukku dengan kuat.

"Nggak mau, mereka jahat sama Syahdu. Mereka bentak-bentak Syahdu. Aku mau sama Mas Banyu saja," ucap Syahdu sambil melabuhkan kepalanya di dadaku yang tentu saja membuat Arumi semakin berang.

Arumi kemudian menarik paksa tubuh Syahdu dari pelukanku sampai tubuh Syahdu terpental dan tersungkur ke lantai membuat Syahdu meringis kesakitan dan menangis.

"Arumi, jangan kasar!"

"Mas Banyu lebih membela perempuan itu daripada istrimu, Mas? Siapa dia, Mas?!"

Tiba-tiba Syahdu bangkit dan berlari ke arahku lagi tapi buru-buru Arumi menghadangnya di depanku.

"Berhenti disitu! Berani sedikit saja kamu menyentuh suamiku, aku tak akan segan-segan mematahkan tulang tanganmu dan mencabut rambutmu dari kepalamu. Dasar perempuan murahan!" bentak Arumi.

Ancaman Arumi ternyata membuat Syahdu ketakutan sambil memegang rambut dan tangannya kemudian melangkah mundur, terdiam bersandar pada tembok dengan mata berkaca-kaca.

"Sekarang jelaskan pada kami, Mas. Siapa dia?!" teriak Arumi yang membuatku panas dingin kelabakan.

"Dia ... dia adalah ...." Sungguh aku tidak sanggup menyakiti Ibu yang baru saja kehilangan Ayah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanyan
lanjut .. banyu hrs gentle dan bertanggungjawab
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    52. Akhir kisah Syahdu dan Banyu (2) Tamat

    "Mas Banyumu, Syahdu!""Mas Banyu?!" Aku tersentak, " Ngapain Mas Banyu di sana, Mas Adit?""Kan aku bilang, orang itu jadi pasienku, pasien Dokter Hans, berarti apa?""Berarti Mas Banyu gila?!""Iya, Syahdu. Tadi Mas Adit juga nggak percaya. Keadaannya sangat menyedihkan. Yang keluar dari mulutnya cuma namamu dan Dinda. Syahdu ... Dinda ... Gitu terus. Tatapan matanya kosong. Dan yang lebih menyedihkan dia buta, Syahdu.""Mas Banyu!" Aku pun menangis histeris."Tadi aku sempet tanya saudara yang kebetulan menjenguknya. Kamu tahu ternyata Banyu mendonorkan mata buat putrinya yang sangat ia cintai dulu sebelum dimasukkan ke penjara.""Jadi mata Dinda itu mata Mas Banyu, Mas Adit?" Mas Adit mengangguk dan aku pun menangis sejadi jadinya."Mas Adit! Syahdu mau ketemu Mas Banyu, Mas Adit! Anterin Syahdu ke Mas Banyu!" rengekku."Enggak, Syahdu! Untuk keadaan sekarang belum aman.""Pokoknya Syahdu mau ketemu Mas Banyu! Kalau Mas Adit nggak mau nganterin, Syahdu mau kesana sendiri! minta d

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    51. Akhir kisah Syahdu dan Banyu (1)

    Sampai akhirnya kami harus kembali ke perantauan. Mas Adit sudah sembuh total dan menutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi. Dito sudah berumur 3 bulan jadi sudah aman untuk melakukan perjalanan jauh."Kamu yakin, Dit membawa Syahdu ke Jakarta? Apa bisa dia mengasuh 2 anak sendirian?" tanya Mama khawatir."Syahdu bisa kok, Ma." jawabku"Jangan sepelein Syahdu, Ma. Dia memang punya kekurangan. Tapi dia juga punya naluri seorang ibu. Nih buktinya, Dinda tumbuh dengan baik dan sehat.""Iyo Yo, Dit. Cantik lagi nih Dinda nya."."Maaf ya, Mbak Syahdu, Mbok Nah nggak bisa ikut. Mbok Nah pengin menikmati masa tua di kampung.""Iya, Mbok Nah, nggak pa pa. Sekarang Syahdu udah bisa ngapa ngapain sendiri, udah diajarin masak Mbok Nah juga kan. Yang penting Syahdu ada di samping Mas Adit. Itu sudah cukup.""Iya, Mbak Syahdu, Mbok Nah sudah tenang sekarang, Mbak Syahdu pasti aman dan bahagia sama Mas Adit. Mas Adit nitip Mbak Syahdu, ya.""Iya, Mbok. Tenang saja.""Dit, sudah kamu nurut sama Papa,

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    50. Sebelum kembali ke perantauan (2)

    "Syahdu nggak pa pa. Syahdu janji nggak selingkuh. Mas Adit juga janji jangan nyari istri lagi, ya?""1 istri saja aku nggak bisa ngasih nafkah batin, gimana mau 2, Syahdu. Kamu ada-ada aja. Kamu tuh yang bisa selingkuh.""Nggak, Syahdu nggak bakal selingkuh. Syahdu sayang Mas Adit.""Lha iya, selingkuhanmu dah di penjara. Mo selingkuh sama siapa.""Mas Adiiiiiit!" Kucubit saja lengannya.***Setelah latihan tiap hari bersamaku, 2 bulan berikutnya, Mas Adit akhirnya bisa berjalan normal kembali walaupun masih pakai tongkat. Semangat Mas Adit yang menggebu gebu telah mempercepat proses penyembuhan.Pagi ini kami berdua jalan pagi menyusuri jalanan pedesaan yang masih sepi. Udaranya segar sekali. Diusia kehamilanku yang sudah mendekati lahiran, disarankan banyak jalan biar persalinan lancar katanya. Makanya tiap hari, Mas Adit yang bersemangat ngajak jalan, sekalian terapi buat Mas Adit juga."Duuuh, yang terkenang dengan seseorang ...," ledek Mas Adit sambil menyikut lenganku ketika k

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    49. Sebelum kembali ke perantauan (1)

    Hari hariku selanjutnya terasa suram melihat Dinda yang lebih banyak nangisnya daripada diemnya. Selalu rewel, nangis terus nggak pagi, nggak siang, nggak malem. Naluri seorang ibu, bisa merasakan apa yang dirasakan Dinda. Dia kesepian dan ketakutan.Yang bisa menghiburnya hanya suaraku dan suara Mas Adit. Setiap kami diam dia nangis. Penginnya kita ngomong terus, ngajak ngobrol dia. Tidurpun nggak bisa lepas dari kami. Minta kupeluk juga Mas Adit."Tapi, Dit, anak Anggita yang di perut ini juga butuh kamu" rengek Anggita manja ketika Mas Adit ijin mo tidur di kamarku "Tolong dong, Nggit. Ngalah dulu. Kasihan, Dinda. Dia pengin tidur dipeluk papanya. Kamu jangan egois kayak gitu!" Seru Mas Adit.Akhirnya Mas Adit sekarang tidur bersama kami tidak peduli Anggita sewot. Buat Mas Adit kebahagiaan Dinda lebih penting dari segalanya.Satu satunya harapan kami hanya menunggu ada orang yang mau mendonorkan matanya. Papa terus berusaha. Mas Adit yang bersikeras pengin mendonorkan mata akhirn

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    Dinda yang malang

    Setelah seminggu dirawat akhirnya aku boleh pulang. Senangnya ... walaupun ada yang kurang karena Dinda masih dirawat di Rumah sakit di Semarang. "Syahdu, nanti ada kejutan buatmu." ucap Mama ketika perjalanan pulang dari rumah sakit. Hanya Mama dan sopir yang menjemputku karena Papa dan Mas Yoga nungguin Dinda di Semarang. Dan Mas Adit nungguin Anggita yang lagi sakit katanya."Kejutan buat Syahdu? Kejutan apa, Ma?" "Kalau aku ngomong sekarang namanya bukan kejutan dong, Syahdu. Nanti nyampe rumah."Setelah melewati hamparan sawah, kami pun sampai di rumah Mas Adit. Terlihat Mas Adit yang sudah menyambutku di pintu gerbang."Akhirnya, istriku yang lucu menggemaskan ini kembali juga ke rumahku." "Mas Adit!" Kupeluk Mas Adit yang duduk di kursi roda. "Syahdu, lihat ini ada siapa?" panggil Mama, Aku melepaskan pelukan Mas Adit menoleh ke arah Mama.Seorang wanita tua yang pakai kebaya berdiri di samping Mama. Kuusap usap mataku. Rasanya tidak percaya. "Mbok Nah!" Aku berlari ke ar

  • Bunga Ilalang, Mahkota perawan desa    47 Merajut Memori lama

    Bunga ilalangPart 34_Merajut_memori_lama"Dinda kritis di rumah sakit, Dit.""Dinda ... Dinda kenapa, Mas Adit?!" Aku yang mendengar nama Dinda disebut langsung teriak panik tapi Mas Adit tak menjawabku malah menjalankan kursi rodanya menjauh dariku.Tapi lamat-lamat aku bisa mendengar percakapan mereka."Kritis kenapa, Pa?" "Kecelakaan di tol Semarang. Polisi mengejar mobil yang dikendarai Banyu. Perhitungan mereka kalau ditangkap di jalan, mereka tidak sempat merencanakan sesuatu untuk menggunakan Dinda sebagai tameng.""Lalu, Pa?""Tapi ternyata perhitungan polisi meleset. Banyu menabrakkan mobilnya pada besi pembatas jalan dengan kecepatan tinggi, Dit. Menurut pengamatan polisi dia sengaja menabrakkan karena tidak terlihat mobil oleng atau menghindari sesuatu.""Innalilahi. Apa maunya, Banyu itu! Bisa bisanya dia senekat itu! Terus bagaimana keadaan mereka, Pa? Keadaan, Dinda?""Semua kritis, Dit, termasuk Dinda. Mereka di rawat di rumah sakit di Semarang. Ini Papa dan Mas Yog

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status