Share

10. Kehilangan

Ternyata itulah pertemuan terakhirku dengan Ayah. Di hadapanku dan karenaku Ayah menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Kebencianku pada Ayah yang berapi-api seketika luntur. Pada kenyataannya aku tetap merasa kehilangan. Ada rasa sedih yang mendalam, rasa bersalah dan menyesal.

"Maafkan Banyu, Yah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ayah."

Dan Ibu yang terlihat begitu shock. Menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Bahkan Ibu sama sekali tak menyadari keberadaan Syahdu dan Dinda di antara kami.

Syahdu yang begitu terpuruk, menangis tanpa jeda. Bukan karena kepergian Ayah tapi karena kehilangan Mbok Nah, sosok yang sudah dianggap Syahdu seperti seorang ibu. Entah kemana Mbok Nah pergi. Aku sudah tidak punya waktu untuk mencarinya karena harus mengurus Ayah.

Dengan terpaksa Syahdu dan Dinda akhirnya kubawa pulang ke rumah tanpa tahu, bagaimana aku akan menjelaskan pada Ibu dan Arumi.

"Siapa perempuan dan anak ini, Mas?" Cerca Arumi menatap curiga Syahdu yang masih saja menangis sambil menggendong Syahdu dan selalu mengikutiku.

"Ceritanya panjang, Rum. Nanti ya kuceritakan. Kita urus dulu pemakaman Ayah.

Kuantar Syahdu ke kamar, "Kamu istirahat di kamar saja ya, Syahdu. Kasihan Dinda kecapekan. Mas Banyu tinggal dulu. Ini makanan buat Syahdu dan Dinda. Dimakan ya." Kututup pintu kamar dan meninggalkannya untuk kembali mengurus jenazah ayah dan menyapa teman-teman serta kolega Ayah, tetangga juga kerabat.

Setelah menyolatkan almarhum Ayah dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, kami semua kembali ke rumah dengan kesedihan mendalam. Kupapah Ibu yang masih enggan untuk bangun dari nisan Ayah dengan tubuh yang lemah dan mata membengkak karena airmata yang tak berhenti berderai. Hari yang sangat berat bagi kami semua dan malam itu setelah semua kerabat pulang, kamu semua langsung terlelap karena kelelahan.

Pagi buta kudengar suara ribut-ribut di luar kamar. Seperti suara Ibu yang berteriak-teriak.

"Mas, itu kenapa Ibu?" tanya Arumi yang baru saja bangun.

"Nggak tahu, Rum. Ayo kita lihat." Kami buru-buru beranjak keluar kamar.

"Siapa kamu? Berani-beraninya masuk di rumah ini! Jawab! Dari tadi ditanya cuma diam saja! Kamu tuli dan bisu?!" bentak Ibu pada perempuan di depannya yang ternyata Syahdu.

"Ibu! Sabar, Bu. Akan aku jelaskan." Melihat kedatanganku tiba-tiba Syahdu berlari dan dengan polosnya langsung mendekapku erat.

"Mas Banyu, Syahdu takut. Dari tadi perempuan itu bentak-bentak Syahdu," lirih Syahdu yang membuat mata Arumi terbelalak melotot ke arah kami lalu buru-buru menarik tubuh Syahdu dari pelukanku.

"Apa-apaan kamu! Main peluk saja suami orang!" teriak Arumi yang sepertinya tak dihiraukan Syahdu karena Syahdu kembali memelukku.

"Eh, nekat kamu ya! Lepaskan suamiku! Perempuan tak tahu diri! Kurang ajar kamu. Lepaskan!"

"Nggak mau! Ini Mas Banyuku!" pelukan Syahdu justru semakin erat dan aku tak berkeming, tak tahu apa yang harus kulakukan.

"Mas Banyu, jangan diam saja! Lepaskan perempuan itu!"

"Siapa perempuan ini, Banyu? Berani sekali dia peluk-peluk kamu." tanya Ibu.

"Syahdu, lepas dulu," aku mencoba melepas pelukan Syahdu tapi dia justru semakin memelukku dengan kuat.

"Nggak mau, mereka jahat sama Syahdu. Mereka bentak-bentak Syahdu. Aku mau sama Mas Banyu saja," ucap Syahdu sambil melabuhkan kepalanya di dadaku yang tentu saja membuat Arumi semakin berang.

Arumi kemudian menarik paksa tubuh Syahdu dari pelukanku sampai tubuh Syahdu terpental dan tersungkur ke lantai membuat Syahdu meringis kesakitan dan menangis.

"Arumi, jangan kasar!"

"Mas Banyu lebih membela perempuan itu daripada istrimu, Mas? Siapa dia, Mas?!"

Tiba-tiba Syahdu bangkit dan berlari ke arahku lagi tapi buru-buru Arumi menghadangnya di depanku.

"Berhenti disitu! Berani sedikit saja kamu menyentuh suamiku, aku tak akan segan-segan mematahkan tulang tanganmu dan mencabut rambutmu dari kepalamu. Dasar perempuan murahan!" bentak Arumi.

Ancaman Arumi ternyata membuat Syahdu ketakutan sambil memegang rambut dan tangannya kemudian melangkah mundur, terdiam bersandar pada tembok dengan mata berkaca-kaca.

"Sekarang jelaskan pada kami, Mas. Siapa dia?!" teriak Arumi yang membuatku panas dingin kelabakan.

"Dia ... dia adalah ...." Sungguh aku tidak sanggup menyakiti Ibu yang baru saja kehilangan Ayah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanyan
lanjut .. banyu hrs gentle dan bertanggungjawab
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status