Share

Fakta Masa Lalu

Bab 4 Fakta di Masa Lalu

Aku terpaku mendengar apa yang disampaikan Pak Surya barusan. Aku takut jika rumor itu betul-betul terjadi dan Bu Mirna benar-benar terlibat dalam kecelakan bapak. Jika benar demilikan ku pastikan bukan hanya motif asmara yang menjadi alasan dibalik Bu Mirna bertindak demikian. Tapi ada hal lain yang membuatnya berani melakukan hal tersebut.

***

Hari terus berjalan. Tiga hari setelah pertemuanku dengan Pak Surya waktu itu, sampai detik ini aku masih saja belum mendapatkan kabar dari Mas Bima mengenai kelanjutan penyelidikannya. Sempat merasa pesimis kalau Mas Bima akan gagal mendapatkan informasi mengenai rumor pernikahan siri antara Bu Mirna dan bapakku. Di sisi lain aku juga merasa takut kalau-kalau rumor itu malah benar adanya.

Sebab sekarang ini aku menikah dengan anak kandung Bu Mirna. Dimana jika pernikahan siri itu terjadi dan sudah berlangsung lama, aku takut jika laki-laki yang kini menjadi suamiku itu adalah saudara kandungku sendiri. Walaupun sebelumnya Mas Alvin mengaku jika ayah kandungnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sebuah kecelakan. Meski begitu selama rumor pernikahan itu belum menemukan titik terangnya, aku belum bisa menjamin apakah pengakuan Mas Alvin itu benar atau tidak.

Ku pijat pelan kedua pelipisku. Memikirkan masalah ini benar-benar membuatku merasa pusing. Semakin hari masalah ini terasa semakin berat. Kini tak lagi terfokus pada siapa dalang dibalik kecelakan bapakku. Melainkan mulai merembet ke masa lalu Bu Mirna dengan bapakku yang penuh misteri.

"Sayang?"

Aku terkesiap mendengar suara Mas Alvin yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar tidur kami. Aku menoleh ke arah suamiku itu yang berjalan mendekatiku. Memasang wajah berseri supaya semua tetap terlihat baik-baik saja.

"Iya, Mas?" balasku seraya beranjak dari tempat dudukku.

"Kita berangkat sore ini, ya?" ajak Mas Alvin yang mana aku baru teringat jika hari ini suamiku itu berencana akan mengajakku berlibur sekaligus sebagai bulan madu kami.

Terasa berat untuk mengiyakannya di saat situasi seperti sekarang. Namun tidak mungkin juga jika aku menolaknya. Ku ulas seyum semanis mungkin dan akhirnya aku pun terpaksa menurutinya.

Mas Alvin tampak senang dengan jawabanku barusan. Ia lalu pamit keluar kamar sebentar untuk mengambil sesuatu yang akan diberikan padaku.

Tepat di saat Mas Alvin tak lagi terlihat tiba-tiba saja ponselku berdering. Sebuah panggilan telepon dari Mas Bima masuk. Tanpa banyak berpikir lekas aku mengangkat sambungan telepon tersebut. Dengan harap kalau kakak sepupu ku itu akan memberikan kabar sesuai harapanku.

"Gimana, Mas? Informasi apa yang kamu dapet?" todongku untuk mempersingkat waktu. Takut-takut jika tiba-tiba Mas Alvin muncul dan mencurigai kami.

Dari sambungan telepon tersebut terdengar jelas helaan napas berat dari Mas Bima. Kakak sepupu ku itu lalu terdiam sejenak yang seakan berat untuk mengatakan sesuatu.

"Mas?" panggilku lalu menoleh sebentar ke arah pintu kamar yang terbuka.

"Lay ...  Sekarang ini aku lagi berada di kampung kelahiran Bu Mirna. Aku dapat informasi banyak dari orang-orang di sini yang memang mengenal ibu mertuamu itu."

"Termasuk soal rumor itu?" tanyaku.

"Iya. Ternyata bapakmu emang pernah menikah siri dengan Bu Mirna dan itu udah lama banget. Puluhan tahun silam. Tapi setelah satu tahun pernikahan bapakmu pergi ninggalin Bu Mirna gitu aja. Dan kata salah satu kerabat Bu Mirna di sini, saat itu bapakmu gak tau kalau Bu Mirna ternyata sedang hamil muda," ungkap Mas Bima yang seketika itu membuat tubuhku terkulai lemas. Seketika aku teringat dengan Mas Alvin.

"Maaf, tapi aku harus sampaikan ini sama kamu. Dan lagi, aku tau sekarang ini kamu masih datang bulan sejak pernikahanmu kemarin. Tolong, selama aku belum menemukan informasi yang lebih valid lagi, kamu lebih baik jangan berhubungan dulu sama Alvin. Aku takut kalau kalian itu adalah saudara seayah," peringat Mas Bima.

Mendengar apa yang disampaikan Mas Bima, aku pun langsung mengiyakannya. Lagipula, aku sendiri juga tak sudi menyerahkan kesucianku pada Mas Alvin sekalipun jika dia bukanlah saudara kandungku.

Tak lama setelah itu aku pun menutup sambungan telepon kami. Dan tubuhku masih terasa agak lemas. Aku benar-benar tak menyangka jika rumor itu bukan hanya sekedar rumor. Namun, di sisi lain dengan mengetahui informasi ini aku malah semakin yakin jika kecelakaan yang dialami bapak memang berkaitan dengan Bu Mirna.

Yah, meskipun terasa amat sesak karena aku akhirnya tahu perilaku bapak yang sebenarnya. Pantas saja tiga tahun sebelum kepergiannya, bapak seringkali tak pulang ke desa dengan dalih pekerjaannya yang mana mungkin saja ia pulang ke tempat Bu Mirna yang bisa jadi masih menyandang status sebagai istri sirinya.

Dan jika pernikahan siri itu benar-benar terjadi dan terulang kembalinya rajutan cinta antara bapak dan Bu Mirna, tentu hal ini secara tidak langsung bisa menjadi salah satu motif Bu Mirna mencelakai bapakku. Walaupun aku belum tahu alasan apa yang membuat Bu Mirna bisa mengambil keputusan demikian. Namun yang jelas karena informasi ini aku pun semakin yakin jika Bu Mirna memang terlibat dari peristiwa menyakitan itu.

"Sayaaang .... "

Ku atur napasku ketika mendengar panggilan dari Mas Alvin. Mencoba menenangkan diri dan mengulas senyum kembali.

Aku berbalik arah seraya berkata ,"iya, Ma—s." Spontan ucapanku terpotong manakala aku melihat apa yang sedang dibawa Mas Alvin.

Aku dibuat terpukau dengan setelan gamis berwarna hitam lengkap dengan jilbabnya yang berwarna senada. Memang terlihat polos dan biasa saja. Akan tetapi entah mengapa setelan gamis yang memang aku tak biasa memakainya itu mampu mencuri perhatianku.

"Kita mau ngelayat, Mas?" tanyaku tak mengerti mengapa Mas Alvin membawa setelan gamis tersebut.

Mas Alvin tampak bingung mendengar pertanyaanku barusan. Sedetik kemudian barulah ia menyadarinya. Ia tertawa kecil lalu membalas pertanyaanku.

"Enggak. Aku cuma pengen kamu pakai ini nanti pas kita pergi," kata Mas Alvin padaku.

Mas Alvin meletakkan setelan gamis tersebut di atas kasur. Lalu ia pun berjalan mendekatiku sembari mengulas senyuman yang sebenarnya seringkali membuat jatungku berdegup kencang. Kini, Mas Alvin berdiri tepat di hadapanku. Ia memandangi dengan amat dalam dan penuh kelembutan. Aku bahkan mampu melihat ketulusan yang terpancar dari wajah laki-laki yang baru beberapa hari menjadi suamiku itu. Sungguh, sungguh Mas Alvin mampu membuatku merasa beruntung telah menjadi bagian dari hidupnya.

Tapi tiba-tiba di momen yang hampir membuatku lengah itu, aku teringat dengan pesan Mas Bima tadi. Alhasil segera aku menguatkan hatiku dan mencoba meminta Mas Alvin untuk membatalkan rencana bulan madu kami hari ini.

"Mas, aku baru ingat kalau sekarang ini aku masih haid. Gak mungkin, kan, kalau kita tetep berangkat bulan madu hari ini. Boleh gak kira-kira kalau dibatalkan dulu?" pintaku. Harap-harap cemas jika Mas Alvin akan menolaknya.

Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan masih tetap tenang Mas Alvin langsung mengiyakan permintaanku tersebut. Meski sedikit merasa tak enak hati, tapi bagaimanapun juga sebelum Mas Bima mendapatkan informasi kebenarannya aku tidak boleh berhubungan dengan suamiku sendiri.

"Kapan kira-kira selesai masa haidmu?" tanya Mas Alvin yang membuatku agak keheranan.

"Mmm ... Mungkin sekitar dua hari lagi," jawabku.

Mas Alvin mengangguk dan tersenyum tipis padaku. "Yasudah, dua hari lagi insyaa Allah aku atur ulang kepergian kita," kata Mas Alvin lalu pergi meninggalkanku tanpa menunggu persetujuan dariku.

Entah mengapa, sikap yang ditunjukkan Mas Alvin tersebut membuatku merasa ia agak berbeda. Walaupun aku tahu suamiku itu adalah tipikal orang yang tidak mudah marah dan lebih sering pengertian terhadap orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku.

Akan tetapi sikapnya kali ini yang mendadak dingin itu membuatku curiga padanya. Aku merasa ada sesutau yang sedang disembuyikan suamiku itu sehingga ia bersikap demikian setelah ia menuruti permintaanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status